Senin 29 Jun 2015 06:00 WIB

Islam itu Eropa dan Eropa adalah Islam

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Judul di atas saya petik dari pidato pejabat tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan. Namanya Federica Mogherini. Pidato itu ia sampaikan dalam konferensi ‘Islam dan Eropa’ di Brussels, Belgia, pada Rabu (24/6) lalu. Perempuan Italia ini memperoleh gelar doktor dari perguruan tinggi di Prancis pada 1994. Disertasinya adalah tentang Islam dan politik.

Di depan para peserta seminar -- politisi, akademisi, tokoh agama, dan para pemimpin masyarakat sipil Eropa --, penanggungjawab politik luar negeri dan kebijakan keamanan Uni Eropa itu menjelaskan banyak hal tentang pengaruh positif Islam dan umat Islam di masyarakat Eropa. Katanya, Islam sudah menjadi salah satu ciri dari identitas Eropa.

Menurut Mogherini, masyarakat yang plural adalah masa depan Eropa. Dan, Islam menjadi salah satu sumber dari keberagaman itu. ‘‘Islam adalah Eropa dan Eropa adalah Islam,’’ ia menegaskan.

Dalam pandangan Mogherini, Islam dan umat Islam telah memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat Eropa. Ia yakin pengaruh itu akan semakin besar pada masa yang akan datang  dan harus diterima bersama (sebagai fakta), dan tidak seharusnya menjadi sumber ketakutan bagi Eropa.

Karena itu, katanya, tidak aneh bila Islam kemudian menjadi salah satu faktor pembentuk wajah Eropa pada saat ini dan akan datang. Oleh sebab itu, lanjutnya, Islam harus menjadi kenyataan yang tak bisa ditolak. ‘‘Kita tidak boleh takut menyampaikannya di depan publik, meskipun banyak pihak tidak ingin mendengarkannya,’’ ujarnya seperti dikutip media al Sharq al Awsat.

Dalam konferensi yang diselenggarakan koalisi partai-partai sosialis demokratik di Parlemen Eropa itu, para pembicara juga menyoroti tentang fenomena munculnya kelompok-kelompok radikal keagamaan. Juga banyaknya pemuda Eropa yang bergabung dengan kelompok teroris di Suriah dan Irak seperti ISIS.  Mereka mengatakan, kelompok-kelompok itu merupakan tantangan bagi politik dalam dan luar negeri Eropa.

Menanggapi hal itu, Federica Mogherini meminta para insan media untuk tidak terlalu membesar-besarkan kelompok-kelompok radikal tersebut. Semakin mereka dibesarkan, katanya, akan makin banyak anak-anak muda Eropa yang tertarik kepada mereka. Mogherini berpandangan, kelompok-kelompok teroris seperti ISIS justeru menjadi musuh utama Islam. ‘‘Umat Islamlah yang justeru menjadi korban dari ideologi yang dikembangkan ISIS. Bukan hanya masyarakat Eropa,’’  katanya.

Ia mensinyalir ketertarikan para pemuda Eropa pada ISIS antara lain karena mereka sedang mencari jati diri. Mereka kemudian menjadi korban dari lingkup sosial, budaya, dan politik Eropa yang kurang ramah kepada mereka. Mogherini pun mengajak para pemimpin Eropa untuk lebih memperhatikan para anak muda itu, antara lain dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan menolak pemikiran menyimpang lewat program pendidikan dan pengajaran.

Pernyataan para politisi yang tidak ramah kepada Islam, menurutnya,juga ikut memberi andil tentang munculnya ideologi radikal di kalangan anak muda Eropa. Untuk itu ia mengajak para pemimpin Eropa untuk mengikutsertakan anak-anak muda Muslim dalam program politik Eropa yang mengedepankan pluralistik masyarakat.

Beberapa hari sebelum konferensi ini, delegasi Uni Eropa juga telah menggelar pertemuan tahunan dengan para pemimpin agama yang melibatkan tokoh tiga agama besar di Eropa: Kristen, Islam, dan Yahudi. Mereka membahas tentang harmonisasi kehidupan masyarakat majemuk dalam menghadapi ideologi radikal. Menurut ketua majelis ulama Eropa yang bermarkas di Brussels, Khalid Hajji, dialog untuk menciptakan kehidupan yang lebih damai antarpemeluk agama sangat diperlukan dalam menghadapi ideologi radikal.

