Kamis 17 Mar 2016 06:42 WIB

Diplomasi RI, OKI, dan Israel

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Konsul Kehormatan RI untuk Palestina, Maha Abu-Shuseh, pengusaha perempuan yang sukses, akhirnya dilantik Menlu RI, Retno LP Marsudi pada Ahad lalu (13/3/2016). Sayang pelantikan itu dilakukan di KBRI Amman; bukan di Ramallah, sebagaimana direncanakan pemerintah RI. Pelantikan itu ‘terpaksa’ dilakukan di Amman karena pemerintah Israel tidak memberi overflight clearance bagi Menlu Retno dan delegasi RI untuk masuk ke Ramallah, Tepi Barat.

Penolakan Israel mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang  memperlihatkan terus berlanjutnya arogansi negara Zionis, juga mencerminkan kekhawatirannya pada peningkatan diplomasi RI untuk terus mendukung kemerdekaan berdaulat penuh negara Palestina.

Menlu Retno Marsudi sendiri dalam pernyataan meresponi penolakan Israel itu menegaskan: “Penolakan izin overflight clearance tidak akan berdampak apapun—saya ulangi, tidak berdampak apapun terhadap dukungan Indonesia kepada Palestina. Saya berharap, bahwa di masa mendatang kita akan membuka Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara Palestina”.

Penegasan Menlu ini membuat Israel kian menjauh dari Indonesia. Bukan rahasia lagi, Israel sejak waktu lama menginginkan dan berusaha keras agar RI dapat membuka hubungan diplomatik di antara kedua negara. Israel memandang, hubungan diplomatik dengan Indonesia—sebagai negara Muslim terbesar—dapat membuka pengakuan lebih luas terhadap Israel di tingkat internasional. 

Tetapi Indonesia secara konsisten menolak walau dalam kasus-kasus tertentu terjadi kontak dan hubungan diam-diam melalui orang perorang. Adalah Presiden Soekarno yang memulai penolakan berhubungan dengan Israel. Bung Karno mengeluarkan Israel (dan Taiwan) dari daftar negara yang ikut dalam Asia Games 1962 di Jakarta. 

Tetapi pada 1993 Presiden Soeharto menerima PM Israel Yitzhak Rabin di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Pak Harto berhujjah, ia menerima Rabin dalam kaitan dengan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non-Blok dan juga guna menjajaki tindak lanjut Persetujuan Oslo. Inilah satu-satunya pertemuan tingkat tinggi di antara kedua negara. 

Selanjutnya pada 1999 Presiden Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid menyatakan keinginannya membuka hubungan dagang langsung dengan Israel. Mendapatkan tantangan dari kebanyakan umat Islam Indonesia, Presiden Gus Dur ‘terpaksa’ mengurungkan niatnya tersebut.

Presiden SBY membuka sedikit celah bagi Israel dengan menyatakan, hubungan diplomatik antara kedua negara mungkin dapat dibuka setelah Israel memberikan kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya bagi negara Palestina. Peningkatan aksi brutal Israel bersamaan dengan perampasan tanah Palestina untuk pemukiman ilegal Yahudi, meningkatkan kecaman pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap Israel, sehingga kemerdekaan Palestina kian jauh.

Jelas pemerintahan Jokowi-JK ingin meningkatkan peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina secara damai. Sejak masa kampanye sebelum Pilpres 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla menyatakan bakal membuka Konsulat RI (KJRI) di Ramallah.

Jelas pula Israel menolak pembukaan KJRI. Karena itulah pemerintah RI memutuskan mengangkat Konsul Kehormatan, yang lazimnya adalah dari kalangan tokoh masyarakat lokal. Meski Konsul Kehormatan memiliki wewenang terbatas, dalam konteks Palestina memiliki simbolisme penting. Israel nampaknya melihat Konsul Kehormatan RI itu bagaimanapun mewakili kehadiran Indonesia di bumi Palestina yang masih dikuasai Israel.

Melihat sikap Israel seperti itu, bisa dipastikan usaha Indonesia memainkan peran mediasi lebih aktif dalam menciptakan perdamaian dan sekaligus kemerdekaan negara Palestina sangat tidak mudah. Boleh jadi Indonesia akhirnya harus berhadapan langsung dengan Israel.

Indonesia agaknya tidak bisa mengharapkan OKI dapat membantu upaya mediasi Indonesia di Palestina maupun Dunia Islam lebih luas. KTT Luarbiasa OKI tentang Palestina dan al-Quds al-Syarif di Jakarta 7-8 Maret 2016 sangat boleh jadi tidak membuahkan hasil kongkrit—meski Presiden Jokowi mengritik keras ketidakseriusan negara-negara OKI membantu Palestina. Hasil kongkretnnya sejauh ini hanya pembukaan Konsul Kehormatan RI itu.

Indonesia juga tidak bisa berharap banyak pada negara-negara Muslim yang memiliki (atau pernah memiliki) hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Mesir, Yordania, Tunisia, Maroko, Oman, Turki dan Qatar. Hubungan diplomatik mereka dengan Israel selama ini tidak ada dampak positifnya bagi bangsa-negara Palestina.

Karena itu, Indonesia harus meningkatkan diplomasinya ke negara-negara adikuasa yang dapat menekan Israel semacam Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jerman misalnya. Jelas upaya yang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin selama Indonesia tetap menjalankan diplomasi internasional secara gigih, konsisten dan berkelanjutan.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement