REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Petral bubar. Hal itu pertama kali diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sesuai dengan kajian tim yang dibentuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Tim yang dibentuk Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto juga memberikan rekomendasi yang sama. Pada masa kampanye pilpres, Jokowi memang mengisyaratkan hal serupa.
Namun, pembubaran itu secara resmi diungkapkan Jokowi pada pekan lalu, yang kemudian ditegaskan oleh Sudirman dan Dwi. Ternyata, pembubaran Petral mulus-mulus saja. Tak ada gejolak politik ataupun gejolak di pasar.
Padahal di masa lalu, pembubaran Petral demikian alot. Selalu gagal. Orang-orang bicara tentang adanya mafia minyak. Namun, Sudirman justru bicara sebaliknya. Menurutnya, tak ada true mafia, mafia yang benar-benar.
Baginya, gambaran mafia itu adalah figur fiksi, seperti Don Corleone atau figur nyata seperti Al Capone dan Escobar. Mereka tak segan membunuh siapa pun yang menghalangi, bila perlu perang dar der dor jalanan.
Katanya, di Indonesia yang ada hanyalah orang yang berani menyuap pejabat dan politisi korup. "Selebihnya, tak ada hal yang luar biasa. Jadi, enteng saja," katanya. Hal yang dibutuhkan untuk menghadapi situasi itu hanyalah ketegasan serta regulasi yang benar dan dikomunikasikan ke masyarakat.
Sudirman bukan orang baru di dunia migas. Ia pernah menduduki beberapa jabatan di perusahaan pertambangan, seperti di Pertamina dan Indika Energy. Ia juga pegiat antikorupsi, sebagai salah satu pendiri dan direktur pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia.
Di Pertamina, ia pernah menjadi sekretaris perusahaan dan salah satu direktur. Ia juga pernah menjadi deputi Integrated Supply Chain (ISC), sebuah lembaga di Pertamina yang diharapkan akan menggantikan Petral-anak perusahaan Pertamina di Singapura yang bertugas membeli BBM dan minyak mentah. Sejak 2009, Sudirman sudah terlibat secara sistematis menggantikan Petral dengan ISC. Namun, semua mental.
Karena itu, pada masa pemerintahan Jokowi, upaya itu kembali dilanjutkan. Saat diwawancara Jokowi untuk jabatan menteri ESDM, ia mengungkapkan bahwa upaya itu selalu terhenti di meja presiden.
Kisah itu diungkapkan berkali-kali oleh Sudirman, salah satunya saat diskusi di SmartFM. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi kontroversi. Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjadi presiden saat itu, membantahnya. Melalui serangkaian tweet-nya, SBY menyebut hal itu sebagai fitnah. Menurutnya, tak pernah ada usulan yang sampai di mejanya ihwal pembubaran Petral.
Pertamina, di bawah kepemimpinan Dwi, sejak Januari sudah tak memakai Petral lagi untuk pembelian minyak-kendati perusahaan itu belum dibubarkan. Dalam tiga bulan, sudah ada penghematan 22 juta dolar AS.
Dwi adalah orang yang sama sekali baru di Pertamina. Ia orang yang berkarier di Semen Gresik. Puncak kariernya bermula ketika ia ditunjuk sebagai dirut Semen Padang, di masa krisis. Saat itu, Semen Gresik sudah dibeli asing, Cemex. Di Padang ia mengalami resistensi, bahkan tak bisa berkantor di ruangan dirut.
Namun, melalui pendekatan kemanusiaan, ia berhasil menaklukkan situasi itu. Semen Padang menjadi maju. Bahkan, bisa buyback Gresik menjadi milik nasional lagi. Tak hanya itu, juga dibentuk holding company Semen Indonesia yang membawahkan Padang, Gresik, dan Tonasa. Selain itu, berekspansi membeli Thang Long, Vietnam. Kisah Dwi adalah kisah sukses seorang CEO dan kisah heroik nasionalisme dalam dunia bisnis.
Dwi tanpa beban masa lalu di dunia migas dan Pertamina. Ini merupakan kelebihan tersendiri. Karena, persoalan Pertamina lebih pada masalah belengggu patgulipat sehingga perusahaan ini tak maju-maju. Selebihnya adalah masalah teknis pengelolaan perusahaan pada umumnya.
Saat berdialog dengan para pemimpin redaksi dua pekan lalu, Dwi memaparkan kinerja Pertamina sejak ia ditunjuk sebagai dirut pada akhir November 2014. Para pemimpin redaksi mengapresiasi kinerjanya yang mulai menuai hasil. Ini tak lepas dari efisiensi dan penataan organisasi. Di antaranya proses procurement yang terpusat, sudah bisa efisiensi hingga 27 juta dolar AS. Ada temuan perbedaan harga hingga 40 persen dalam hal procurement.
Sentralisasi juga dilakukan dalam marketing. Ia juga akan meningkatkan kapasitas kilang lama dan pembangunan kilang baru. Selain itu juga akan mengambil alih sejumlah blok pertambangan. Lifting minyak di dalam negeri yang terus merosot juga akan diimbangi dengan berekspansi ke negara-negara lain. Ini guna menjamin pasokan minyak untuk kebutuhan nasional yang baru bisa dipenuhi Pertamina 23 persen.
Menata sektor migas dan pertambangan mineral bukanlah pekerjaan gampang. Selama ini Pertamina telah menjadi sapi perah bagi pejabat (pemerintah dan Pertamina itu sendiri) dan politisi korup. Di baliknya adalah kepentingan asing. Akibatnya, kinerja Pertamina terus menurun.
Tiga kilang minyak yang ada sudah berusia lebih dari 20 tahun, itu pun hanya mampu memenuhi 50 persen kebutuhan minyak nasional. Sedangkan, Singapura memiliki kelebihan produksi hingga 90 persen. Tentu, kelebihan itu sebagian diekspor ke Indonesia.
Indonesia juga tak memiliki storage dan kapal tanker yang memadai. Cadangan nasionalnya sangat rawan terhadap gejolak harga maupun saat menghadapi krisis. Blok-blok pertambangan banyak dimiliki asing. Bayangkan, 90 persen pendapatan Pertamina berasal dari sektor hilir, sedangkan 90 persen keuntungan justru dari sektor hulu. Tentu, ini bukan model bisnis yang menarik.
Jokowi selaku presiden telah menunjukkan komitmennya, terlihat dari pengangkatan menteri ESDM dan dirut Pertamina. Hal itu juga terlihat dalam hal kebijakan, seperti pembubaran Petral, pengembalian Blok Mahakam ke Pertamina, bahkan soal pencabutan subsidi BBM.
Namun, tetap saja pertarungannya sangat sengit, ada orang-orang yang terus mengganggu mereka. Hal ini terlihat pada tarik-menarik pengangkatan pejabat di lingkungan ESDM maupun soal renegosiasi kontrak karya maupun pengadaan dan pembelian.
Karena itu, perang melawan mafia pertambangan belumlah usai. Pembubaran Petral hanyalah membuang satu wahana permainan karena pemasoknya tetap sama. Jangan sampai ada kesan hanya mengubah pola permainan belaka. Harus ada perubahan yang bersifat sistemis dan perubahan budaya.
Sebuah buku karya Acemoglu dan Robinson menawarkan format lembaga politik dan lembaga ekonomi yang mampu membawa kemajuan: yang inklusif dan yang ekstraktif. Yang pertama bersifat terbuka dan partisipatif; melindungi hak kekayaan rakyat, menciptakan arena kompetisi yang adil, dan mendorong investasi serta peningkatan sumber daya manusia. Ada kemauan melucuti kewenangan para elitenya.
Sedangkan yang kedua justru tertutup dan menyedot semua kewenangan hanya berada di sekelompok elitenya; menguras keringat rakyat dan kekayaan negara, tidak melindungi hak kekayaan warga negara, dan gagal menciptakan insentif ekonomi. Lembaga politik inklusif akan bersinergi dengan lembaga ekonomi inklusif, demikian pula lembaga ekonomi akstraktif akan bersinergi dengan lembaga politik ekstraktif.
Dalam hal migas ini, sudah mengarah pada titik yang disimpulkan Acemoglu dan Robinson. Kita tunggu konsistensinya. Kita wajib menjaganya.