REPUBLIKA.CO.ID, Saya tinggal di daerah yang cukup terpencil untuk ukuran kota. Sekitar 15 menit mengikuti jalan dua arah yang berliku, sebelum sampai ke jalan besar.Bagi penduduk sekitar yang tidak memiliki kendaraan, hanya ojek yang bisa menjadi jembatan transportasi dari jalan besar. Mahal, tapi memang tak ada pilihan.
Suatu hari, pemkot melihat pentingnya sarana transportasi untuk masyarakat setempat sehingga membuka trayek. Mobil angkot pun mulai masuk dan seluruh masyarakat menyambut dengan antusias. Tentu saja, mereka kini tidak perlu membayar mahal biaya transportasi karena lebih bersifat massal. Tunggu dulu, segenap masyarakat? Oh salah, ternyata tidak setiap warga menyambut gembira,. Ada penduduk yang berprofesi sebagai tukang ojek, yang terkena dampak tidak menyenangkan, mereka mulai kehilangan penumpang.
Akhirnya, para pengendara ojek kompak, mereka menghalau mobil angkutan yang lewat. Menghentikan, beberapa bahkan ada yang sampai merusak dan melarang kendaraan umum tersebut beroperasi. Jumlah sopir angkot yang baru puluhan tak sanggup melawan pengendara ojek yang jumlahnya ratusan. Rakyat yang semula tadinya bersukacita dengan perubahan, kembali hidup dalam keterpaksaan perihal memilih sarana transportasi—akibat ego sekelompok kecil orang yang dirugikan sebuah perubahan.
Setelah negosiasi panjang, akhirnya angkot boleh kembali dengan ketentuan batas waktu sampai pukul 18.00 saja, setelah itu masyarakat wajib menggunakan jasa ojek.
Apakah ini win-win solution? Bagi ojek, ya. Tapi, tidak buat masyarakat karena tetap dipaksa pada waktu tertentu untuk tidak mempunyai opsi dalam memilih model transportasi.
Dulu saya mengira sikap antiperubahan demi ego kepentingan, hanya muncul dari masyarakat berpendidikan rendah. Akan tetapi kenyataannya, ini adalah sifat natural manusia, yang betapa pintar dan kayanya, akan tetap tersimpan dalam diri. Kecuali tidak diberi pilihan.
Di awal maraknya media sosial, Facebook, WA, Line, dan aplikasi daring (online) lainnya masuk, hanya sebagai jejaring sosial. Setelah digunakan oleh puluhan hingga ratusan juta orang, kini mereka membuka fitur menelepon gratis. Terbayang betapa besar kerugian perusahaan telekomunikasi konvensional. Untung saja operator telepon sudah mengantisipasi kemungkinan ini sejak dini—mereka memilih untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Sehingga ketika penghasilan dari pulsa menyusut, perusahaan tetap bisa menghasilkan uang dari paket data.
Awal era digital, ketika teknologi CD masuk, pabrik kaset berpita di Indonesia mulai tutup, buruh kehilangan pekerjaan. Kini, CD mulai ditinggalkan karena orang bisa dengan mudah mendapatkan versi digital di internet. Tidak ada yang bisa menghentikan kemajuan, tapi menyesuaikan diri dengan perubahan.
Ketika aplikasi berbasis digital masuk ke ranah bisnis transportasi, pihak yang kepentingannya terganggu berusaha menghambat perubahan, awalnya dengan pendekatan legalitas. Lalu mulai dengan demo, tetapi justru berakhir dengan anarkistis dan kekerasan. Mengakibatkan kehilangan simpati. Padahal jika membuka diri, bisa jadi justru perusahan transportasi yang sudah mapan tersebut bisa menyerap teknologi ini untuk kepentingan--keberlangsungan-- bisnisnya.
Tanpa sikap arif terhadap perubahan di era digital, mungkin kita sudah menemukan demo di seluruh pelosok kehidupan. Loper koran demo karena omset merosot akibat banyak media daring, tukang pos demo karena orang-orang mengirim pesan lewat e-mail dan SMS, pabrik kertas demo karena permintaan kertas merosot, department store demo karena banyak penjualan online, semua bidang terkena imbas perubahan ini. Untung saja sebagian besar masyarakat mampu melihat dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan pasti terjadi. Pilihannya menyesuaikan diri atau menghambat dan melawan dengan kekuatan. Jika perubahan yang berlangsung untuk kemajuan masyarakat secara umum namun kita melawannya karena kepentingan pribadi, maka ego sedang menguasai diri. Kecuali jika perubahan yang dibawa adalah perubahan yang membawa kerusakan.
Pemerintah memegang peranan penting dalam mengawal perubahan. Pemerintah yang bijak adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, bukan yang menghambat demi kepentingan segelintir orang yang merasa terimbas perubahan.
Untuk banyak hal, saya tidak percaya dengan Charles Darwin, tetapi saya sepakat dengan satu ungkapannya bahwa, “Bukan yang kuat yang bertahan, tapi yang bisa menyesuaikan diri.”