Selasa 09 Jun 2015 06:00 WIB

Alquran, Ramadhan, dan Situasi Dunia Islam

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Berdasarkan kesaksian surah al-Baqarah ayat 185, Alquran diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam sejagat. Makna ayat itu adalah “Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk itu dan sebagai al-Furqan (kriterium pembeda antara kebenaran dan kebatilan)”.

Kelanjutan ayat ini, antara lain, berbicara tentang bulan permulaan puasa dan kewajiban orang beriman menjalankan puasa di dalamnya. Surah al-Baqarah termasuk surah yang diturunkan pada periode Madinah (622-632 M) yang sebagian besar ayatnya turun pada tahun kedua Hijriyah. Dengan demikian, kewajiban berpuasa itu dimulai sejak awal tahun hijriyah itu. Pada periode Makkah (610-622 M) puasa Ramadhan itu belum diwajibkan.

Tujuan utama yang hendak dituju oleh mereka yang berpuasa Ramadhan ialah merebut posisi takwa berdasarkan ayat 183 dalam surah al-Baqarah itu. Menurut Muhammad Asad dalam //the Message of the Qur'an// (halaman 39, catatan kaki nomor 155), ada lagi tiga tujuan umum dari penyucian rohani ini selama Ramadhan itu, yaitu, pertama, untuk mengenang permulaan wahyu Alquran yang terjadi pada bulan Ramadhan, sekitar 13 tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah.

Kedua, untuk memberikan latihan disiplin yang keras. Dan ketiga, untuk membuat setiap orang menyadari, lewat pengalamannya sendiri, bagaimana rasanya lapar dan dahaga itu, dan dengan cara itu dapat diperoleh pengertian yang hakiki tentang keperluan orang miskin.

Dalam bacaan saya, Alquran adalah sebuah kitab suci yang pro-orang miskin, tetapi pada waktu yang sama antikemiskinan. Artinya, kemiskinan itu haruslah bersifat sementara, tidak boleh mengitari hidup seseorang sepanjang hayat. Perintah mengeluarkan zakat adalah bukti kuat bahwa umat Islam tidak boleh miskin, sekalipun kenyataan sejarah selama berabad-abad yang berlaku adalah sebaliknya. Sebagian umat Islam bergelimang dengan kemiskinan yang akut, sebuah kenyataan yang berlawanan dengan pesan Alquran tentang perlunya memiliki harta.

Kutipan makna ayat 185 di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa Alquran itu adalah petunjuk dan kriterium pembeda antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan keburukan, baik bagi perorangan maupun bagi kehidupan kolektif lintas bangsa dan negara. Tetapi apa yang berlaku di dunia Islam adalah bahwa ayat itu tidak lagi diperhatikan. Mungkin untuk tingkat pribadi seorang Muslim, petunjuk itu relatif masih dijalankan.

Begitu juga Alquran yang berfungsi sebagai al-Furqan masih dipegang dalam batas untuk keperluan perorangan. Sekali menyangkut hubungan antarbangsa dan negara Muslim, kriteria yang digunakan bukan lagi Alquran, tetapi nasionalisme dan kepentingan duniawi lainnya.

Akibatnya, perumahan persaudaraan Muslim pada tingkat antarbangsa menjadi rapuh dari abad ke abad. Kerapuhan internal ini diperparah lagi oleh pertentangan mazhab yang tidak habis-habisnya.

Semuanya ini memudahkan pihak lain untuk memecah-belah dunia Islam dengan segala malapetaka yang menyertainya. Tragedi Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan lain-lain adalah akibat logis dari tersingkirnya petunjuk Alquran dan Alquran sebagai al-Furqan dalam pengambilan keputusan politik.

Di seluruh komunitas Muslim di muka bumi pada bulan Ramadhan hampir dapat dipastikan umat Islam sangat mengutamakan membaca Alquran, biasanya untuk mengejar pahala di bulan suci itu. Tidak ada yang salah pada kebiasaan baik ini.

Tetapi, pertanyaan kunci saya adalah mengapa Alquran dalam hubungan antarmazhab, hubungan antarbangsa dan negara, tidak pernah lagi dijadikan pedoman dan acuan utama dalam bertindak? Apakah kekacauan yang berlaku pada sebagian bangsa Muslim sejak beberapa tahun ini belum cukup menyadarkan kita semua bahwa Alquran yang diturunkan pertama kali bulan Ramadhan itu telah dibuang jauh, sengaja atau tidak sengaja, dari kehidupan duniawi kita yang sarat dengan masalah ini?

Sampai dengan tahun 1436 ini, dalam hitungan kasar saya, umat Islam dari generasi ke generasi telah melakukan puasa Ramadhan sebanyak 1.434 kali jika dihitung mulai tahun kedua hijriyah, saat perintah puasa itu diturunkan. Saya tidak tahu pasti, dalam perjalanan waktu yang panjang itu, sampai berapa jauh Alquran sebagai al-Furqan difungsikan secara efektif dalam kehidupan kolektif umat.

Sadarkah kita bahwa dunia Islam dalam konstelasi politik global yang serbaganas ini justru membuat jarak yang semakin jauh dari Alquran? Secara formal, sikap antisekularisme sering digaungkan, tetapi dalam kenyataan, khususnya di ranah politik, proses sekularisasi itu berlangsung dengan deras sekali.

Namun, betapa pun juga Alquran masih tetap bersama kita sampai hari ini dan dengan sabar menanti perhatian kita semua untuk dijadikan petunjuk dan pedoman tertinggi dalam kehidupan bersama.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement