Selasa 05 Jan 2016 06:00 WIB

2016, Apakah Kabinet Bisa Kompak?

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Gonjang-ganjing Kabinet Jkw-JK selama tahun 2015, mohon tidak  diteruskan lagi pada tahun 2016 ini. Pemerintah harus mendapat kepercayaan penuh dari publik, sebab tanpa itu, semua program kabinet betapa pun hebatnya tidak akan mencapai sasaran. Sinisme akan tetap saja terdengar di mana-mana: ini kabinet gaduh!

Sejak dilantik 0ktober 2014, apa yang sering disebut hak prerogatif presiden sesuai dengan konstitusi, dalam realitas politik Indonesia sekarang tidak jalan. Nafsu partai untuk menempatkan orangnya dalam kabinet demikian tinggi, sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja. Tetapi peta kabinet akan menjadi rusak dan runyam, jika kompetensi mereka yang 

duduk di kabinet itu berada di bawah standar sebagai seorang menteri.  Untuk menilai itu, publik sekarang tidak bodoh lagi, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menggerutu. Radius gerutuan ini akan menjadi meluas saat kinerja pemerintah tidak meyakinkan.

Filosofi yang mendasariprogram yang telah dirancang dalam bentuk Nawacita pada ujungnya akan sia-sia belaka, jika pemerintah tidak konsisten dengan apa yang telah dikatakan. Gelombang neo-liberalisme yang sudah berjalan puluhan tahun di negeri ini bahkan akan semakin ganas untuk semakin melumpuhkan Pasal 33 UUD 1945. Langkah Kabinet Jkw-JK sebegitu jauh belum menampakkan sinyal-sinyal positif bahwa pasal 33 itu benar-benar dijadikan pedoman dalam pembelaan terhadap rakyat. Memang sudah mulai dilaksanakan program BPJS, tetapi sama sekali belum cukup, selama pihak asing atau agen-agennya masih saja menguasai kekayaan bangsa dan negara ini.

Kritik terhadap kecenderungan neo-liberalisme ini sudah banyak disuarakan oleh para ahli, tetapi seperti dianggap angin lalu saja. Akhirnya, semua kritik itu meredup begitu saja, tidak berdaya. Saya tidak tahu apakah memang arah pembangunan nasional kita tidak perlu lagi mengacu kepada fasal 33 itu, karena dinilai terlalu patriotik dan nasionalistik. Tetapi bagi saya, justru fasal itulah sesungguhnya yang dengan gamblang merumuskan tujuan kemerdekaan kita untuk kepentingan 

rakyat secara keseluruhan, bukan untuk sekelompok kecil anak bangsa.  Pada periode yang lalu, kita disodorkan konsep trickle down effect dalam cara pembagian kue nasional. Dalam realitas, yang berlaku adalah: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terjepit. Prinsip keadilan sosial-ekonomi malah semakin menjauh.

Di ujung periode yang lalu itu, muncul skandal BLBI yang sampai hari ini leher negara masih saja digoroknya, padahal bank-bank yang dibantu itu telah berkibar kembali. Sebagai seorang yang bukan ekonom, saya tidak faham logika yang berada di belakangnya. Apakah memang bangsa dan negara ini sampai hari kiamat akan selalu saja dijerat utang yang tidak kunjung usai?

Di era berikutnya, kita ribut pula dengan skandal Bank Century yang belum juga jelas di mana muaranya. Semua skandal di atas pasti melibatkan lembaga negara dan pengusaha. Kongkalingkong antata dua kekuatan inilah yang telah mendera bangsa dan negara ini dalam berbagai periode. Kita semua sadar bahwa semuanya itu adalah kelakuan busuk, tetapi diulang dan diulang lagi. Bahwa semuanya ini adalah kebiadaban politik yang menyengsarakan rakyat banyak, kita pun faham. Kapan politik kita menjadi beradab?

Jika dikaitkan dengan Kabinet Jkw-JK, langkah pertama yang harus ditunjukkan segera adalah agar presiden punya wibawa yang tak terbantahkan dalam mengurus masalah negara. Syarat untuk itu agar presiden punya tekad dan nyali yang luar biasa sebagai petarung sejati. Percayalah, jika tekad dan nyali benar-benar ditunjukkan, rakyat pasti akan membela kepala negaranya berhadapan dengan DPR yang sering genit itu.

 Langkah kedua, buktikan komitmen nyata kepada prinsip nawacita tanpa keraguan sedikit pun. PDIP terutama, jangan lagi bermuka dua berhadapan dengan presiden. Ungkapan sebagai petugas partai harus dibenamkan ke dalam museum sejarah. Sekali seorang dipilih sebagai presiden, dia sudah menjadi milik bangsa dan negara. Jangan lagi dikerangkeng dalam "penjara" partai.  

Akhirnya, mulai awal tahun 2016 ini, presiden harus menjadi komandan tertinggi kabinet, dalam teori dan realitas. Kabinet tidak boleh gaduh lagi. Ayo presiden, wariskan langkah besar untuk generasi berikutnya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement