Senin 16 Nov 2015 06:00 WIB

Obama Menyerah kepada Netanyahu

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Masa jabatan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) memang masih sekitar setahun lagi. Namun, Obama dan orang-orang terdekatnya, terutama Menteri Luar Negeri John Kerry, tampaknya sudah tidak berserlera lagi untuk aktif ikut menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Bahkan kepada para pemimpin Arab, dan lebih khusus kepada bangsa Palestina, mereka seolah mengabarkan tidak ada lagi solusi untuk bangsa Palestina, selama sisa pemerintahan presiden pertama berkulit gelap ini. Tidak sebagian, apalagi penyelesaian menyeluruh.

Kepada bangsa Arab, wabil khusus Palestina, diharapkan menunggu pemilihan Presiden AS mendatang. Menunggu terbentuknya pemerintahan baru di Gudung Putih, entah itu dari Partai Demokrat ataupun dari Partai Republik.

Dua partai yang tersebut ini pun sebenarnya sudah jelas sikapnya jika menyangkut Bangsa Palestina dan persoalan Timur Tengah secara umum. Yakni: tidak boleh merugikan kepentingan Zionis Israel. Dan, inilah yang  berlangsung sejak berdirinya Negara Israel pada 1948. Mereka -- baik Demokrat maupun Republik -- seolah berlomba untuk menjamin keamanan Israel dan menganggapnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keamanan Amerika Serikat.

Para pemimpin Amerika Serikat sepertinya tidak pernah bisa lepas dari pengaruh Zionis Israel melalui lobi Yahudi di Washington. Mereka tidak berdaya melawan tekanan apa yang dikenal dengan AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). Yang terakhir ini merupakan koalisi yang terdiri dari berbagai individu dan kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat demi kepentingan Zionisme dan Israel.

Hal inilah yang juga jadi kebijakan Obama selama dua periode menghuni Gedung Putih.  Pada awalnya, seperti presiden-presiden AS sebelumnya, Obama juga mencoba untuk menjadi fasilitator perundingan langsung Israel-Palestina. Namun, dalam proses perundingan yang berlangsung selama setahun itu ternyata tidak ada kemajuan yang berarti.

Penyebabnya, para pemimpin Zionis Israel menolak persyaratan apa pun sebelum dimulainya perundingan.  Di antaranya mereka menolak pembekuan pembangunan pemukiman Yahudi di Tanah Palestina sebelum perundingan dimulai sebagaimana yang menjadi tuntutan pihak Palestina. Akhirnya, proses perundingan yang difasilitasi Menlu AS John Kerry pun berakhir pada 29 April lalutanpa hasil.

Kini, Presiden Obama tampaknya telah menyerah kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Apa pun yang disampaikan Netanyahu seolah menjadi kebenaran. Dalam pertemuan dengan Obama di Gedung Putih pekan lalu, Netanyahu menyampaikan bahwa orang-orang Palestinlah yang selama ini menjadi penyebab munculnya berbagai kekerasan di Tepi Barat (Palestina), karena itu mereka yang harus bertanggung-jawab. Namun, seperti diberitakan media al Sharq al Awsat yang meliput langsung pertemuan itu, Obama hanya diam saja.

Sebagai bentuk tanggung-jawab itu, Netanyahu kemudian melanjutkan, warga Palestina harus dilucuti dari segala bentuk persenjataan. Mereka, bangsa Palestina, kata Netanyahu lagi, harus mengakui bahwa Israel adalah negara Yahudi yang harus dijamin keamanannya. Termasuk jaminan keamanan di sini adalah hak Israel untuk menduduki wilayah-wilayah di sekitar negara Israel, terutama Palestina.

Sikap diam Obama itu, menurut pengamat Timur Tengah Soleh al Qilab, yang kemudian dimaknai Netanyahu sebagai setuju dengan apa pun yang telah, sedang, dan akan dilakukan Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Karena itu, tak mengherankan bila Netanyahu berani jumawa dengan mengatakan tidak akan ada perdamaian dengan Palestina dan tidak akan ada pula penarikan pasukan Israel dari wilayah jajahan minimal dalam 20 tahun ke depan.

