REPUBLIKA.CO.ID, Dulu namanya Organization of Islamic Conference atau Organisasi Konferensi Islam. Sekarang diubah menjadi Organization of the Islamic Cooperation alias Organisasi Kerja Sama Islam. Baik yang dulu maupun sekarang kependekannya tetap sama, OIC, atau OKI dalam bahasa Indonesia. Orang sering mempelesetkan singkatan OIC sebagai 'Oh, I See'. Pelesetan ini tentu saja sebagai kritik terhadap ketidakberdayaan lembaga yang telah lahir sejak 1969 itu.
Saat itu, sebuah kebakaran besar menimpa Masjid al-Aqsa. Pelakunya seorang Yahudi radikal. Umat Islam marah besar. Apalagi, suasana mereka waktu itu sedang berkabung. Para pejuang Arab-tentara Mesir, Suriah, Yordania-baru saja kalah dalam Perang Enam Hari (1967) melawan pasukan penjajah Zionis Israel. Akibatnya, beberapa wilayah Arab pun dicaplok Israel: Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Tepi Barat, Semenanjung Sinai (Mesir), dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Para pemimpin negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim), termasuk Indonesia, pun berkumpul di Rabat, Maroko. Mereka mengutuk kebiadaban si Yahudi. ''Merusak al-Aqsa adalah perbuatan yang tak bisa ditoleransi.''
Mereka layak murka. Bagi umat Islam, al-Aqsa merupakan tempat suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Al-Aqsa merupakan kiblat pertama. Dari al-Aqsa pula Nabi Muhammad SAW dinaikkan (mikraj) oleh Allah SWT ke langit hingga sidratul muntaha. Di sana beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu yang kemudian juga diwajibkan kepada seluruh umat Islam.
Dalam pertemuan di Rabat itu, para pemimpin Islam lalu bersepakat membentuk OKI. Tertanggal 25 September 1969. Tujuan mulia pun dicanangkan. Antara lain: melindungi tempat-tempat suci Islam, memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina, dan mengusir penjajah Israel dari tanah Arab. Berikutnya, meningkatkan solidaritas di antara negara-negara Islam.
Pendek kata, pembentukan OKI dimaksudkan sebagai “suara dunia Islam dalam menjaga dan melindungi kepentingan umat”. Juga untuk “menciptakan perdamaian dan harmoni masyarakat internasional, utamanya di negara-negara Islam sendiri”.
Namun, apa yang kemudian terjadi? Dari tahun ke tahun dan dari konferensi ke konferensi hasilnya sami mawon. OKI sepertinya hanya “oh, I see”, alias sebagai penonton atas apa yang menimpa negara-negara Islam. Paling banter KTT hanya menelorkan deklarasi dan deklarasi, kecaman dan kecaman, juga perang penyataan.
Lihatlah, Zionis Israel semakin leluasa berbuat apa saja terhadap al-Aqsa. Dari melarang umat Islam shalat di dalamnya, merusak bagian-bagian masjid, bikin konser musik tepat ketika waktu shalat, hingga memberi kebebasan kepada umat Yahudi untuk memasuki masjid yang menjadi kiblat pertama umat Islam tersebut. Juga mengubah ciri keislaman dan kearaban wilayah Yerusalem dengan dengan identitas Yahudi.
Sementara itu, kondisi bangsa Palestina juga setali tiga uang. Kemerdekaan semakin jauh panggang dari api. Dunia internasioanal pun seolah cuek dengan nasib bangsa Palestina. Bahkan, para pemimpin Arab dan Islam sendiri sepertinya juga sudah tak peduli. Kini, selama dua hari sejak kemarin, OKI menyelenggarakan KTT di Jakarta. Jauh hari Indonesia telah mempersiapkan diri sebagai tuan rumah yang baik buat pertemuan para pemimpin negara-negara Islam, yang disebut sebagai “luar biasa” ini. Artinya, KTT OKI kali ini sangat sangat penting!
Agenda utamanya memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina sesegera mungkin. Wilayahnya, batas-batas negara sebelum Perang Enam Hari (1967). Solusinya, dua negara hidup berdampingan: Palestina dan Israel. Agenda lainnya, melindungi al-Aqsa dari perbuatan biadab Zionis Israel. Yang sering dilupakan, perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina tidak bisa berdiri sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh kondisi di Timur Tengah. Sementara, negara-negara di Timteng kini tengah dicabik-cabik oleh perpecahan, konflik, rebutan pengaruh, kubu-kubuan, dan hubungan buruk antarnegara. Pun munculnya kelompok-kelompok radikal dan teroris. Bahkan dunia Islam kini sedang dipusingkan dengan kelompok teroris yang telah berhasil membentuk negara di Irak dan Suriah. Islamic State of Iraq and Syria namanya, ISIS singkatannya.
Gegeran di kawasan Timteng itu tampak jelas ketika mereka tidak satu kata dalam menumpas gerakan kelompok-kelompok teroris. Lihatlah, prakarsa Arab Saudi yang ingin membentuk koalisi militer negara-negara Islam untuk menumpas ISIS pun kurang mendapat sambutan gegap gempita. Juga dalam membantu perjuangan bangsa Palestina. Konflik, perebutan pengaruh, dan perpecahan dalam kubu-kubu, telah menyeret Palestina dalam perpecahan internal. Ada Faksi Fattah, Faksi Hamas, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Masing-masing kelompok pun “bertuan” pada negara atau kubu negara tertentu.
Di tengah gonjang-ganjing Timur Tengah seperti itu, pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah KTT OKI tentu sangat tepat. Indonesia adalah negara netral yang mempunyai hubungan baik dengan semua negara di kawasan Timur Tengah. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di jagat ini. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan, karena itu, layak menjadi contoh demokrasi bagi negara-negara Islam.
Indonesia adalah penggagas Konferensi Asia Afrika di Bandung. Konferensi yang kemudian menginspirasi negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk memerdekakan diri dari kaum penjajah. Indonesia merupakan pendiri Gerakan Non-Blok,untuk mengimbangi Blok Barat dengan Blok Timur yang telah memecah belah negara-negara di dunia selama Perang Dingin.
Indonesia adalah contoh yang baik dalam hal alih generasi. Tengoklah, ketika rakyat Indonesia menolak kepemimpinan Presiden Soeharto, ia pun rela mengundurkan diri. Ia kemudian menyerahkan tongkat kekuasaan dalam transisi yang damai. Bandingkan dengan rezim Presiden Bashar Assad yang keukeuh mempertahankan kekuasaannya meskipun telah mengakibatkan konflik berdarah-darah di antara rakyatnya sendiri.
Indonesia merupakan kampiun perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Berkat prakarsa dan pengaruh Indonesia, terbentuklah apa yang dinamakan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN). Dulu anggotanya hanya lima, sekarang telah berkembang menjadi 10 negara. Atas peran besar Indonesia ini, tidak mengherankan bila kemudian negeri ini mendapat julukan sebagai “saudara tua” di lingkungan negara-negara ASEAN.
Kini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan paling damai di dunia. Geliat ekonominya pun paling tumbuh di antara negara-negara di kawasan lain. Padahal, agama, suku, dan etnik mayoritas penduduk di masing-masing 10 negara ini berbeda-beda. Dari yang mayoritas Muslim, Kristen, hingga Buddha dan lainnya. Bandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah yang mayoritas penduduknya hanya Muslim tetapi berkelahi melulu. Dengan modal besar seperti itu, Indonesia yang politik luar negerinya menganut prinsip bebas aktif mestinya bisa memainkan peran yang besar dalam memecahkan berbagai masalah di lingkungan OKI, terutama memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina dan melindungi al-Aqsa dari kebiadaban Zionis Israel.
Sudah waktunya para pemimpin Indonesia-Presiden dan jajarannya-unjuk kemampuan diplomasi dan kewibawaan negeri ini. Tunjukkan bahwa kepemimpinan Anda tidak kalah berkualitasnya dibandingkan para pemimpin terdahulu kita.