REPUBLIKA.CO.ID, Asia Pasifik lebih dari bagian dunia lain menjadi lokus agama-agama yang sangat beragam sejak masa sangat lama sampai sekarang. Berbagai agama, sekte, denominasi, aliran pemahaman, dan kelompok spiritualitas terus berkecambah, sehingga memunculkan sejumlah masalah dan tantangan terhadap komunitas beragama, lingkungan masyarakat lebih luas, negara, dan dunia internasional.
Kawasan ini melahirkan dan mengandung agama-agama besar dunia yang terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok agama yang dalam sosiologi agama disebut sebagai nonrevealed religions, seperti Hindu, Buddha, Tao, Shinto, Konghucu, atau Zoroaster.
Kawasan Asia--tegasnya Asia Barat--juga merupakan tempat kelahiran dan perkembangan awal revealed religions, agama-agama wahyu: agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam. Ketiga agama ini dari tempat turunnya wahyu di wilayah yang kini disebut 'Timur Tengah' kemudian menyebar ke wilayah Asia-Pasifik lain dan juga Eropa dan Amerika.
Dalam masa panjang, beragam komunitas agama yang berbeda umumnya hidup rukun dan damai di berbagai wilayah Asia-Pasifik. Memang ada episode-episode tertentu di mana terjadi kontestasi, konflik, dan kekerasan di antara aliran-aliran berbeda dalam satu agama tertentu atau antarumat beragama berbeda.
Namun, biasanya peristiwa yang mengorbankan nyawa dan harta benda karena pertikaian agama tidak berlangsung dalam waktu lama di kawasan Asia Pasifik. Lazimnya berlangsung singkat dan sporadis--tidak seperti terjadi di Eropa yang diwarnai banyak episode perang agama yang berlangsung lama dan luas.
Kenyataan ini menunjukkan Asia Pasifik sebagai kawasan di mana kebebasan beragama telah menjadi fenomena historis-sosiologis. Tetapi, dalam masa modern hingga sekarang, kebebasan beragama bukan tidak jarang justru menjadi berkurang atau menghilang karena politik dan kebijakan negara, seperti ideologi komunisme dan Marxisme di Uni Soviet dan Cina yang mengharamkan agama. Di sini, state actors menjadi pelaku pelenyapan kebebasan beragama.
Namun, agama tidak bisa mati menghadapi supresi negara dan kekuasaan. Agama dan spiritualitas terbukti tidak hanya mampu bertahan, tetapi malah mengalami kebangkitan kembali. Gejala ini benar bukan hanya di Asia Pasifik, melainkan juga di banyak bagian lain dunia.
Di tengah kebangkitan agama, globalisasi dan liberalisasi berbagai lapangan kehidupan dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi kecenderungan peningkatan intoleransi yang memunculkan konflik, ketegangan, dan perang yang melibatkan para penganut antaraliran; para pelakunya dapat disebut sebagai nonstate actors dalam satu agama dan antarpemeluk agama berbeda.
Pada saat yang sama juga masih terjadi atau ada kecenderungan peningkatan persekusi negara terhadap warganya yang menganut agama atau aliran spiritualitas tertentu. Di Cina, misalnya, negara melalui berbagai aktor negara kini masih melakukan persekusi terhadap pengikut Falun Gong dan juga kaum Muslim di Xinjiang dan denominasi Kristianitas tertentu; di Myanmar negara juga mempersekusi kaum Muslim Rohingya dan juga umat Nasrani.
Karenanya, kebebasan beragama dan perlindungan komunitas agama dari penindasan dan persekusi tetap harus diperjuangkan. Perjuangan itu semestinya melibatkan tidak hanya umat beragama, tetapi juga masyarakat madani (civil society), LSM, pengusaha, parlementarian, dan pemerintah.
Dalam konteks itulah terlihat relevansi penyelenggaraan Asia Pacific Religious Freedom Forum (APRFF) pertama yang diselenggarakan di Taoyuan, Taiwan, pada 18-21 Februari 2016. Forum yang merupakan pertemuan figur-fugur undangan saja yang dikenal sebagai penganjur dan pejuang kebebasan beragama yang mencakup pemimpin agama, akademisi, tokoh LSM, pejabat pemerintah, anggota parlemen.
Penulis “Resonansi” ini merasa beruntung dapat turut berbicara dalam forum ini bersama pembicara lain dari Indonesia: Eva Sundari, anggota DPR; M Imdadun Rahmat, wakil ketua Komnas HAM; dan Abdul Mu'ti, sekjen PP Muhammadiyah. Pembicara lain mencakup figur terkemuka, semacam Lu Annette Hsiu-Lien, wakil presiden Taiwan (2000-2008); Mark P Lagon, presiden Freedom House; Katrina Lantos Swett, komisioner Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional; dan Uskup Efraim Tendero, sekjen Aliansi Evangelis Dunia.
APRFF bertujuan memberi kesempatan berkolaborasi guna mempromosikan kebebasan beragama; memperkuat jaringan figur, pejuang, dan lembaga kebebasan beragama; dan membicarakan berbagai tema terkait peningkatan kebebasan beragama. Dengan tujuan seperti itu, APRFF dan lembaga semacamnya dapat lebih meningkatkan upaya penguatan kebebasan beragama baik pada tingkat internasional maupun negara.