REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Christianity and Islam Clearly Can and Should Co-Exist. Inilah salah satu kesimpulan pokok dialog publik Kristianitas-Islam di enam kota utama Australia (1-1/9/2015). Banyak tantangan yang dihadapi umat manusia di muka bumi, bakal dapat terselesaikan --atau setidaknya terkurangi-- jika umat kedua agama ini bahu membahu dalam hidup berdampingan secara damai.
Bayangkan penganut Kristianitas dengan beragam denominasi dan gereja berjumlah sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, umat Muslimin mencapai lebih dari 1,6 miliar orang --juga dengan beragam aliran dan mazhabnya.
Penganut kedua agama seyogianya meningkatkan pemahaman dan praksis untuk penguatan kebajikan dan kemaslahatan bersama (common good). Nabi Muhammad SAW, misalnya, mencontohkan pengembangan common good dengan menerapkan Konstitusi Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ketika menjadi pemimpin negara Kota Madinah.
Melalui Piagam Madinah (al-mitsaq al-madinah), Nabi Muhammad memberi kebebasan beragama dan perlindungan atas nyawa dan harta benda kaum Yahudi --by extension juga penganut Kristianitas.
Sangat disayangkan dalam sejarah Islam masa pasca Nabi Muhammad pengembangan kemaslahatan bersama itu baik intra maupun antaragama sering terganggu sektarianisme aliran dan mazhab. Keadaannya kian parah dengan kebangkitan kembali ‘kabilahisme’. Sektarianisme keagamaan dan kabilahisme adalah penyebab utama konflik dan perang yang terus berlanjut sampai sekarang dalam masyarakat dan negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan, misalnya.
Konflik baik intra maupun antaragama dapat dicegah dengan dialog di antara berbagai pemangku kepentingan, khususnya kepemimpinan agama. Melalui upaya ini, pemahaman dan respek timbal balik lebih baik dapat dikembangkan dan pada saat yang sama persahabatan dapat tercipta di antara mereka.
Berhadapan dengan berbagai masalah global yang sekarang dihadapi umat manusia, pendeta Haire dan penulis Resonansi ini maupun audiens lintas agama dalam ‘Scholars’ Forum’ di Sydney (11/9/15) bersepakat bahwa Islam dan Kristianitas tetap relevan untuk menjawab tantangan modernitas dewasa ini dan ke depan. Masalah serius seperti perubahan iklim, perusakan lingkungan hidup, konsumerisme dan hedonism, dan dekadensi moral memerlukan respons dan aksi umat beragama.
Karena itu, umat kedua agama mesti membangun atau merekat kembali solidaritas (ukhuwah) internal umat yang beragam. Penulis Resonansi ini dalam dialog publik di Melbourne dan Canberra yang diikuti audiens antusias yang bukan hanya Kristiani dan Muslim, tapi juga penganut agama Yahudi, menekankan pentingnya membangun atau memperkuat tasamuh atau toleransi di antara aliran, mazhab atau denominasi berbeda dalam satu agama.
Hanya dengan tasamuh bisa tercipta persaudaraan yang sangat penting dalam menyelesaikan pertikaian, konflik, dan kekerasan internal. “We must first put our house in order in order to be able to create internal peace that can in turn be spread out to the others”. Selama konflik dan bahkan perang masih terjadi seperti di Suriah-Irak dengan ISIS atau di Yaman dengan Hauthi dan Arab Saudi, selama itu pula tragedi kemanusiaan terus terjadi.
Profesor Haire juga melihat perlunya peningkatan dialog internal berbagai denominasi dan gereja yang bukan tidak sering terlibat dalam kontestasi dan pertarungan menyangkut umat dan pemerintahan. Sejarah Australia, misalnya, sangat diwarnai kontestasi dan perebutan pengaruh di antara Gereja Anglikan dengan Gereja Katolik. Keadaan ini sedikit banyak mempengaruhi hubungan antargereja atau antardenominasi di benua Kanguru.
Karena itu, Pendeta James menyarankan pentingnya penguatan hal-hal yang sama atau komonalitas (commonality) di antara kedua agama dan para penganutnya. Komonalitas sangat penting untuk mengembangkan persaudaraan sebangsa yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ukhuwah wathaniyah.
Reverend James memandang, di antara hal-hal penting yang membuatnya tergerak (moved) ketika melihat Islam adalah penekanan kuat pada egalitarianisme dan moral individual-komunal (akhlak). Kedua hal ini sangat penting dalam meresponi ketidaksetaraan umat dan kelonggaran moral individual-komunal dalam masyarakat mayoritas Kristiani seperti Australia.
Pada pihak lain, kaum Muslimin di Australia atau negara lain di mana mereka minoritas (serta di negara-negara di mana mereka mayoritas, seperti Indonesia) mesti kembali kepada akhlak mulia yang sangat penting untuk membangun kehidupan antarmanusia lebih baik. Hanya dengan keseimbangan yang diajarkan dalam akhlaqul karimah kaum Muslim dapat hidup lebih serasi dalam masyarakat majemuk.
Selain itu, kaum Muslim perlu meningkatkan sensitivitas pada realitas sosial-budaya dan politik lokal di mana mereka menetap. Mereka sepatutnya menjalankan kearifan lokal yang terkenal di Indonesia, misalnya, ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ yang tidak berarti mengorbankan akidah, ibadah, dan ajaran Islam lainnya. Jika tidak, tensi dan konflik dapat selalu muncul dari waktu ke waktu.