Senin 14 Mar 2016 06:00 WIB

Tragedi Suriah: Separuh Penduduk Tinggalkan Rumah!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah tragedi kemanusiaan paling mengerikan pada abad ini. Tragedi kemanusiaan yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terbesar sejak Perang Dunia II (1939-1945). Tragedi itu terjadi di Suriah.

Sudah lebih dari separuh penduduknya meninggalkan rumah, baik lantaran ketakutan maupun karena rumah mereka sudah hancur rata dengan tanah. Lebih dari 270 ribu warga telah tewas--terbunuh atau dibunuh.

Peristiwa mengenaskan ini telah berlangsung sejak lima tahun lalu ketika muncul konflik di negara bekas ibu kota Kekhalifahan Umayyah ini. Menurut lembaga hak asasi manusia di Suriah, sebagian besar mereka yang tewas adalah dari kelompok oposisi. Sekitar 80 ribu dari masyarakat sipil, 13 ribu di antaranya adalah anak-anak.

Angka-angka ini belum termasuk mereka yang dinyatakan hilang. Atau, mereka yang berada di penjara-penjara pemerintah. Atau ribuan personel tentara pemerintah yang ditangkap kaum oposisi dan kelompok-kelompok radikal serta teroris. Data HAM di Suriah menyebutkan, lebih dari 200 ribu warga, kebanyakan dari kelompok oposisi, kini berada di penjara pemerintah.

Masih dari sumber yang sama, seperti dikutip media al-Sharq al-Awsat, konflik di Suriah telah menghancurkan 177 rumah sakit dan menewaskan sekitar 700 pekerja dalam bidang kesehatan. Handicap International yang berkantor pusat di Paris melaporkan, sekitar satu juta warga Suriah kini mengalami berbagai cacat fisik selama lima tahun konflik.

Handicap International adalah organisasi nonpemerintah yang didirikan pada 1982 dan bermarkas di Prancis dan Belgia. Organisasi ini mengkhususkan diri untuk memberi bantuan kepada para pengungsi.

Sebelum konflik lima tahun lalu, Suriah berpenduduk sekitar 23 juta jiwa. Perang selama lima tahun ini, menurut data PBB yang dirilis pada Januari lalu, telah menyebabkan 5,13 juta jiwa menjadi imigran. Sebanyak 486.700 jiwa terpaksa hidup di wilayah yang dikepung pasukan pemerintah, kelompok radikal, dan kelompok-kelompok oposisi. Banyak di antara mereka yang kemudian tewas akibat kurang makan dan tiadanya fasilitas kesehatan.

Kini, terdapat sekitar 6,4 juta jiwa yang hidup di wilayah-wilayah yang susah dijangkau oleh bantuan makanan. Sekitar seperempat juta anak hidup di red area yang sudah seperti penjara terbuka itu lantaran dikepung oleh berbagai kelompok yang berkonflik.

Perang juga telah menyebabkan 7,4 juta jiwa melarikan diri ke luar negeri. Menurut Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR), gelombang pengungsian warga Suriah yang diakibatkan oleh konflik ini merupakan yang terbesar dalam sejarah modern.

Dalam hal pengungsi ini, Turki merupakan negara tujuan utama warga Suriah. Di negeri Presiden Recep Tayyip Erdogan ini, kini terdapat sekitar 5,2 juta pengungsi. Sejumlah 250 ribu di antara mereka tinggal di tenda-tenda pengungsian. Selebihnya, berbaur dengan penduduk setempat di sejumlah kota di Turki.

Berikutnya adalah Lebanon, menampung sekitar 2,1 juta jiwa. Di sini dua pertiga pengungsi dilaporkan hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama karena kekurangan bahan makanan.

Di Yordania--sesuai catatan UNHCR--terdapat 630 ribu pengungsi. Namun, versi Pemerintah Yordania menyebutkan, mereka menampung lebih dari satu juta pengungsi Suriah. Sedangkan, Irak menampung sekitar 225 ribu pengungsi dan Mesir 137 ribu pengungsi.

Pada umumnya, para pengungsi mengeluhkan kekurangan makanan dan pelayanan kesehatan yang buruk. Mereka juga harus menghadapi perlakuan kurang bersahabat dari penduduk setempat. Kondisi yang buruk ini juga dialami para pengungsi yang berimigrasi ke daratan Eropa. Baik ketika menyeberangi laut--yang terpaksa menggunakan kapal seadanya--maupun saat sudah berada di daratan Eropa.

Selain masalah pengungsi, perang juga telah menyebabkan perekonomian Suriah ambruk. Pabrik-pabrik tidak berfungsi. Sebagian hancur terkena bom atau sengaja ditinggalkan sang empunya.

Begitu pula dengan pertanian dan perkebunan. Sebelum perang, tanah-tanah Suriah dikenal sangat subur. Bahkan, mereka mampu memasok berbagai hasil pertanian ke sejumlah negara Arab. Namun, sejak perang berkecamuk, pertanian dan perkebunan mereka sudah seperti tanah tidak bertuan.

Sebanyak 90 persen ekspor-impor barang kebutuhan sehari-hari mandek. Apalagi, PBB juga telah menjatuhkan sanksi berupa embargo kepada Suriah. Dalam laporan PBB tahun lalu disebutkan, Suriah hidup nyaris tanpa aliran listrik. Sebanyak 83 persen pembangkit tenaga listrik dikabarkan telah hancur dan tidak berfungsi lagi.

Apa yang saya sebutkan di atas barangkali hanya angka-angka mati bagi kita. Kita mungkin tidak pernah bisa membayangkan kehidupan seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita di Suriah. Namun, bagi rakyat Suriah, penderitaan itu adalah nyata. Tragedi itu benar-benar telah dan sedang mereka alami.

Bagi rakyat Suriah--dan juga rakyat pada umumnya--kekuasaan atau tepatnya siapa yang berkuasa mungkin tidaklah begitu penting. Yang terpenting bagi mereka adalah hidup di negara yang menjamin keamanan, kesejahteraan, dan kebebasan.

Sayangnya, kerakusan terhadap kekuasaan kelompok-kelompok di Suriah telah melempar rakyat ke keranjang kesengsaraan yang panjang. Kerakusan kekuasaan itu mulai tampak ketika rezim Presiden Bashar Assad menghadapi kaum demonstran dengan represif. Assad dianggap sebagai penguasa diktator-otoriter.

Sejak akhir 2010, sejumlah negara Arab memang sedang diterpa angin puting beliung berupa revolusi rakyat melawan penguasa lalim, yang kemudian disebut al-Rabi' al-'Araby atau the Arab Spring.

Sejumlah penguasa diktator-otoriter pun tumbang. Dari Zainuddin bin Ali (Presiden Tunisia), Husni Mubarak (Presiden Mesir), Ali Abdullah Saleh (Presiden Yaman), hingga Muammar Qadafi (pemimpin Libya). Sedangkan, Presiden Suriah Bashar Assad hingga kini masih bisa bertahan meskipun harus dibayar dengan darah rakyatnya sendiri.

Seperti di beberapa negara Arab lainnya, yang terjadi di Suriah pada awalnya hanyalah demonstrasi rakyat melawan sebuah rezim penguasa. Namun, ketika unjuk rasa kelompok oposisi dihadapi dengan represif, demonstrasi yang awalnya damai pun berkembang menjadi konflik berdarah.

Apalagi, ketika kekuatan asing pun ikut “bermain”. Iran, Hizbullah (Lebanon), dan Rusia mendukung kekuasaan Presiden Assad. Bukan rahasia lagi selama ini sejumlah pemimpin di Timur Tengah menuduh Iran ingin membentuk poros Syiah: Iran-Irak-Suriah (Bashar Assad)-Hizbullah (Lebanon).

Sebaliknya, negara-negara Suni--negara-negara Teluk, Mesir, dan Turki--mendukung kelompok-kelompok oposisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah atau Koalisi Nasional Suriah.

Di tengah konflik berkepanjangan rezim Bashar Assad dengan kaum oposisi inilah, kemudian masuk kelompok radikal dan teroris ke Suriah. Antara lain, ISIS, Alqaidah, dan Jabhatu an-Nasrah. Yang paling dominan di antara mereka adalah ISIS. Bahkan, yang terakhir ini telah berhasil menguasai 40 persen wilayah Suriah. Mereka juga telah menjadikan Kota Raqqa (Suriah) sebagai ibu kota Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS.

Kini, konflik di Suriah pun semakin ruwet. Sudah seperti benang kusut. Sulit diurai. Namun, yang bisa dipastikan, semakin panjang penyelesaian konflik di Suriah, akan semakin banyak rakyat yang menjadi korban. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement