REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Milan Kundera. Novelis sohor Cekoslowakia – negeri yang kemudian pecah menjadi Cheska dan Slowakia – yang melarikan diri ke Prancis. Namanya sangat dikenang karena kalimatnya yang legendaris: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.”
Dalam sebuah novelnya, ia bercerita tentang dua sahabat. Pada pesta kemenangan, Klement Gottwald berdiri di balkon istana bergaya Barok. Ratusan ribu rakyat di Old Town Square mengelu-elukannya. Ia berdiri diapit teman-temannya. Tiba-tiba salju turun, dingin. Clementis menanggalkan topi bulunya dan mengenakannya ke kepala Gottwald. Foto penguasa baru dengan topi bulu dan para sahabatnya menjadi legendaris. Foto itu dipajang di mana-mana. Namun kemudian, Clementis dituduh berkhianat dan digantung. Clementis segera dihapus dari sejarah, juga dari semua foto. Sejak itu Gottwald berdiri sendirian di balkon. Tempat Clementis berdiri hanya menyisakan dinding istana yang kosong, yang tersisa dari Clementis hanyalah topi bulu di kepala Gottwald. Tapi siapa yang tahu kisah topi itu?
Mari kita lihat fragmen lain. Satu bulan setelah pencoblosan pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menonton film bersama dengan sejumlah aktivis, intelektual muda, ekonom, dan politisi. Yang ditonton bukan film sembarangan, tapi film tentang pertarungan ideologi pembangunan, persisnya ideologi ekonomi. Film yang dirilis 2002 itu berjudul The Commanding Heights, The Battle for The World Economy. Film dokumenter ini diangkat berdasarkan buku terbitan 1998 dengan judul yang sama karya Daniel Yergin dan Joseph Stanislaw. Film ini produksi stasiun televisi PBS, Amerika Serikat. Frasa Commanding Heights merujuk pada frasa yang dilontarkan Vladimir Lenin, pemimpin Uni Soviet. Film ini bercerita tentang pertaruang ideologi kanan dan kiri, antara pasar bebas dan pasar yang diatur negara. Namun perdebatan sentral pada film ini bukan antara John Maynard Keynes dan Karl Marx tapi antara Keynes dan Friedrich von Hayek. Kepada wartawan, Yudhoyono menjawab bahwa ia memilih berdiri di antara dua kutub itu.
Saat kampanye pilpres 2014, Jokowi menyodorkan trisakti dan nawacita. Trisakti merupakan gagasan Bung Karno tentang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sedangkan nawacita merupakan sembilan program, semacam terjemahan operasional dari trisakti dalam konteks kekinian. Penggunaan istilah nawacita merupakan kebiasaan Bung Karno dalam menggunakan Bahasa Sansekerta.
Apa yang dipertontonkan SBY dan dikatakan Jokowi merupakan narasi ideologi yang mereka tawarkan kepada bangsa ini. Beberapa waktu lalu, Jokowi kembali menegaskan tentang keharusan berideologi. "Pemimpin baik di tingkat kota, kabupaten, gubernur, dan di tingkat nasional harus punya ideologi, tanpa itu kita tidak akan punya arah dan panduan," katanya saat membuka rapat kerja nasional Partai Nasdem di Jakarta, Senin (21/9). Bung Karno, Bung Hatta, dan para bapak bangsa memiliki warna ideologi sendiri-sendiri. Rizal Ramli, menko maritim dan sumberdaya, mengatakan, “Musuh ideologi kita jelas: neoliberalisme dan feodalisme.”
Perjuangan politik yang sejati adalah perjuangan ideologi, yakni perjuangan gagasan, sistem nilai, dan keyakinan yang terlembagakan dan terstruktur. Perjuangan politik tanpa ideologi akan terjebak pada pragmatisme dan menggadaikan akal budi, nurani, dan kemanusiaan. Politik tanpa ideologi hanyalah soal kursi dan kekuasaan. Ideologi kapitalisme ataupun sosialisme selalu dicitakan pada perjuangan redistribusi ekonomi untuk terwujudnya kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan bagi seluruh anak manusia. Perjuangan melawan korupsi hanyalah salah satu sarana untuk mencapai semua itu. Ia bukan tujuan akhir. Karena itu jika ada politisi yang mencitrakan dirinya antikorupsi tapi tak melakukan redistribusi ekonomi maka ia sedang tersesat, dan pada titik tertentu layak kita lawan.
Saat ini, angka gini rasio Indonesia terus meningkat. Jurang antara yang kaya dan yang miskin makin lebar. Angkanya pada 2013 sudah mencapai 0,413. Pada 2010 masih 0,388, sedangkan menjelang kejatuhan Soeharto masih 0,355. Makin tinggi angka gini rasio berarti makin lebar jurangnya. Revolusi bisa terjadi jika angkanya mencapai 0,417. Kesuksesan sebuah pemerintahan tak sekadar meningkatnya size ekonomi. Misalnya saat ini Indonesia masuk 16 besar ekonomi dunia sehingga masuk anggota G-20, yang diukur dari angka GDP. Bahkan diramalkan menjadi 7 besar pada 2030. Namun apalah angka itu jika tak terjadi pemerataan ekonomi. Besaran itu hanya dinikmati segelintir orang, bahkan bisa jadi dinikmati asing.
Di masa VOC, bumi Nusantara ini adalah raksasa ekonomi dunia. VOC hanya bersaing dengan EIC, milik Inggris. Namun Indonesia adalah negeri terjajah. Semua kekayaan itu dihisap ke Belanda. Kemajuan juga tak bisa hanya diukur dari infrastruktur yang hebat. Di masa penjajahan, bahkan jaringan kereta apinya jauh lebih baik. Saat ini, sudah banyak rel kereta api yang tak dipakai. Misalnya, Rangkasbitung-Labuan di Banten. Atau Cirebon-Bandung via Sumedang. Belum lagi untuk jalur-jalur pendek, atau trem di Jakarta, yang juga sudah mati. Infrastruktur yang maju justru menjadi bagian dari strategi kolonialisme, seperti halnya pembangunan rel kereta api di Amerika Serikat yang menghabisi Indian. Infrastruktur itu ibarat pipa-pipa penghisap yang memudahkan penyedotan kekayaan suatu negeri. Seperti halnya pemberantasan korupsi, infrastruktur hanyalah salah satu sarana. Ia bukan tujuan inti. Yang terpenting adalah redistribusi ekonomi. Kita tak boleh mengulang sejarah seperti itu.
Membesarnya GDP Indonesia sehingga bisa masuk G-20 lebih karena ekonomi komoditas. Kini, ketika harga komoditas jatuh, Indonesia terseok-seok. Dampaknya baru terasa sekarang. Apalagi Indonesia tak memiliki pola pengembangan industri yang jelas. Besarnya skala ekonomi tak membuat Indonesia berkembang. Kemajuan yang dicapai tak membuat kita melangkah ke depan. Kita justru jalan di tempat, bahkan jalan mundur. Kita tetap menjadi eksportir pembantu terbesar di dunia.
Semua pemimpin politik selalu mengaku memiliki visi, bahkan ideologi. Namun jika arah mereka justru sebaliknya dari alur ideologi, maka sejatinya ia seperti yang diingatkan Kundera: menghapus jejak sejarahnya. Ideologi juga bukan sekadar daftar keinginan tapi pola pikir. Langkah-langkah tanpa pola hanya membuat Indonesia makin kusut.