Senin 26 Oct 2015 06:00 WIB

‘Sampai Bertemu di Surga’, Wasiat Pemuda Palestina

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

 

Omar al Faqih menolak gelar pahlawan. Ia hanya ingin kematiannya sebagai mimpi indah. Mihnad Halaby, temannya, berwasiat agar setelah ia syahid jenazahnya dimakamkan di Tanah Palestina. Tidak di Israel.  Bahaa Aliyan menyatakan kepada teman-temannya, ‘’Sampai bertemu di surga.’’

Wasiat atau pesan tiga pemuda Palestina itu terabadikan di akun Facebook masing-masing, sebelum mereka syahid dibunuh tentara Zionis Israel beberapa waktu lalu. Mereka sepertinya tahu persis akibat dari setiap perlawanan yang mereka lakukan terhadap kaum penjajah Israel: ditangkap atau dibunuh!

Dari ketiga pemuda itu, tulis media Aljazeera.net, pesan terakhir di akun Facebook Bahaa Aliyan tampaknya yang paling panjang dan lengkap. Aliyan menyebutnya sebagai ‘sepuluh wasiat’  untuk teman-temannya para pemuda Palestina. Ia telah mati syahid beberapa hari lalu, setelah melakukan serangan terhadap rombongan kendaraan tentara Israel di Madinatul Quds (Jerusalem).

Mari kita simak ‘sepuluh wasiat’ yang ditulis Aliyan. Pertama, aku berwasiat agar tidak membesar-besarkan mati syahidku. Kematianku demi negara dan bukan untuk kalian. Kedua, aku tidak menginginkan poster atau foto. Aku tidak ingin peringatan kematianku hanya menempel di dinding-dinding. Ketiga, jangan  mengganggu ibuku dengan berbagai pertanyaan. Aku tahu tujuan dari tindakan itu hanya untuk menarik belas kasihan dari para pemirsa televisi dan pembaca media tulis. Keempat, jangan menanamkan kedengkian di hati anakku. Biarkan ia mencari sendiri arti sebuah negara dan mati demi negaranya dan bukan mati sebagai balas dendam atas kematianku.

Kelima, kalau mereka ingin menhancurkan rumahku, silakan. Batu-batu (rumah) tidak akan lebih berharga dari jiwa yang diciptakan Tuhanku. Keenam, jangan bersedih setelah kesyahidanku. Bersedihlah dengan apa yang akan terjadi setelahku (kematianku). Ketujuh, jangan mencari apa yang telah aku tulis sebelum aku mati syahid, tapi carilah apa di belakang syahidku itu. Kedelapan, jangan berebut mengiringi jenazahku, namun jagalah dirimu dalam keadaan wudhu ketika shalat jenazah. Tidak lebih. Kesembilan, jangan jadikan kematihanku sebagai hitungan angka. Bisa jadi angka itu kamu lupakan besok. Kesepuluh, sampai jumpa di surga!

Wasiat atau pesan yang ditulis di akun media sosial semacam itu tampaknya kini menjadi tren anak-anak muda Palestina. Para pemuda yang berketatapan hati untuk melawan kezaliman kaum kolonialis Zionis Israel. Macam-macam yang mereka tulis. Beberapa di antara mereka meminta kepada keluarganya agar tidak menangisi ‘kepergiannya’. Mereka menyatakan, mati syahid adalah pilihan dan jalan hidup.

Bayan ‘Ashilah di akun Twitternya menyatakan kepada para followers-nya di negara-negara Arab, bila mereka tidak bisa berbuat sesuatu untuk membebaskan Masjidil Aqsa dari cengkeraman Yahudi, agar selalu berdoa seusai shalat. ‘Ashilah yakin doa juga merupakan senjata ampuh untuk membebaskan al Quds, minimal sebagai bentuk kepedulian.

Selain menulis pesan dalam bentuk tulisan, menurut liputan Aljazeera.net yang telah mengikuti akun para pemuda pejuang Palestina di media sosial, kebanyakan mereka juga menyertakan foto para pejuang yang telah gugur sebelumnya. Foto-foto para syahid itu tampaknya dimaksudkan sebagai penyemangat untuk terus melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah Israel. 

