Ahad 02 Aug 2015 06:00 WIB

Masa Orientasi Siswa

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

 

Balon, rambut kuncir atau potongan cepak cepak, papan nama besar diikat tali rafia, topi dari ember atau keranjang sayur, tas dari karung atau plastik sampah, hanyalah sedikit contoh aribut yang nyaris kita lihat setiap kali penerimaan siswa baru di SMP, SMA, universitas, bahkan kini ada sekolah dasar yang mulai ikut-ikutan.

Pernak-permik tersebut harus dibawa siswa baru/maba, dengan perintah dan intruksi yang disampaikan "penuh semangat" hingga menimbulkan rasa takut. Suara keras, bentakan, hukuman fisik, juga menjadi bagian yang lumrah terjadi.

Sering kita mendengar peraturan pertama yang berlaku selama Masa Orientasi Siswa (MOS), Senior tidak pernah salah. Peraturan kedua, Jika senior salah maka lihat aturan pertama. Peraturan tidak tertulis yang susah diterima akal sehat, dan masih dipegang oleh sebagian besar senior.

Alih-alih membangun mental, masa orientasi di sekolah yang demikian justru membuat siswa menjadi pengecut, penakut, hingga mematuhi apa saja yang diperintahkan senior sekalipun merepotkan banyak pihak--tidak hanya siswa baru yang bersangkutan, mahal, tidak logis bahkan tidak bermoral.

Saya masih ingat di tahun 2010, ketika salah satu orang tua anggota Paskibra mengadu ke Polda, KPAI, dan Komnas HAM terkait dengan kasus pelecehan yang dilakukan senior. Selama masa penggemblengan anggota Paskibraka putri diperintah senior--yang juga perempuan--berbaris berhadap-hadapan, lalu membuka seluruh pakaian hingga telanjang bulat, sambil menadahkan tangan untuk menerima shampo dan sabun, berbaris telanjang di depan pintu kamar mandi, dan berbaris masuk ke kamar tidur, juga dalam keadaan telanjang bulat. Di kelompok paskibra pria ada Paskibra putra yang dipaksa beradu (maaf) kemaluan dengan Paskibra lain.

Kenapa ini bisa terjadi dalam organisasi terhormat yang dekat dengan anak-anak didik? Rasa takut dikombinasikan dengan kekuasaan penuh, hasilnya tak terkendali.

Meski terjadi lima tahun lalu, kita tidak bisa mengatakan kalau fakta-fakta di atas adalah berita lama. Selama rasa takut menjadi dasar kegiatan atau program resmi, maka hanya masalah waktu sebelum hal ini kembali terulang. Tinggal persoalan kapan, di mana, dan apakah terungkap atau tidak.

Jauh sebelumnya, di kampus Institut Pemerintahan Dalam negeri (IPDN) tahun 2007, Cliff Muntu, salah satu praja asal Sulawesi Utara, meninggal akibat perpeloncoan. Sejak kejadian tersebut terkuak fakta bahwa dalam kurun waktu dua dekade sejak 1990-an hingga pertengahan tahun 2000 tercatat sebanyak 35 praja tewas. Hanya 10 di antaranya yang tercium media masa.

Tahun 2013 di Akademi Ilmu Pelayaran Djadajat, David Richard Djumaati (18) meninggal setelah dipelonco seniornya. Saat melapor ke Badan Kemahasiswaan, David mengaku ia dikeroyok, dipukul, dan disiksa 10 seniornya.

Tahun 2014, seorang pelajar SMAN 3 bernama Arfian Caesary meninggal juga karena aktivitas perpeloncoan.

Korban akan tetap berjatuhan selama pendekatannya sama: RASA TAKUT dan intimidasi.

Sekalipun tidak ada pemukulan dan kekerasan fisik lain, rasa takut akan membuat siswa yang sakit tidak berani mengaku sakit, mereka yang sudah tidak kuat tidak berani meminta berhenti.

Pada tahun 2013 di Institut Teknologi Nasional Malang, Fikri Dolasmantya Surya meninggal akibat kelelahan dan kekerasan fisik saat Kemah Bakti Desa selama lima hari (9 - 13 Oktober 2013) di Gua Cina, Kabupaten Malang.

Di tahun yang sama, di SMKN 1 Pandak Bantul, Anindya Ayu Puspita (16) meninggal saat mengikuti kegiatan MOS. Anindya pingsan seusai menjalani hukuman squat jump karena tidak memakai seragam kaos saat latihan baris-berbaris.

Ingin rasanya menyebutkan semua nama korban masa orientasi agar mereka menjadi pahlawan yang mengingatkan kita bahwa hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Karena itu saya mendukung langkah Mendikbud Anies Baswedan tahun ini untuk mulai melarang keras orientasi siswa yang bertindak melecehkan dan membebani biaya. Seharusnya peraturan serupa diberlakukan di Perguruan Tinggi.

Saya bersyukur tahun ini anak saya beruntung masuk SMAN 2 Depok yang menjunjung tinggi keilmuan. Menyadari ada kebijakan menteri terkait kegiatan masa orientasi siswa baru, kepala sekolah dan OSIS secara positif langsung menyesuaikan diri mengisi MOS dengan kegiatan yang edukatif dan informatif.

Sayangnya, masih ada yang membandel, melakukan praktik perpeloncoan, dan pihak sekolah tutup mata. Bahkan meski orang tua sudah mengajukan keberatan. Tentu saja langkah tegas terhadap pihak sekolah harus ditegakkan. Terlebih setelah MOS, akan banyak lagi kegiatan rekruitmen ekskul yang juga punya potensi perpeloncoan.

Semoga 2015 menjadi tahun terakhir. Tidak ada lagi perpeloncoan, tidak ada lagi rasa takut.

Apapun namanya: OSPEK, OKK, MPA, MOS, MOPD, dan sebagainya, jika rasa takut dan hegemoni adalah dasar yang menggerakkan, penyimpangan akan tetap terjadi.

Orang tua dan anak didik punya pilihan. Selamatkan anak-anak kita dari kekerasan MOS. Segera laporkan penyimpangan yang ada- meski MOS tahun ini sudah berakhir- melalui http://mopd.kemdikbud.go.id/.

Jangan diam. Keberanian kita bertindak, sangat mungkin menyelamatkan banyak calon pemimpin dan tokoh masa depan.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement