REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Bila kita sepakat bahwa pendidikan generasi anak-anak sekarang akan menentukan kemajuan suatu bangsa kelak, mari kita lihat fakta di Dunia Arab (baca: negara-negara Arab) kini. Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Urusan Anak-anak atau UNICEF (The United Nations Children’s Fund) yang dirilis beberapa waktu lalu, lebih dari 13 juta anak Arab tidak bisa pergi ke sekolah. Penyebabnya: konflik, perang, dan perebutan kekuasaan!
Angka di atas -- 13 juta anak -- merupakan 40 persen dari seluruh anak-anak di negara-negara Arab pada usia sekolah dasar (SD) atau antara 6 hingga 13 tahun. Usia yang merupakan periode pembentukan dasar kepribadian dan karakter seseorang.
Mengomentari data tersebut, pengamat Timur Tengah, Osman Mirghani, dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat, menyebut ‘kalaulah ilmu merupakan sumber kebaikan dan kebodohan adalah sumber keburukan’, maka Dunia Arab akan diliputi dengan berbagai keburukan. Atau dengan kata lain, bahaya besar akan mengancam masa depan Dunia Arab, lantaran jutaan anak tidak bisa mengenyam pendidikan.
Gambaran itu semakin suram bila ditambah lagi dengan konflik dan perang yang terjadi sebelum ini. Konflik dan perang yang telah menyebabkan generasi masa lalu tidak bisa menikmati pendidikan di bangku sekolah, mulai dari gelombang imigrasi para warga Palestina, perang saudara di Lebanon, hingga beberapa perang yang dialami warga Irak pada 1980-an lalu.
Kini terdapat lebih dari 13 juta anak Arab dalam daftar panjang tidak bisa menikmati pendidikan dan rasa aman. Sementara itu, Dunia Arab terus berkonflik dan berperang, yang tidak hanya meluluhlantakkan gedung-gudung, rumah, dan infrastruktur lain. Namun, juga menghancurkan otak dan hati anak-anak yang menjadi masa depan mereka.
Sebuah generasi yang tumbuh dalam suasana perang dan kekerasan, selain tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik, juga akan menghadapi persoalan kejiwaan dan sosial. Mereka bisa saja menjadi korban kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab, misalnya kelompok terosis, radikalisme, dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya. Dan, itulah yang kini sedang terjadi.
Berbagai pihak, terutama media, mempertanyakan tentang peran Liga Arab terhadap nasib malang para pengungsi. Terhadap anak-anak yang tewas di tengah laut dan kemudian terseret ombak persis seperti ikan paus yang terdampar kaku di pantai. Juga penderitaan jutaan anak yang mengikuti para orang tua mereka mengungsi.
Namun, seperti tragedi-tragedi besar lainnya yang terjadi di Arab, berita tentang pengungsi akan hilang dengan sendirinya. Media akan bosan memberitakannya dan para politisi akan sibuk dengan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Yang mereka lupa adalah akibat atau pengaruh dari perang dan konflik yang menyebabkan banyak masyarakat menjadi pengungsi akan sangat panjang. Anak-anak tidak bisa mendapatkan pendidikan. Mereka tidak bisa tumbuh dalam suasana yang aman dan nyaman. Mereka akan terus dihantui oleh ketakutan.
Mereka adalah masa depan. Namun, dengan hilangnya kesempatan belajar, masa depan mereka juga akan hilang. Hal ini juga berarti pada masa depan yang buruk akan menanti negara-negara Arab.
Data UNICEF menyoroti lebih jauh tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak di Suriah, Irak, Libia, Sudan, Yaman dan di wilayah Gaza. Kini terdapat 9 ribu gedung atau bangunan sekolah yang tidak lagi berfungsi untuk pendidikan. Baik karena telah hancur rata dengan tanah, telah digunakan sebagai tempat berlindung warga yang rumahnya telah rusak akibat perang, ataupun telah digunakan oleh kelompok-kelompok bersenjata sebagai markas dan tempat penyimpanan senjata.
Kalaupun ada bangunan sekolah yang masih berfungsi, namun para orang tua tetap tidak menyekolahkan anak-anak mereka khawatir terkena peluru nyasar atau bahkan bom dari kelompok teroris atau mereka yang sedang bertikai. Juga takut terhadap kelompok-kelompok yang sengaja mengambil anak-anak sebagai tebusan atau perisai perang.
UNICEF juga menyebutkan ribuan guru sekarang ini telah meninggalkan tugasnya. Sebagian besar mereka telah ikut mengungsi dan sebagian lain bahkan ada yang ikut bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata. Akibatnya, banyak gedung sekolah yang masih berfungsi namun tidak ada gurunya sama sekali.
Yang menyedihkan, demikian UNICEF, di beberapa negara seperti Irak dan Suriah yang dulu angka anak sekolah sangat tinggi, kini akibat perang, jutaan anak tak bisa lagi menyenyam pendidikan. Angka anak-anak yang tidak bersekolah mencapai sekitar 3 juta di Irak dan lebih dari 2,7 juta anak di Suriah.
Sementara itu, kondisi di Sudan, Libia, dan Yaman tidak lebih baik dari itu. Berdasarkan penelitian UNICEF dengan tema ‘Pendidikan di Garis Api’, konflik dan perang di tiga negara itu telah menyebabkan 8 juta anak berhenti sekolah.
UNICEF bukan satu-satunya pihak yang menabuh gendang tentang bahaya perang dan konflik buat anak-anak. Dalam riset yang dilakukan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi atau UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yang khusus menyoroti nasib anak-anak Suriah dinyatakan bahwa mereka benar-benar dalam kondisi bahaya. Anak-anak hingga usia remaja di Suriah yang tidak dapat menyenyam pendidikan sekolah kini merupakan 52 persen dari keleluruhan warga yang mengungsi.
UNHCR pun menyerukan perlunya masyarakat dunia untuk segera menolong mereka. ‘‘Generasi anak-anak yang sedang menghadapi bahaya perang -- tidak bisa sekolah, kekurangan makan, dan kehilangan rasa aman dan nyaman -- harus segera diselamatkan.’’
Pengamat Timur Tengah, Osman Mirghani, menyebutkan data dari UNICEF dan UNHCR merupakan peringatan yang jelas dan sekaligus memilukan bagi masa depan bangsa-bangsa Arab. Mereka, lanjutnya, seharusnya merupakan pihak -- dibadingkan yang lain -- yang harus bergerak lebih cepat menangani persoalan anak-anak Arab. ‘‘Ingat, anak-anak adalah masa depan Dunia Arab,’’ tulis Mirghani dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat.
Peringatan Mirghani agaknya akan sulit terealisasikan bila melihat peta politik negara-negara yang tergabung di Liga Arab. Penyebabnya: konflik, perang, dan perebutan kekuasaan tampaknya telah berkembang menjadi dendam kesumat. Kondisi ini semakin diperburuk dengan munculnya kelompok-kelompok garis keras, radikal, dan bahkan kelompok teroris seperti ISIS (Islami State of Iraq and Syria) dan Alqaida.
Yang menyedihkan, Liga Arab – beranggotakan 22 negara -- yang seharusnya menjadi pemersatu negara-negara Arab justru seperti macan ompong atau bahkan menjadi bagian dari persoalan Dunia Arab itu sendiri. Setiap kali diselenggarakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) selalu tidak satu kata. Terjadi blok-blok dukungan.
Bahkan, dalam masalah pengungsi, Liga Arab belum sekalipun menyelenggarakan pertemuan, sidang atau apa pun namanya. Tidak aneh bila mereka juga cuek terhadap nasib anak-anak pengungsi yang tidak bisa menikmati keamanan, kenyamanan, dan pendidikan di bangku sekolah.