REPUBLIKA.CO.ID, Di Negeri Setengah Fantasi, rakyat yang bingung dengan konsep hukum yang diterapkan memutuskan mengadakan urun rembuk tentang teori hukum dan penerapannya. Seluruh elemen masyarakat--dari anak-anak sampai orang tua, dari yang berpendidikan biasa sampai yang ahli--hadir dalam forum diskusi. Semua dipersilakan menyampaikan pendapat,, termasuk ketidakmengertian selama ini.
Anak-anak sekolah sebagai kelompok masyarakat yang kritis, berani, dan punya rasa ingin tahu yang besar, tapi jarang diperhitungkan, mulai mengutarakan pikiran mereka. Seorang siswa sekolah dasar mengawali dengan pertanyaan sederhana.
"Apakah pembakaran hutan itu merusak lingkungan?" Pakar lingkungan yang hadir spontan menjawab tegas, "Tentu saja. Ribuan pohon hancur. Asap pembakaran jelas sangat mengganggu masyarakat sekitar, sementara organisme lain mati. Butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk mengembalikan hutan ke kondisi semula."
Tidak puas, sang anak bertanya lagi, "Tapi, bagaimana jika ada hakim dalam keputusannya menyebutkan kebakaran hutan tidak menyebabkan kerugian ekologi atau kerusakan lingkungan?" Kali ini, pakar hukum yang menanggapi. "Kalau hakim sampai mengatakan atau memutuskan pembakaran hutan tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, berarti secara hukum itu tidak merusak lingkungan."
Masyarakat yang hadir berpandangan, termasuk siswa yang bertanya. Namun, tatapan ketidakmengertian mereka hanya disambut penjelasan singkat sang pakar hukum. "Ya, begitulah negara hukum. Putusan hakim menjadi satu-satunya pendapat yang diperhitungkan," jawabnya singkat.
Berikutnya, seorang pelajar SMP mengacungkan tangan. "Saya pernah mendengar ada tokoh yang dihukum 17 tahun atas tuduhan korupsi, padahal belum melakukan korupsi dan tidak ada kerugian yang diderita negara. Namun, mengapa pejabat lain yang sudah terbukti korupsi, bahkan dalam jumlah besar, malah mendapat hukuman jauh lebih ringan? Apakah seperti ini hukum yang berlaku di negeri kita?"
Sekalipun berkaitan isu korupsi, aktivis antikorupsi kompak memutuskan tidak angkat bicara dan menyerahkan jawaban sekali lagi kepada pakar hukum negeri mereka. "Setiap hakim bebas menerjemahkan hukum menurut pendapat mereka. Itu adalah kebebasan hakim. Satu hakim dapat memutuskan hukuman ringan pada pelanggaran berat atau sebaliknya, hakim lain memutuskan hukuman berat terhadap pelanggaran ringan dengan berbagai pertimbangan mereka."
"Tapi ...." Forum diskusi menghangat meski masih dipenuhi tatapan bingung rakyat.
Pertanyaan lebih kritis kemudian digulirkan seorang remaja berseragam SMA. "Dulu, ada kasus semut lawan gajah. Semut kalah sekalipun didukung jutaan penduduk negeri. Ada juga kasus pasien ditahan, padahal ia korban kelalaian rumah sakit. Jutaan orang di negeri mengumpulkan koin untuk sang pasien. Apakah berarti jutaan orang tersebut salah?"
Kali ini, aktivis HAM angkat bicara. "Memang memprihatinkan sekalipun jutaan orang mengatakan si pasien tidak bersalah, kalau hakim bilang bersalah, ya opini hakim yang benar secara hukum, jutaan pendapat lain hanya angin lalu."
Sang siswa tampak tidak sepakat, "Wah, hebat sekali hakimnya. Berarti dia orang pilihan luar biasa. Sampai pendapatnya selalu benar, bahkan mengalahkan jutaan orang. Apakah hakim diseleksi dari orang paling bijak seantero negeri?"
Aktivis HAM tercenung, lalu menggeleng. "Sebenarnya, tidak perlu jadi orang paling bijak untuk menjadi hakim. Cukup mendaftar dan lulus pendidikan hakim. Aturannya malah unik. Untuk jadi hakim, salah satu syaratnya tinggi badan laki-laki minimal 160 cm dan perempuan minimal 152 cm."
"Apa hubungannya tinggi badan dengan keadilan?" Celetukan yang didukung semua mata yang hadir.
"Saya juga tidak tahu. Kabarnya, sih, persyaratan itu sudah ditiadakan, tapi entah mengapa sempat keluar juga jadi pertanyaan." Aktivis HAM menjawab kecut. Forum yang diadakan ternyata tidak menjawab begitu banyak keheranan yang hadir. Sebaliknya, pertanyaan yang diajukan nyaris selalu dijawab dengan pernyataan-pernyataan yang tidak memuaskan.
Hukum dan keadilan seharusnya seiring. Hanya, sayangnya, bukan itu yang terjadi. Ya, forum tukar pikiran yang diadakan justru membuka mata yang hadir dan membangkitkan kesadaran akan kenyataaan pahit yang terjadi. Hukum yang seharusnya menjadi panglima tertinggi belum mampu menjaga rasa keadilan rakyat di negeri tercinta.
Diskusi berlanjut. Semua unsur penduduk sepakat harus ada sistem baru--mengganti sistem peradilan yang selama ini terlalu bergantung pada subjektivitas hakim. Hasil diskusi pun diproses. Rakyat menuntut hakim dipilih rakyat seperti pemilu. Jadi, kalau hakim bertindak 'kacau', yang salah adalah yang memilih.
Hakim karier hanya bertugas menjadi pendamping dan hakim pilihan rakyat yang menjadi pengambil keputusan. Selain itu, diputuskan ada mekanisme pertanggungjawaban hukum buat hakim yang memberi putusan dengan mengabaikan hukum yang ada.
Syukurlah, pemerintah tanggap terhadap keinginan rakyat hingga perubahan pun terjadi. Sejak saat itu, tidak banyak muncul keputusan blunder. Setiap hakim menjadi sangat berhati-hati memberi keputusan. Mereka yang lalai selamanya tidak akan terpilih lagi menjadi hakim.
Rakyat bahagia, terlepas dari kebingungan selama ini. Impian agar hukum dan keadilan bisa bersanding akhirnya menjadi kenyataan. Kenyataan di Negeri Setengah Fantasi.