Senin 02 Nov 2015 06:00 WIB

Konspirasi Barat Mengacak-acak Dunia Arab

Red: Maman Sudiaman
Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Bagaimana kita menganalisa pernyataan dua tokoh penting Barat ini tentang kondisi Timur Tengah kini? Yang satu adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan yang lainnya bakal calon kuat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump?

Dalam wawancara dengan CNN yang diudarakan pada Ahad lalu (25/10),  Blair mengakui invasi AS dan Inggris ke Irak pada 2003 telah memicu munculnya kelompok yang menamakan diri Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Namun, lanjutnya, hal itu bukan satu-satunya sebab. Penyebab lainnya yang lebih dominan adalah pengaruh The Arab Spring tahun 2011.  

Sebagai bukti invasi ke Irak bukan satu-satunya penyebab munculnya ISIS, Blair menunjuk kelompok radikal yang dipimpin Abu Bakar al Baghdadi itu keluar (baca: terbentuk) dari pangkalan di Suriah, bukan di Irak. ‘‘Tentu saja, kami yang menggulingkan Saddam pada 2003 mempunyai tanggung-jawab atas situasi pada 2015,’’ ujar Blair yang keputusannya mengirim tentara untuk mendukung militer AS menyerbu ke Irak menuai kritik yang tajam di negerinya.

Karena itu, kata Blair, ia tidak akan meminta maaf atas keputusannya mengirimkan militer Inggris untuk ikut menggulingkan rezim Saddam Husein. Ia hanya meminta maaf dengan apa yang ia sebut sebagai kesalahan dalam taktik, kesalahan informasi intelijen sebelum keputusan perang, dan kesalahan perencanaan pada periode setelah penggulingan Saddam Husein.

Dalam kesempatan wawancara itu, ia juga membela keputusan negaranya mengirimkan tentara ke Irak serta intervensi di Libia dan Suriah. Menurutnya, meskipun keputusan Inggris campur tangan di negara-negara Timur Tengah belum menuai hasil yang diinginkan, namun kondisi kini lebih baik -- dibandingkan bila Saddam Husein tidak digulingkan. ‘‘Karena itu saya tidak akan meminta maaf atas penggulingan Saddam (Husein). Saya percaya hingga kini pada 2015 bahwa ketidak-beradaannya (Saddam Husein) masih lebih baik daripada keberadaannya.’’

Namun, pandangan Blair ini dibantah bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Menurut Trump, dunia akan lebih nyaman bila Saddam Husein dan Muamar Qadafi masih berkuasa di Irak dan Libia, meskipun diakuinya kedua orang itujuga telah berbuat kejam kepada rakyat mereka.  

Pernyataan Trump itu disampaikan dalam acara bincang-bincang di CNN, yang kemudian dilansir kantor berita AFP pada Senin (26/10) lalu, sehari setelah pernyataan Blair. Sebagai bakal calon presiden peringkat teratas dari Partai Republik, pernyataan Trump tentu dalam rangka kampanye. Kali ini untuk menyerang kebijakan luar negeri Presiden Barack Obama dan Menteri Luar Negeri AS yang saat itu dijabat Hilary Clinton, rival terkuat Trump dari Partai Demokrat dalam pertarungan menuju Gedung Putih.

Menurut Trump, Timur Tengah menjadi hancur di masa Menlu Hilary Clinton dan Presiden Obama. Ia menyebut Irak kini sudah seperti ‘Harvard terorisme’. Irak sudah menjadi tempat ‘pelatihan bagi para teroris’. Namun, ia mengakui kehancuran itu sebenarnya tidak lepas dari keputusan Presiden George Bush pada 2003 untuk menginvasi Irak. 

Presiden Saddam Husein digulingkan dalam invasi militer AS yang didukung Inggris dan sekutu ke Irak pada 2003. Ia dieksekusi mati pada 2006. Saddam dituduh menyimpan senjata pemusnah masal yang hingga kini tidak pernah terbukti.

Sekarang mari kita lihat bagaimana awal mula munculnya ISIS yang kini menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah. ISIS terbentuk dari orang-orang para mantan Alqaida di Irak (Alqaida fi Bilad ar Rafidin). Abu Bakar al Baghdadi, yang kemudian memprokamasikan diri sebagai khalifah ISIS, mulai dikenal publik setelah Abu Musab al Zarkawi tewas oleh serangan udara AS pada 2006. Al Zarkawi merupakan pemimpin tertinggi Alqaida di Irak.

Pada periode itu muncul sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai Tandzimu ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq yang kemudian menjadi ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Syam/as Suriyah atau ISIS setelah mereka menguasai wilayah Suriah. Anggota dari ISIS sebagian besar adalah para mantan Alqaida di Irak.

Sebelum itu, tepatnya pada 2004, pasukan AS menangkap seseorang yang kemudian dikenal sebagai Abu Bakar al Baghdadi, dalam sebuah operasi militer AS di Falujah. Ia lalu ditahan beberapa bulan. Setelah bebas ia menghilang beberapa waktu. Ketika muncul ia langsung memimpin ISIS dan mentahbiskan diri sebagai khalifah dengan gelar Amirul Mukminin.

Sejak invasi AS tahun 2003 hingga The Arab Spring yang juga menggoncang Suriah pada 2011, Irak telah menjadi pusat kegiatan organisasi-organisasi radikal dan teroris dari orang-orang yang terkait dengan Alqaida. Mereka memanfaatkan gejolak politik dan keamanan pasca penggulingan Saddam Husein. Guna merekrut para ‘pejuang’ mereka sengaja menggunakan slogan-slogan anti-Barat, anti Amerika, anti Syiah dan seterusnya. Yang terakhir ini, kelompok Syiah, telah menjadi penguasa pasca-Saddam Husein. Sistem demokrasi  telah mengantarkan mereka yang memang mayoritas di negeri itu ke tampuk kekuasaan.

Dengan data-data seperti itu rasanya sulit kita bisa menerima pernyataan Tony Blair bahwa ISIS terlahir atau terbentuk dari pangkalan di Suriah dan bukan di Irak. Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa ISIS terbentuk dan eksis lantaran keberadaan pasukan AS dan sekutunya, terutama Inggris, di Irak. Keberadaan pasukan asing telah menyebabkan munculnya kelompok-kelompok perlawanan di Irak. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal Alqaidah hingga terbentuk ISIS.

Sementara itu, The Arab Spring alias al Rabi’ al Araby yang berupa aksi-aksi unjuk rasa dan perlawanan rakyat semesta untuk menggulingkan para  penguasa diktator-otoriter Arab mulai terjadi pada awal 2011, atau sesudah munculnya ISIS. Di mulai dari Tunisia, Mesir, Libia, Yaman, hingga Suriah. Di negara-negara yang tersebut tadi hanya di Suriah di mana aksi perlawanan rakyat gagal menggulingkan rezim penguasa. Dalam hal ini rezim Presiden Bashar Assad. Namun, perlawanan rakyat yang berlangsung hingga kini telah menyebabkan goncangan politik dan keamanan yang sangat dahsyat. Kondisi inilah yang kemudian ikut menyurburkan kelompok-kelompok radikal, terutama ISIS, di Suriah.

Pertanyaannya, apakah seandainya Saddam Husein -- dan juga para penguasa diktotor otoriter semacam Qadafi dan lainnya -- masih berkuasa, kondisi Irak dan Timur Tengah pada umumnya lebih stabil seperti dinyatakan Donald Trump?

Pertanyaan ini sulit dijawab karena hal itu memang tidak terjadi. Namun, yang jelas invasi AS dan sekutunya terhadap Irak dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya telah menyuburkan kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah. Dalam kalimat Donald Trump ‘Irak kini telah menjadi Harvardnya terorisme’. Sebagai akibatnya, terorisme kini telah menyebar dan membakar seluruh kawasan Timur Tengah.

Saya menyebutnya, inilah konspirasi Barat untuk mengacak-acak Timur Tengah, terutama negara-negara Arab. Tujuannya untuk membuat ketidakstabilan di kawasan sehingga mereka terus bergantung kepada Barat. Hal ini persis sebagaimana mereka lakukan pada 1940-1950-an ketika ‘menanam’ negara Israel di jantung Dunia Arab, saat mereka mengetahui bahwa negara-negara jajahan di Timur Tengah satu per satu pasti memerdekakan diri dari kaum kolonial Barat.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement