REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Hal-hal penting apa saja yang bisa dicatat pasca-dua muktamar; Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur dan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada pekan pertama Agustus 2015? Satu hal sudah pasti, kedua muktamar mendapat perhatian besar, bukan hanya dari puluhan juta anggota organisasi, tetapi juga para pengamat dalam dan luar negeri serta media massa yang mengindikasikan signifikansi besar kedua ormas Islam Indonesia ini.
Mengamati kedua muktamar, satu hal penting lain juga juga perlu dicatat, yaitu penegasan kembali komitmen dan kesetiaan kebangsaan-keindonesiaan Muhammadiyah dan NU. Penegasan ini mencakup tentang telah finalnya integrasi keislaman-keindonesiaan seperti terpatri dalam empat ‘perjanjian’ pokok yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Meski telah sering diulang dalam berbagai muktamar dan pernyataan pimpinan kedua ormas Islam terbesar di Dunia Muslim ini, penegasan tetap diperlukan; penegasan itu kini dan ke depan bahkan tetap tepat waktu (timely). Hal ini tidak lain karena pada saat yang sama tantangan gagasan dan praksis transnasionalisme Islam juga meningkat, yang paling menonjol sekarang adalah ISIS dengan ‘khilafah’ atau dawlah Islamiyyah’ yang menggunakan kekerasan dan brutalitas.
Lebih jauh, dengan penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan, kedua ormas Islam wasathiyyah ini memastikan Indonesia tetap menjadi negeri yang secara politik tetap aman dan damai. Peran NU dan Muhammadiyah dalam hal ini sangat krusial mengingat posisi, pengaruh dan leveragenya masing-masing yang sangat besar sepanjang sejarah eksistensinya sejak masa pergerakan kebangsaan di masa penjajahan Belanda mulai dasawarsa awal abad 20.
Penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan sama pentingnya dengan kesetiaan pada Islam wasathiyah—Islam Nusantara, atau lebih tepatnya Islam Indonesia, yang berkemajuan untuk mewujudkan peradaban Indonesia sendiri dan peradaban dunia yang rahmatan lil ‘alamin. Hanya Islam yang jauh dari berbagai bentuk ekstrimisme dan radikalisme yang memberikan iklim dan suasana kondusif bagi kedua ormas Islam beserta para warganya dan umat Islam Indonesia lainnya untuk dapat mengakselerasikan amal ibadah dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk fungsionalisasi dan aktualisasi Islam berkemajuan guna mewujudkan peradaban rahmatan lil ‘alamin, Muhammadiyah dan NU tetap pula perlu senantiasa setia pada khittah masing-masing sebagai ormas Islam untuk memajukan dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan ekonomi-sosial umat Muslim Indonesia. Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam ketiga bidang yang disebutkan pertama, tetapi masih banyak hal yang mesti dilakukan untuk bidang terakhir; belum banyak muncul usaha ekonomi signifikan dari kalangan umat Muslim, dan juga masih banyak umat Islam yang belum terangkat dari lembah ke kemiskinan.
Dalam konteks itu, baik Muhammadiyah dan NU beserta ormas-ormas Islam wasathiyah lain di seluruh penjuru tanahair perlu tetap berteguh diri sebagai gerakan Islam kultural daripada sebagai gerakan Islam politik. Sejarah dinamika kedua ormas Islam ini khususnya sepanjang masa Orde Baru dan seterusnya membuktikan, berbagai usaha memajukan umat-bangsa lebih berhasil melalui pendekatan Islam kultural dengan mengembangkan dakwah, pendidikan dan kepenyantunan sosial.
Sebab itu, NU dan Muhammadiyah seharusnya tetap tidak tergoda pada godaan dan tarikan politik yang bisa memabukkan. Seperti terlihat dalam kedua muktamar, godaan politik itu juga muncul, meski tidak secara jelas menguat. Jika para pimpinan ormas tergoda politik kekuasaan, dampaknya adalah politik yang divisif dengan segera dapat berimbas secara internal organisasi.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah dan NU semestinya tetap mampu melakukan penjarakan politik (political disengagement); tidak terlibat langsung dalam politik kekuasaan (power politics). Hanya dengan begitu, keduanya beserta banyak Jam’iyyah Islamiyyah lain dapat terpelihara dari kegaduhan politik yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan tetap melakukan political disengagement bukan berarti NU dan Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islam lain bersikap apatis dan tidak peduli pada politik. Sebaliknya, dengan political leverage yang mereka miliki, mereka justru perlu meningkatkan peran politik untuk kemaslahatan negara-bangsa.
Peran politik itu selama ini telah dimainkan Muhammadiyah dan NU; yang kini dan ke depan tetap diperlukan adalah peran politik sebagai civil society, masyarakat sipil atau masyarakat madani, atau masyarakat kewargaan. Sebagai masyarakat madani, keduanya beserta ormas lain sepatutnya meningkatkan peran membangun tamaddun, peradaban; sebagai masyarakat sipil membangun kembali civic culture dan public civility, keadaban publik yang terlihat merosot secara signifikan sepanjang masa pasca-Soeharto.
Tak kurang pentingnya, sebagai civil society, NU dan Muhammadiyah seyogyanya memperkuat kembali perannya sebagai kekuatan moral dan pengimbang terhadap partai politik dan pemerintah yang sering terlibat kegaduhan politik sehingga menelantarkan peningkatan kemaslahatan bangsa. Pada saat yang sama juga menjadi mitra kritis (critical partners) bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain guna mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berperadaban.