Menurut Hajji, para peserta pertemuan sepakat untuk terus melanjutkan dialog antarpenganut agama ini. Tujuannya untuk mencari solusi terhadap sikap ekstrim di masyarakat yang disebabkan oleh ideologi radikal dari para pemeluk agama. Hajji juga menyayangkan bahwa sikap dan pernyataan para politisi seringkali justru menjadi pemicu kebencian terhadap suatu agama. Meski ia tidak menyebut nama politisi di Eropa, namun bisa ditebak yang dimaksud adalah para politisi dan pihak-pihak di Eropa yang selama ini selalu menyebarkan kebencian pada Islam dan umat Islam semisal Geert Wilders. Nama yang terakhir ini merupakan politisi Belanda yang dikenal sangat membenci Islam.

Kita tentu menyambut baik pihak-pihak yang terus berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan kedamaian di masyarakat, seperti halnya Federica Mogherini. Apalagi dengan posisinya yang tinggi di Uni Eropa, pengaruhnya tentu akan sangat besar, bukan hanya di negara-negara Eropa, tapi juga di dunia. Kehadiran tokoh seperti Mogherini semakin diperlukan di tengah dunia yang selalu dicemaskan oleh aksi-aksi teror seperti yang telah terjadi di Prancis, Kuwait, dan Tunisia dalam waktu yang hampir bersamaan beberapa hari lalu.

Seperti yang pernah saya tulis beberapa kali di rubrik ‘Resonansi’ ini bahwa kelompok-kelompok radikal, teroris, dan para simpatisannya tidak bisa hanya dihadapi dengan kekuatan senjata. Bahkan dengan koalisi militer internasional sekalipun. Lihatlah, apa yang terjadi dengan  Al Qaida-Taliban di Afghanistan ketika diserang habis koalisi militer pimpinan Amereka Serikat (AS).  Orang-orang al Qaida di Afghanistan memang berantakan, namun mereka justeru beranak-pinak dan menyebar ke berbagai negara dengan nama yang berbeda-beda.

Begitu juga dengan ISIS. Setahun lalu, AS menggalang koalisi 40 negara untuk menghabisi negara teroris pimpinan Abu Bakar al Baghdadi itu. Namun, ISIS kini justru lebih kuat dan kekuasaannya lebih luas di Suriah dan Irak.

Sikap radikal alias terorisme lahir dari sebuah ideologi. Sebuah ideologi tidak akan habis atau mati hanya karena serangan koalisi militer atau dihadapi dengan kekuatan bersenjata. Sebuah ideologi harus dihadapi dengan kontra-ideologi alias ideologi tandingan.

Kelompok-kelompok radikal dan ekstrimis juga tidak bisa dihadapi dengan kebencian, seperti yang dilakukan Geert Wilders dan para pengelola majalah Charlie Hebdo di Paris yang melecahkan Islam dan Nabi Muhammad SAW. Atau pun dengan membuat kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW di surat kabar Denmark Jyllands-Posten, atau juga yang dilakukan pendeta Amerika Serikat Terry Jones ketika membakar Alquran.

Kebencian akan melahirkan kebencian serupa. Sikap ekstrim akan juga memunculkan sikap ekstrim di pihak lain. Ujung-ujungnya dunia ini akan dipenuhi dengan berbagai kebencian. Pada akhirnya saling benci akan melahirkan tindakan ekstrim dan bahkan terorisme.

Karena itu, untuk mencegah ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme di masyarakat, yang diperlukan adalah koalisi kelompok-kelompok yang mempromosikan sikap toleran, moderat, dan tidak saling menafikkan. Kita membutuhkan tokoh-tokoh seperti Federica Mogherini, Pangeran Charles dari Inggris, dan lainnya. Mereka dan sejumlah tokoh lainnya di Eropa tidak henti-hentinya mempromosikan sikap terleransi di masyarakat, terutama di antara para pemeluk agama yang berbeda.

Kita tentu berharap akan muncul lebih banyak lagi pihak-pihak yang mempromosikan teleransi di tengah-tengah masyarakat. Bila pihak-pihak itu berkoalisi atau bekerja sama, di satu sisi mereka akan mempersempit gerak mereka-mereka yang menebarkan kebencian pada Islam dan di sisi yang lain akan mencegah munculnya sikap-sikap ekstrimisme di masyarakat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement