REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia
Sebagian orang percaya era buku lambat laun akan berakhir. Kekuatan dunia digital dan internet mungkin segera membinasakannya. Keperkasaan teknologi informasi terbukti sudah meluluhlantakkan tatanan bisnis musik, kaset dan CD, koran, film, telepon kabel, penjualan ritel, dan berbagai bidang lain. Buku, akankah menjadi korban berikutnya?
Perhelatan supermegah di Frankfurt International Book Fair justru menunjukkan situasi sebaliknya. Ratusan penerbit dari puluhan negara berlomba-lomba memperkenalkan buku mereka ke dunia luar. Penerbit, agen, penerjemah dari berbagai negara berkumpul dalam ajang pameran yang paling bergengsi ini untuk saling bertukar informasi.
Ada yang mencari buku untuk mereka terjemahkan, ada juga yang menawarkan bukunya untuk diterjemahkan. Sebagian berusaha membangun relasi dengan agensi, penerbit atau penerjemah, juga distributor. Pendeknya, semua kegiatan selama pameran buku paling bergengsi di dunia itu menunjukkan betapa buku masih ramai dicari, bisnisnya masih menjanjikan, dan memiliki masa depan yang panjang.
Sebenarnya terdapat banyak alasan mengapa buku masih akan bertahan. Pertama, buku tetap menjadi rujukan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada informasi di internet. Jika kita merujuk informasi di internet dan rujukan tersebut dihapus, maka validitas tulisan ikut diragukan.
Kedua, jika mengambil data di internet dan sumber data tersebut kemudian dikoreksi, maka data yang digunakan si penulis menjadi tidak akurat lagi. Ketiga, ketika merujuk di internet dan bahan yang diambil ternyata hasil plagiat, maka kita berisiko dituduh plagiat juga.
Dengan alasan di atas, ditambah hal-hal lain, seharusnya buku masih akan menjadi kebutuhan di masa depan. Seiring dengan semangat ini, seorang akademisi Jerman, Prof Dr Dieter Riemenschineider, menyatakan keyakinan terhadap buku yang menurutnya akan tetap hidup.
Ketika saya bertanya, apakah buku akan habis dilindas digitalisasi, lelaki berusia 80 tahun yang masih terlihat gagah itu menggeleng tegas. “Tidak, selama anak-anak sejak kecil diajarkan untuk mencintai buku. Para orang tua biasa memperkenalkan anak-anak dengan buku hingga akhirnya mencintai kegiatan membaca. Sebagian besar anak ketika dewasa tetap merasakan sesuatu yang berbeda ketika menyentuh kertas. Merasakan sensasi khas saat membuka lembaran-lembaran buku konvensional. Kepuasan yang hilang sewaktu berinteraksi dengan e-book.”
Atas alasan itu, sang profesor yang sangat bersemangat pada karya-karya dari negara ketiga untuk diterbitkan dalam bahasa Jerman itu percaya jejak buku tidak akan tergilas oleh perkembangan digital dan internet. Meski benar, bagaimanapun pemerhati buku harus melakukan langkah-langkah antisipasi untuk melanggengkan usia buku cetak.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak kehebatan, tetapi tak jarang kehilangan momentum berkali-kali. Dunia Barat mengenal budaya baca sebelum budaya televisi. Sehingga, setelah televisi masuk, masyarakat Barat masih suka membaca sekalipun ada tayangan televisi. Budaya yang membuat mereka tetap terjaga sebagai negara maju.
Sedangkan, sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal televisi sebelum mereka suka membaca. Akibatnya, generasi muda kita banyak dipengaruhi tontonan ketimbang tuntunan buku. Tantangan ini bertambah berat sebab sebelum pegiat baca di Tanah Air berhasil meningkatkan minat baca anak-anak, Indonesia terserang lagi dunia online dan digital. Membuat buku-buku makin tersudut, berada di posisi yang terancam tak lagi tersentuh.
Sulit menolak tumbuhnya kekhawatiran. Jangan-jangan anggapan buku sudah habis masanya justru akan terbukti di Indonesia, seiring minat membaca buku sastra yang selalu tertinggal dibanding negara-negara lain bahkan di Asia.
Kabar baiknya, tahun ini Indonesia terpilih menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Artinya, di antara semua peserta dari berbagai bangsa, Indonesia mendapat panggung pentas paling luas dan mencuri perhatian. Satu peluang mahal yang sulit diperoleh.
Jika setiap negara harus bergantian menjadi tamu kehormatan dalam FBF, berarti kesempatan ini mungkin hanya terulang 50 tahun sekali atau lebih. Peluang yang sangat jarang dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karenanya wajar ratusan bakat dari Indonesia dihadirkan untuk mengikuti deret kegiatan di panggung buku terbesar di dunia ini dengan pembiayaan pemerintah.
Akan tetapi berbagai pertanyaan lain menanti. Apakah seusai kehadiran Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam Franfkurt Book Fair Festival ini akan memberi citra makin baik pada literasi Indonesia di dunia luar?
Apakah setelah terselenggaranya festival ini penulis-penulis di Tanah Air akan lebih dihargai? Kenyataannya jelas. Sebuah buku mustahil hadir tanpa didahului keberadaan penulisnya.
Terakhir, persoalan lebih penting adalah bagaimana agar dana tidak sedikit ini akan terasa manfaatnya bagi masyarakat Indonesia secara umum. Semoga saja.