Akun Mihnad Halaby misalnya, memuat foto Dhiya al Mutalahimah yang telah menjadi syahid sebelumnya. Lalu akun Omar al Faqih mencantumkan foto syahid sebelumnya, Fadi Aliyun. Dan, begitu seterusnya.

Para pemuda yang menulis wasiat di media sosial sebelum berangkat ke medan juang itu sering disebut sebagai generasi pasca Perjanjian Oslo. Yaitu sebuah perjanjian yang ditandatangani PM Israel Yitzhak Rabin, Presiden Palestina Yasir Arafah, dan disaksikan Presiden AS Bill Clinton pada 13 September 1993. Isinya, Israel dan PLO (Palestine Liberation Organization) bersepakat saling mengakui kedaulatan masing-masing.

Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa ‘memerintah’ di kedua wilayah itu. Namun, hingga kini pihak Israel selalu ingkar janji dengan tidak mengakui Palestina sebagai negara.

Anak-anak muda Palestina yang tumbuh setelah tahun 1993 itulah yang disebut sebagai generasi pasca Perjanjian Oslo. Selain menulis wasiat di Facebook dan Twitter, ciri lain dari mereka adalah bersenjatakan batu, pisau lipat, dan juga kamera handphone. Kamera diperlukan untuk merekam berbagai kebiadaban Zionis Israel, baik oleh militer maupun para pemukim Yahudi.

Mereka ingin memanfaatkan kemajuan teknologi -- berupa foto dan video -- dalam perang melawan penjajah Israel. Entah itu lewat kamera handphone maupun CCTV. CCTV ini sengaja dipasang Israel untuk memantau gerak-gerik para pejuang Palestina, namun yang terekam justru kekejaman tentara Israel.

Itulah tampaknya yang membuat pihak Israel marah. Para penguasa Yahudi telah memerintahkan untuk menghancurkan kamera-kamera pengawas itu. Mereka juga meminta secara resmi kepada pihak Youtube dan Facebook untuk menarik video-video berisi berbagai pelanggaran tentara dan para pemukim Yahudi terhadap warga Palestina itu.

Apa yang dilakukan para pemuda Palestina di atas -- dari menulis wasiat di media sosial, melawan dengan batu dan pisau hingga mengabadikan kekejaman tentara dan pemukim Yahudi dalam video -- tampaknya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perlawanan bangsa Palestina masih ada. Perlawanan Palestina terhadap kaum penjajah Zionis Israel belum padam. Dan, kali ini pelakunya adalah para pemuda, laki-laki dan perempuan.

Perlawanan itu tampaknya digerakkan oleh rasa marah dan putus asa. Marah dan putus asa lantaran berbagai penyelesaian damai (politik) tidak pernah membuahkan hasil, sementara pembangunan pemukiman Yahudi di Tanah Palestina terus berlangsung dan tindakan represif militer Israel semakin merajalela.

Juga marah dan putus asa karena para pemimpin Palestina sendiri dianggap  tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka -- para pemimpin Palestina -- pun tidak mampu untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka sendiri. Perseteruan dua kelompok dominan di Palestina, faksi Fatah dan faksi Hamas, yang sudah berlangsung tahunan adalah bukti mereka kurang peduli kepada kepentingan bangsa dan negaranya.

Berikutnya, mereka pun marah dan putus asa lantaran masyarakat internasional, terutama para pemimpin negara-negara Islam dan Arab, semakin tidak peduli kepada nasib bangsa Palestina. Ketidak-pedulian yang kemudian membuat berani para pemimpin Zionis Israel untuk berlaku semena-mena kepada bangsa Palestina. Termasuk menyerang dan merusak Masjidil Aqsa serta mengubah semua identitas wilayah Palestina yang diduduki Israel menjadi milik Yahudi.

Marah dan putus asa yang kemudian membuat para pemuda untuk bergerak melawan penjajah Zionis Israel. Perlawanan yang kini banyak disebut sebagai gerakan Intifadah Ketiga. Intifadah adalah gerakan perlawanan rakyat semesta, yang kini dimotori oleh para pemuda Palestina.

Intifadah itu ternyata juga didukung oleh 57 persen pemuda Palestina berumur antara 18-22 tahun. Menurut sebuah lembaga jajak pendapat di Timur Tengah, pada bulan ini angka tersebut naik menjadi 71 persen.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement