Sabtu 31 Oct 2015 06:00 WIB

RAPBN dan Kita

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

“Pa, berita APBN ini maksudnya apa, sih?” tanya seorang istri sambil menunjuk koran yang memuat soal Badan Anggaran DPR yang menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 senilai Rp 2.095,7 triliun. Sang suami yang sebenarnya tidak terlalu banyak tahu tentang ekonomi menjawab seadanya.

"Itu rencana belanja tahunan negara, Ma. Ya, mirip kitalah. Setiap bulan kan selalu ada rencana belanja bulanan atau mau beli apa tahun ini." Penjelasan itu ternyata tidak meredam, malah menumbuhkan rasa penasaran baru istrinya. "Tapi, Pa, di sini ditulis pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun. Berarti negara belanja lebih banyak dong, dari penghasilannya. Nah, kurangnya dari mana?”

“Ya, berutang,” tukas sang suami, “idealnya ini tidak dilakukan kalau memang tidak perlu. Apalagi jika terjadi pemborosan di sana-sini. Papa juga heran kenapa rasanya hampir tiap tahun negara selalu utang.“ Sang istri meneliti angka-angka yang tertera dengan lebih cermat, seakan kehidupan rumah tangganya tergantung benar pada data di sana.

“Terus, ini ada tulisan penerimaan dari sektor pajak Rp 1.546,7 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 273,8 triliun, maksudnya?” “Itu artinya belanja negara lebih dari 70 persen dibayar rakyat Indonesia lewat pajak. Sisanya dibiayai hasil alam, BUMN, atau utang, dll.” Meski berusaha mencerna, wajah perempuan hampir setengah baya itu malah semakin bingung.

“Kalau di film-film Barat kan, sering ada adegan pas aparat atau pejabat berlaku kasar, rakyatnya berani bilang, 'Saya ini pembayar pajak.' Tapi kenapa di sini nggak ada yang ngomong begitu, ya?” Kali ini suaminya terdiam beberapa hela sebelum menjelaskan.

“Di Indonesia banyak pejabat dan aparat tidak sadar bahwa mereka digaji rakyat. Menganggap yang menggaji mereka adalah atasan atau uang negara. Padahal, uang negara itu sebagian besar dari rakyat lewat pajak. Karena tidak sadar, ketika ada rakyat yang menegur pejabat atau aparat dengan, 'Saya ini pembayar pajak!' bisa-bisa malah dijawab, "Terus, gue harus bilang wow gitu?!"

Lelucon suaminya membuat sang istri tertawa. Sang suami ikut tertawa sampai terbatuk-batuk. Tidak lama kemudian dia meneruskan, “Dan rakyat juga banyak yang tidak paham bahwa mereka sebenarnya yang menggaji para pejabat dan aparat negara. Ketika masyarakat membeli mobil, motor, makan di restoran, bahkan termasuk beras, sebenarnya ada pajak yang dibayarkan. Langsung maupun tidak langsung itu untuk menggaji para pejabat dan aparat.“

“Sebenarnya boros tidak, sih, anggaran kita? Sudah sesuai dengan kebutuhan belum, Pa?” Mendapati sang istri masih bersemangat menunggu jawaban, laki-laki itu membuka laptopnya, mengutak-atik data di internet, terus mencari informasi yang dibutuhkan melalui Google. Penasaran ingin memastikan apa saja yang telah dianggarkan negara.

Detik-detik berikutnya si lelaki sibuk menggumam sendiri. “Hmm, anggaran untuk KPK sekitar Rp 1 triliun, untuk kepolisian lebih dari Rp 60 triliun. Padahal penyakit paling berbahaya salah satunya korupsi. Seandainya semua pihak bekerja untuk memberantas korupsi, pasti sangat kuat.”

Hmm ... anggaran untuk Radio Indonesia mencapai Rp 800 miliar dan TVRI Rp 900 miliar. Kenapa dengan suntikan dana sebesar itu rasanya belum banyak programnya diminati?” “Hmm, Perpustakan Nasional Rp 700 miliar. Buat apa saja, ya?”

“Komnas HAM anggarannya cuma Rp 94 miliar setahun. Cukup kecil. Kemungkinannya dua. Di Indonesia tidak banyak pelanggaran HAM atau bisa jadi pelanggaran HAM tidak dianggap penting.” “Lalu dana yang paling besar di pekerjaan umum dan perumahan rakyat, lebih dari Rp 100 triliun, sementara untuk pertahanan lebih dari Rp 90 triliun."

Kalimat terakhir ditutup dengan gumaman lebih panjang. Kesal karena suaminya sejak tadi cuma bergumam dan bicara lirih sendiri, sang istri terus mengusik. “Pa, jangan cuma hmm hmm, jadi bagaimana?” “Wah, enggak tahu, biar rakyat saja yang menilai.”

“Terus, ini ditulis Rp 700 miliar untuk gedung anggota DPR. Berarti kalau anggota dewan 500-an orang, masing-masing dapat jatah ruangan senilai Rp 1 miliar, dong.”

“Tidak sesederhana itu juga .... Enggak tahu, ya. Sudah, Ma, biar saja rakyat yang menilai.”

“Tidak bisa begitu," protes istrinya, "ngomong-ngomong ada anggaran pembelian pesawat untuk pemadaman kebakaran hutan? Kita kan butuh banyak, minimal satu provinsi rawan asap satu, biar bisa saling membantu.”

“Kalau dilihat di data sih tidak ada spesifik tulisan menyebutkan negara akan membeli pesawat pemadam kebakaran hutan dan perkebunan. Papa lihat di berita juga tidak ada fraksi yang menekankan perlunya anggaran untuk pesawat pemadam kebakaran hutan. Apa terlewat mata tua Papa, ya. Mudah-mudahan ini sudah dimasukkan. Dulu katanya sih akan beli tahun ini."

Lelaki itu menutup laptop, tersenyum memandang wajah istrinya yang masih terpaku, dipenuhi rasa ingin tahu. “Wah, kalau semua rakyat sampai ibu rumah tangga pada tertarik urusan beginian, mungkin negara bisa lebih terbuka, ya?"

Kali ini senyap. Pertanyaan retorisnya tak mendapat respons. "Ma .... Mama?"

Di hadapannya, sang istri bergeming. Berulang kali memandangi layar ponsel dengan takjub, sementara tangannya tak berhenti menekan tombol-tombol aplikasi kalkulator. Ponsel yang kini merangkap kalkulator itu, entah sejak kapan berada di genggaman.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement