REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Saya membayangkan para pemilik perkebunan dan para top eksekutifnya rame-rame satu jam saja berdiri di tengah kepungan asap. Tak perlu harus ke Sumatra atau Kalimantan, tapi cukup di kawasan Monas saja. Kumpulkan jerami lalu dibakar. Asapnya bisa putih pekat, bahkan kuning. Tentu mereka saja belum cukup, perlu juga seluruh anggota kabinet ikut serta. Rasakan nikmatnya hidup bersama asap.
Sebagian orang percaya bahwa bencana – ya ini memang bencana – ini bukan karena ulah perkebunan tapi karena kelakukan peladang berpindah atau faktor alam karena terik matahari di musim kemarau. Apalagi bumi Sumatra dan Kalimantan memiliki lahan gambut yang tebal. Tak mudah memadamkannya. Atasnya disiram tapi bara masih bersembunyi di bawahnya. Ini mirip dengan tersentuhnya ujung kasur kapuk oleh bara obat nyamuk bakar. Lalu kita mematikannya dengan air atau menggebahnya. Tapi satu serat halus kapuk yang masih menyala dan berada di dalam kasur adalah bencana yang tersembunyi. Saat kita terlelap tidur, satu serat itu sudah menjadi kobaran yang bisa membakar seluruh kasur bahkan seisi rumah. Itulah bencana kebakaran rumah di masa lalu ketika kasur kapuk masih menjadi tren.
Woi, peladang berpindah itu sudah ada sejak berabad lampau. Tapi tanyakan pada nenek moyang warga Sumatra dan Kalimantan, adakah bencana asap itu semassif di tahun-tahun terakhir ini. Sejarah tak pernah mencatatnya. Mereka selalu mempunyai kearifan lokal. Mereka tak memiliki mobil untuk kabur dengan cepat, juga tak bisa menyelamatkan anak-anak dan keluarganya untuk menghindar jika mereka tak melokalisasi pembakaran lahan. Jadi peladang berpindah selalu memiliki cara untuk melokalisasi pembakaran hutan untuk ladang barunya. Lagi pula mereka tak butuh lahan yang luas untuk bercocok tanam. Adalah ilusi jika menyebutkan bahwa peladang berpindah adalah pelaku utama pembakaran lahan.
Ada yang mencatat bahwa bencana asap tahunan ini 'baru' 18 tahun saja. Itulah saat swasta mendapat konsesi untuk mengelola hutan. Hanya bermodal sebatang korek api dan beberapa jeriken bensin, cukuplah land clearing itu dilakukan. Tak perlu mengerahkan alat-alat berat dan ratusan atau ribuan tenaga kerja: mahal dan lama. Sebatang korek api sudah cukup: suwaaangat murah. Mereka inilah para pemilik perkebunan sawit. Twitt Sutopo Purwo Nugroho, juru bicara BNPB, memperlihatkan kaitan itu. Setelah api padam, segera ditanam sawit. Ia bahkan melengkapinya dengan bukti foto.
Tahun ini, bencana nasional asap ini – hingga kini pemerintah masih belum mengakui sebagai bencana nasional – adalah termasuk yang sangat parah. Dugaan paling gampang adalah karena faktor El Nino, musim kemarau yang panjang dan suhu yang sangat panas. Tahun-tahun lalu selalu saja kebakaran hutan ini berakhir seiring datangnya hujan. Namun kali ini hujan belum kunjung turun. Tapi kita juga patut menduga bahwa ada faktor lain, ini terutama karena titik-titik api baru. Wilayah-wilayah yang sebelumnya relatif tak terkena musibah asap, kini justru disergap asap sejak bulan Juli. Korban-korban pun sudah berjatuhan.
Kita sedih dengan diskursus yang muncul: yang lebih parah di masa SBY atau di masa Jokowi, yang salah SBY yang 10 tahun berkuasa dan bukan Jokowi yang baru setahun, ini kelakuan korporasi atau peladang, ini dampak El Nino atau kesengajaan, minta bantuan asing atau diatasi sendiri, pelakunya perusahaan asing atau dalam negeri, ini tanggung jawab pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dan seterusnya. Inilah fenomena politik suporter. Yang ada hanya followers dan haters. Sehingga lupa pada substansi. Faktanya sekarang sudah terbakar. Segera atasi. Apapun yang bisa dilakukan. Aparat hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNPB dan yang terkait memadamkan. Instansi lain melakukan langkah-langkah segera untuk menolong korban, bila perlu lakukan evakuasi. Kemendikbud, Kemenkes, Komnas Anak, Kementerian Sosial juga bekerja bahu-membahu.
Namun semua upaya itu tak berdampak signifikan. Ini karena berawal dari tiadanya keseriusan yang dalam, persis seperti tahun-tahun sebelumnya dan seperti rezim-rezim sebelumnya. Semua akan berlalu seiring waktu, dan semua akan kembali baik-baik saja. Setelah hujan datang orang akan segera melupakannya. Sesederhana itu, sekaligus sebejat itu peradaban kita. Adapun soal korban meninggal – dan mereka akan mendebat: betulkah itu karena asap? -- atau soal mata perih, sesak napas, hidup stress, tak bisa melihat cerahnya langit dan indahnya rembulan hanyalah soal statistik. Mereka tak melihat dari sisi manusiawinya. Betapa sedih dan luluh akibat kehilangan. Betapa tersiksa hidup dalam kepengapan dan kekurangan oksigen. Lalu bagaimana pula dengan kehidupan sosial dan kehidupan belajar-mengajar?
Betapa bejatnya kita jika kita menganggap ini sebagai rutinitas tahunan. Betapa bejatnya kita jika hanya karena bukan kita yang menjadi korbannya. Betapa bejatnya kita jika kita menganggap bahwa pedih di mata dan sesak di dada masih bisa ditahan. Betapa bejatnya kita jika kita menilai bahwa kehidupan masih berjalan di tengah kepungan asap.