REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Di sebuah keluarga yang mapan, seorang ayah menerapkan kebijakan baru dalam memberi uang bagi keempat anaknya.
Mulai saat ini, ia akan memberikan uang bulanan pada anak pertama, kedua, ketiga, dan si bungsu dalam jumlah lumayan besar, lebih dari cukup untuk sekadar jajan atau keperluan sehari-hari mereka. Anak-anak pun diberi kebebasan untuk menggunakannya.
Pesan beliau cuma satu, belanjakan uang untuk yang bermanfaat atau tidak sama sekali. Di akhir bulan, sang ayah memanggil putra putrinya untuk menanyakan bagaimana mereka menghabiskan uang yang diberikan.
Anak pertama mengatakan uang dari ayah dipakainya untuk membeli gadget terbaru. Anak kedua yang perempuan menjelaskan bahwa uang yang diberikan habis untuk membeli pakaian bermerek. Sementara anak ketiga membelanjakan uangnya untuk perlengkapan sekolah. Anak keempat berbeda dengan ketiga kakaknya. Ia memutar uang bulanannya untuk usaha.
Mendengar penjelasan mereka, sang ayah marah pada anak pertama dan kedua. Ia menganggap kedua anak tertuanya boros dan telah menggunakan uang secara tidak bjak. Namun untuk bulan berikut, lelaki itu kembali memberi uang bulanan dengan jumlah sama -- bagaimanapun, ini merupakan hak mereka, pikirnya.
Di akhir bulan, kembali sang ayah ingin tahu bagaimana keempat anaknya menggunakan uang tersebut.
Anak pertama ternyata memilih tidak memakai uang yang diberikan sama sekali. Ia bahkan memutuskan melewatkan makan siang di kantin karena takut dimarahi jika salah menggunakan uangnya. Anak kedua hanya membeli makan siang, dan sisanya dibiarkan utuh.
Anak ketiga dan keempat tetap seperti bulan sebelumnya.Anehnya, meski anak pertama dan kedua sudah jauh berhemat, mereka tetap mendapatkan kemarahan sang ayah. Beliau berpikir kedua anak tertuanya tersebut pelit, menzalimi diri sendiri dan tidak menggunakan uang secara bijak.
Anak pertama dan kedua makin bingung.Dipakai salah tidak dipakai salah, jadi harus bagaimana?
Kebingungan karena tidak memiliki uang adalah hal wajar. Akan tetapi bingung meski memiliki uang, ini baru sesuatu. Lucunya, kisah anak pertama dan kedua adalah fakta yang saat ini terjadi di Indonesia.
Ketika banyak kepala daerah ditangkap dan didakwa akibat penyalahgunaan anggaran daerah, kini sebagian kepala daerah justru takut menggunakan anggaran daerah. Ratusan triliun uang menganggur di bank karena tidak dipakai Pemda.
Sejak 2011 hingga Juni 2015, masih ada dana pemerintah daerah yang “menganggur” di bank. Jika ditotalkan dana tersebut mencapai Rp273,5 triliun. Cukup banyak daerah yang hanya menyerap 20%-30% anggaran saja.
Dana desa sebesar Rp 20,7 triliun yang masih belum dicairkan hingga Agustus, digenjot agar dalam 4 bulan terakhir bisa cair dan terdistribusi dengan baik. Karena penting buat pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat.
Salah satu alasan, selain manajemen pemerintahan, kenapa anggaran tidak dicairkan karena para pemimpin daerah terlalu berhati-hati memakai anggaran sekalipun tidak melakukan penyimpangan.
Padahal esensinya mereka yang menghadapi proses hukum bukan karena menggunakan anggaran, melainkan melakukan penyimpangan dalam pemakaian anggaran. Jadi seharusnya tidak perlu khawatir selama tidak menyimpang. Meski demikian tetap saja, pimpinan daerah merasa harus ekstra hati-hati.
Sampai-sampai muncul ide untuk menerbitkan instruksi presiden anti kriminalisasi, agar pejabat publik tidak takut memanfaatkan anggaran demi kemaslahatan masyarakat. Penyerapan anggaran yang lambat ini bukan hanya terjadi di pemerintahan daerah, juga di lembaga kementrian.
Dengan alasan sama, selain masalah administrasi, ketakutan pejabat publik terjerat masalah hukum juga menjadi salah satu alasan yang menghambat penyerapan. Bahkan kecemasan ini menyebar ke sektor BUMN. Beberapa proyek besar BUMN tertunda bertahun-tahun karena pimpinan perusahaan BUMN takut mengambil keputusan, menyusul fakta beberapa petinggi BUMN sebelumnya berhadapan dengan hukum terkait dengan kebijakan yang mereka pilih di masa lalu.
Tidak berhenti di sini, aparat yang menangani kasus korupsi juga mulai was-was. Beberapa aparat kehilangan jabatan ketika menangani kasus korupsi yang melibatkan orang-orang yang memiliki pengaruh besar.
Rupanya saat ini Indonesia tercinta sedang dililit masalah baru. Bukan kekurangan uang (saja), tapi kekurangan figur yang cerdas dan berani memanfaatkan dana yang ada untuk kepentingan rakyat. Alokasi dana yang tepat jelas menuntut perencanaan matang yang harus disiapkan. Juga penegakkan hukum yang profesional dan keberanian pemimpin untuk bertindak selama yakin ia benar.
Saya bisa menerima jika empat putra putri si ayah dalam ilustrasi di atas salah dan menjadi trauma karena mereka anak-anak yang masih terus belajar. Tapi sikap seperti ini tidak sewajarnya terjadi pada pejabat publik yang telah memutuskan maju dan mengatakan siap memimpin.