REPUBLIKA.CO.ID, Abou El Fadl amat berang dengan kekuasan militer yang telah menghancurkan lembaga-lembaga demokrasi yang baru saja bersemi di Mesir berkat Musim Semi Arab, tetapi abortif itu. Bagaimana siasat penguasa dalam menggunakan lembaga pendidikan untuk tujuan politik ditunjukkan oleh fakta berikut ini.
Pada Juli 2014, Rektor Universitas al-Azhar menganugerahkan gelar doktor HC kepada almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz dari Arab Saudi dalam teologi dan hukum, seakan-akan raja ini punya pengetahuan dan jasa di bidang itu. Yang lebih aneh lagi, Universitas Madinah memberikan gelar serupa kepada sang raja dalam ilmu politik, sedangkan di universitas ini tidak ada departemen ilmu politik itu.
Lalu, Abou El Fadl bertanya, “Apakah pemberian gelar doktor HC kepada almarhum raja ini karena pengetahuannya yang luas dalam hukum Islam dan teologi atau mungkin karena etika kasih sayangnya yang tanpa cacat, perasaan belas kasih, dan keadilan?”
Abou El Fadl menjawab, “Bukan, ini adalah wujud lain tentang bagaimana agama, simbol-simbol, dan kekuatan moralnya diletakkan dalam keranjang negara. Keputusan memberikan penghargaan doktor HC kepada almarhum raja sepenuhnya merupakan tindakan politik, di dalamnya negara menggunakan Islam untuk melayani kepentingan politik.”
El Sisi juga telah meminta para ulama untuk menegaskan bahwa penggulingan sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis sesuai dengan ajaran Islam. Dalam proses penggulingan ini, jika berlaku pembunuhan atau dibunuh, semuanya terhormat dan dikasihi di mata Tuhan.
Kepada ulama al-Azhar, El Sisi juga memerintahkan untuk merumuskan “Islam moderat” itu. Abou El Fadl bertanya, “Bagaimana pula kelihatannya Islam moderat itu? Apa yang akan dijadikan dasar epistemologis dan kebenaran filosofisnya?” Catatan saya, sebenarnya Abou El Fadl tidak perlu mengajak El Sisi berpikir sejauh itu.
Sebab, yang perlu bagi jenderal ini adalah bahwa agama dipakai sebagai alat untuk melanggengkan politik kekuasaan. Titik! Adapun ulama yang diminta memberi fatwa sesuai dengan kemauan penguasa, bukan hal baru dalam perjalanan sejarah umat Islam.
Maka, Islam moderat ala Saudi, kata Abou El Fadl, tentulah sebuah Islam yang dikendalikan negara, bercorak teokratis dalam prototipe Wahabi. Di dalamnya, pasti ditemukan despotisme, patriarkalisme, autoritarianisme, pemerasan, penindasan, puritanisme, tunatoleransi, dan bentuk-bentuk lain yang sejenis itu.
Pokoknya, bagi pemikir berani kelahiran Kuwait ini, Islam di bawah kendali penguasa bukanlah Islam yang diajarkan Alquran dan Nabi yang menempatkan prinsip keadilan dan ajaran persamaan sejati sebagai perwujudan tauhid di muka bumi.
Dilanjutkan Abou El Fadl mengenai apa itu Islam politik. “Barangkali Islam politik itu haruslah didefinisikan sebagai suatu bentuk pernyataan Islamisitas bagi tujuan yang tidak sejalan dengan rezim-rezim militer pro-Barat dan rezim-rezim syekh minyak di kawasan itu.”
Di mata Abou El Fadl, kekuasaan militer dan rezim syekh kaya minyak yang pro-Barat tidak lain dari perpanjangan tangan kolonialisme, tetapi diberi jubah agama. Inilah sebuah tragedi peradaban Arab Muslim pada abad ke-21.
Dapatlah dibayangkan betapa dalamnya kegelisahan batin seorang Abou El Fadl menyaksikan panorama kumuh, tetapi secara lahiriah mewah di beberapa negara Arab modern. Tengoklah Dubai yang kosmopolitan, tempat bermain kumuh dunia dan pusat lalu lintas manusia; lihat pula Makkah yang kosmopolitan dengan pertunjukan karut dari konsumerisme McWorld dan kapitalisme Uncle Sam. Dan, juga Riyadh dan Kairo yang telah menjadi prototipe terburuk dari negara-polisi modern.
Di samping semua kemewahan yang serbaapak ini, tengok pulalah nasib rakyat Palestina yang sudah puluhan tahun merintih di bawah kekejaman zionisme. Siapa yang masih peduli?