Hal itu ia sampaikan kepada wartawan di hari terakhir lawatannya di Washington pada Kamis pekan lalu. Menurutnya, yang terjadi di Timur Tengah selama 20 tahun ke depanjusteru konflik berkepanjangan di antara berbagai kelompok yang mengusung ideologi yang berbeda-beda.

Meskipun Netanyahu tidak menunjuk contoh ideologi yang berbeda-beda itu, namun yang dimaksud PM Israel tentu berbagai ideologi kelompok-kelompok yang kini berkonflik  di Timur Tengah. Ada Sunni, Syiah, Kurdi, ISIS, Alqaida berikut turunannya, serta kelompok-kelompok lain yang menuntut demokratisasi, dan seterusnya. Konflik-konflikini tentu saja menguntungkan Zionis Israel, karena telah menyedot energi negara-negara Arab dan melupakan musuh yang sebenarnya, yaitu kolonialis Israel.

Sepertinya berbagai konflik di kawasan ini sudah menjadi bagian dari strategi keamanan Israel. Meskipun selama ini tidak ada pernyataan resmi, bisa dipastikan berbagai konflik di Timur Tengah ini merupakan bagian dari konspirasi global Zionis Israel. Tujuannya, untuk memperlemah sikap perlawanan bangsa-bangsa Arab dan Islam terhadap eksistensi Zionis Israel.

Kondisi ini – restu dari Gedung Putih --  yang kemudian dimanfaatkan Zionis Israel, minimal hingga terpilih Presiden AS yang baru, untuk menyerang warga Palestina dengan berbagai bentuk kekejaman dan kekerasan yang sering kali di luar batas kemanusiaan. Anehnya, seperti dikatakan Netanyahu dan diamini oleh Obama, pihak Palestinlah yang dianggap paling bertanggung-jawab terhadap kekerasan yang terjadi di Tepi Barat dan Gaza. Untuk memberi kesan bahwa Israel dalam keadaan bahaya, PM Netanyahu pun pada Jumat pekan lalu memerintahkan menteri-menterinya untuk mempersiapkan pasukan cadangan.

Pemanggilan pasukan cadagan ini tidak lain dan tidak bukan sebenarnya merupakan persiapan mereka untuk menyerang secara besar-besaran ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. Karena itulah tidak ada lain bagi para pemimpin Palestina kecuali mempersiapkan diri menghadapi kekerasan yang lebih dahsyat dari pihak Israel, minimal hingga terpilih Presiden Amerika Serikat yang baru.

Bagi Obama, masa setahun sisa pemerintahannya sebenarnya bukanlah waktu yang pendek. Ia bisa saja bersikap tegas kepada PM Benjamin Netanyahu. Cukup waktu baginya untuk mengatakan bahwa solusi satu-satunya konflik Israel-Arab adalah terbentuknya Negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan batas-batas sebelum 1967 dengan ibukota Jerusalem Timur.

Itulah solusi yang paling adil. Solusi yang semustinya dijadikan strategi Amerika Serikat di Timur Tengah. Kecuali, bila Obama memang menginginkan kawasan ini terus bergejolak dengan perang dan konflik yang tiada henti. Kecuali, jika dukungan kepada negara kecil Israel – hanya berpenduduk sekitar enam juta jiwa --  ini memang menjadi bagian dari strategi Gedung Putih untuk untuk menjaga keseimbangan di kawasan Timur Tengah. Tujuannya, untuk menjadikan negara-negara Arab terus bergantung kepada Amerika Serikat. Alias menjadikan negara-negara di kawasan Timur Tengah sebagai wilayah jajahan dalam bentuk modern.

Obama yang setahun lagi hanya akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu Amerika Serikat tampaknya memang ingin dikenang sebagai pahlawan Israel, meskipun di darahnya tidak mengalir gen Yahudi. Karena itu wahai bangsa Arab, jangan pernah mengandalkan para pemimpin di Gedung Putih. Tidak dari Demokrat dan tidak dari Republik. Semua pemimpin Amerika Serikat sama saja jika menyangkut kebijakan di Timur Tengah. Yaitu: jangan pernah merugikan kepentingan Zionis Israel!

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement