REPUBLIKA.CO.ID, Siapakah superstar atau tokoh terkenal Arab Saudi yang punya jutaan pengikut di media sosial? Ternyata bukan raja. Bukan pangeran. Juga bukan para ulama utama (mainstream). Pun, bukan mereka yang tergabung dalam Haiah Kibarul Ulama alias Dewan Ulama Terpandang. Juga bukan pemain sepak bola atau bintang televisi.
Menurut BBC News (3/3), para tokoh Saudi yang paling banyak pengikutnya di media sosial itu memang masih tetap ulama. Ini wajar di sebuah negara yang rajanya berjuluk "Penjaga Dua Tempat Suci". Namun, mereka bukan 20 ulama utama anggota Haiah Kibarul Ulama. Yang terakhir ini merupakan institusi resmi, diketuai Mufti Negara Syekh Abdul Aziz Alu Syekh, bertugas memberi fatwa kepada raja dan bangsa.
Mereka, para ulama media sosial ini, boleh dikata sebagai ulama "pinggiran". BBC News menyebut, ada empat pendakwah Saudi yang bagaikan superstar. Mereka mempunyai jutaan pengikut di medial sosial. Mereka sebanding dengan para bintang pop atau pemimpin dunia. Dari yang pakai jins hingga berjuluk "Brad Pitt" para ulama.
Sebutlah nama Ahmad Mazin al-Shugairi. Bila ada khatib keren, dialah orangnya. Ia bepergian dengan jet dari satu negara ke negara lain. Ia berkhutbah mengenakan jins dan kaus.
Ketika anak-anak muda gandrung media sosial, al-Shugairi termasuk orang pertama memanfaatkan dunia digital ini. Dengan gaya dan pendekatan yang modern, serta pandangan yang moderat, anak-anak muda pun cepat merasa dekat dengannya. Kini, sekitar 13 juta orang selalu mengikuti tweet-nya. Jumlah yang sama juga mem-follow page Facebook-nya. Sementara di Instagram, terdapat sekitar lima juta yang selalu menyimak postingan-nya.
Namun, pandangan moderat bukan berarti tanpa kontroversi. Kaum liberal khawatir ia merupakan kekuatan berpengaruh untuk mengislamisasi pikiran sekuler di dunia Arab. Sebaliknya, kelompok garis keras menuduh al-Shugairi mengkhutbahkan "Islam yang terlalu enteng".
Yang jelas, al-Shugairi kini dipandang sebagai suara moderat yang paling berpengaruh di kalangan para khatib. Pandangannya tegas bila menyangkut radikalisme dan ekstremisme. ‘‘Islam bukanlah agama kekerasan,’’ kata laki-laki 42 tahun ini.
Berikutnya adalah Mohammad al-Arifi, 46 tahun. Dia dijuluki "Brad Pitt" para ulama. Tidak jelas apa persamaannya dengan aktor ganteng yang pernah membintangi film Mr & Mrs Smith itu. Bisa jadi karena sama-sama mempunyai fan yang banyak. Pengikut al-Arifi di Facebook mencapai 21 juta orang. Sedangkan, di Twitter lebih dari 14 juta.
Namun, berbeda dengan Brad Pitt yang beneran, al-Arifi adalah tokoh yang karismatik. Ia juga dikenal berhaluan keagamaan yang keras dan sekaligus kontroversial. Dalam sebuah acara di televisi (2007), ia menyebut suami boleh "memukuli dengan pelan" istrinya bila dia tidak mematuhinya. Dalam sebuah tweet pada 2012, ia menentang gagasan perempuan bekerja di luar rumah.
Al-Arifi dikabarkan mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dan keluarga penguasa Saudi. Namun, hubungan itu memburuk ketika ia mengecam jaringan kereta yang menghubungkan tempat-tempat suci di Makkah. Ia menyebutkan sebagai "yang terburuk di dunia". Pada 2014, ia pun ditangkap dan dipenjara.
Ulama terkemuka lain di media sosial adalah Salman al-Audah. Ia sering dihubungkan dengan hal-hal yang kontroversial. Namanya mulai ngetop ketika menjadi trending topic di media online pada 2012. Saat itu, ia ketahuan menaiki motor selama melaksanakan ibadah haji di Makkah untuk menghindari kemacetan. Kontan saja kemunculannya menjadi kontoversi di media sosial. Maklum, sosok ulama, apalagi di Saudi, adalah orang yang menjaga penampilan. Naik motor di negara petro dolar itu hanya untuk orang-orang kalangan bawah.
Kontroversi lain adalah menyangkut pandangannya tentang istri. Al-Audah menolak poligami. Ia menegaskan, kaum pria seharusnya menikah hanya dengan satu perempuan. Pendapatnya ini tentu tidak disukai para lelaki, di negara yang poligami merupakan hal umum.
Yang menarik, ulama ini dulu dikenal berpandangan ekstrem. Ia juga sering mengkritik pemerintah. Namun, setelah merasakan kehidupan di penjara selama lima tahun pada 1994, ia lalu berubah. Ia, misalnya, tidak mendukung perjuangan model Usamah bin Ladin dan Alqaidah.
Pada peringatan tahun keenam serangan 11 September 2001 di AS, ia mempertanyakan tindakan Usamah bin Ladin. ‘‘Saudaraku Usamah, berapa banyak darah telah tumpah? Berapa banyak orang, anak-anak, lanjut usia, dan wanita tak berdosa tewas atas nama Alqaidah? Apakah Anda akan senang bertemu dengan Allah SWT dengan membawa beban ratusan ribu atau jutaan korban di pungggung Anda?’’
Kini, "santrinya" di Twitter mencapai 8 juta, di Facebook sekitar 5 juta. Sedangkan, yang mengikuti postingan-nya di Instagram berjumlah 1 juta orang.
Superstar media sosial Saudi berikutnya adalah seorang perempuan. Nawal al-Eid namanya. Majalah perempuan pan-Arab, Sayidati, menahbiskannya sebagai perempuan Saudi paling berpengaruh. Follower-nya di Twitter mencapai 1 juta orang, Facebook 45 ribu, dan Instagram menyentuh angka 150 ribu. Angka yang fantastis untuk perempuan di Saudi.
Namun, jangan harap Anda bisa melihat rupa perempuan 40 tahun ini. Doktor ilmu hadis ini tidak pernah mem-posting fotonya. Maklum, ini Saudi, Bung. Pada awal kemunculannya di publik pun hanya lewat suara. Yaitu, ketika membawakan acara rutin di sebuah radio yang menyuarakan hak-hak perempuan.
Yang mengherankan, meskipun ia dikenal sebagai pembela hak perempuan, ia menentang diberlakukannya undang-undang antipelecehan terhadap perempuan di negaranya. Pelecehan fisik maupun verbal sering dikeluhkan perempuan Saudi.
Menurut dosen di Universitas Nora, Riyadh, ini, hukum penjara dan denda tidak mengatasi akar masalah. Ia berpandangan, berpakaian sopan dan mengurangi kesempatan berbaur antara laki-laki dan perempuan akan mencegah laki-laki melakukan pelecehan.
Al Eid juga menentang perjuangan kesetaraan gender, yang menurutnya diambil dari nilai-nilai Barat. Ia menyatakan, mematuhi ajaran Islam akan membuat perempuan mendapatkan haknya. ‘’Akankah tubuh perempuan yang lemah itu mampu menandingi tubuh laki-laki yang begitu kuat’’ tulis al Eid dalam sebuah artikelnya, "Dusta Terbesar", pada 2013.
Apa pun pendapat Ahmad al-Shugairi, Mohammad al-Arifi, Salman al-Audah, dan Nawal al-Eid, yang jelas mereka pandai memanfaatkan kemajuan IT. Tiap waktu mereka bisa menyapa, menanggapi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para jutaan pengikutnya. Bisa lewat tweet, update status, posting-an, atau bahkan melalui video. Boleh jadi pengaruh tokoh-tokoh seperti ini lebih dahsyat dari para ulama mainstream. Para ulama yang secara kapasitas keilmuan tentu lebih canggih dari para "ulama pinggiran". Ulama media sosial.
Ya, kemajuan IT tidak bisa dimungkiri telah memunculkan revolusi sosial, termasuk revolusi dalam dunia dakwah. Menyeru pada kebenaran tidak terbatas di masjid. Mengajak kebaikan tidak harus di pengajian. Dakwah bisa dilakukan lewat media sosial yang sekali pencet, kursor pesan bisa dibaca jutaan follower.
Ya, dakwah kini tidak lagi dibatasi sekat-sekat. Kecanggihan IT, tepatnya media sosial, telah menghilangkan batas dan jarak. Namun, kecanggihan dunia digital ini juga sekaligus telah menggerus ketokohan seseorang, termasuk ketokohan para ulama. Bisa jadi para ulama media sosial lebih berpengaruh dan lebih dikenal daripada "ulama beneran".