Senin 25 Apr 2016 06:00 WIB

Ketika Obama Bikin Para Pemimpin Teluk Marah Besar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa kali Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama telah membuat para pemimpin negara-negara Teluk marah besar. Dan, setiap kali muncul kemarahan besar itu Obama pun mencoba meredamnya dengan menemui mereka dalam sebuah pertemuan berjuluk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) AS-Teluk. KTT terakhir berlangsung Kamis pekan lalu di Riyadh, Arab Saudi.

Negara-negara Teluk itu adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman. Mereka tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji) yang dibentuk pada 1981. Kerja sama itu meliputi banyak hal. Dari politik, keamanan, militer, ekonomi, hingga sosial-budaya dan lainnya.

Sekjen Dewan ini dipilih anggota. Tuan rumah pertemuan digilir. Namun, Arab Saudi selalu dianggap sebagai ‘saudara tua’ (ak akh al akbar). Dalam tradisi di Arab, saudara tua adalah pemimpin buat saudara-saudaranya. Itulah sebabnya suara Saudi sangat dominan di Dewan Kerjasama Teluk ini. Boleh jadi Arab Saudi terluas wilayahnya. Terbesar penduduknya. Terkuat militernya. Dan, kini rajanya pun paling senior (baca: paling tua) dibanding lima pemimpin negara Teluk lainnya.

Berkat ‘kepemimpinan’ Saudi, kini, sejak lebih dari 30 tahun lalu, kawasan Teluk termasuk yang paling aman di Timur Tengah yang bergejolak. Atau dalam istilah pengamat Timur Tengah, Masyari al Thaidy, Teluk bagaikan ‘taman di tengah hutan yang kebakaran’. Yakni, taman yang relatif aman, tumbuh, dan berkembang, sementara negara-negara di sekelilingnya terbakar, baik politik maupun keamanannya.

Karena itu, bisa dimaklumi jika ada pihak luar yang dianggap ‘nakal’ dan bisa mengancam keamanan salah satu negara Teluk, mereka pun marah. Apalagi bila ‘kenakalan‘ pihak luar itu kemudian didukung oleh negara besar yang telah lama dianggap sahabat, seperti halnya AS.

Tahun lalu AS, tepatnya Obama, telah membuat marah para pemimpin Teluk. Gara-garanya, kelompok negara-negara P5+1 (lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB -- AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina -- plus Jerman) yang dipimpin AS telah menyetujui kesepakatan awal perjanjian nuklir dengan Iran. Mereka khawatir Iran akan semakin leluasa menancapkan pengaruhnya di sejumlah negara di Timur Tengah.

Apalagi, sebelum ada kesepakatan itu, negara Imam Khamenei telah dianggap membahayakan keamanan kawasan Timur Tengah. Yaitu ketika negara itu membentuk poros Syiah Iran-Irak-Suriah-Hizbullah Lebanon. Para pemimpin Teluk juga menuduh Iran telah menyalurkan bantuan militer kepada milisi al Khauti di Yaman.

Untuk meredam kemarahan besar para pemimpin Teluk, pada saat itu Presiden Obama pun mengundang mereka dalam sebuah pertemuan di Camp David. Tempat peristirahatan Presiden Amerika ini dipilih untuk menunjukkan bahwa pertemuan ini sangat penting dan sekaligus menganggap mereka sebagai sahabat. Untuk tamu-tamu kenegaraan lainnya, Presiden AS biasa menerimanya di Gedung Putih.

Presiden Obama waktu itu pun mendengarkan semua keluhan, pengaduan, rajukan, atau apa pun yang disampaikan para tamunya. Kepada para pemimpin Teluk, Obama menyatakan perjanjian reaktor nuklir Iran tidak akan mengganggu hubungan baik AS-Teluk. Bahkan ia menegaskan AS akan menjamin keamanan kawasan itu.

Tidak jelas apakah pertemuan setahun lalu itu telah memuaskan dan sekaligus meredam kemarahan para pemimpin Teluk. Faktanya, hubungan negara-negara Teluk, terutama Saudi, dengan Iran semakin memanas. Dari masalah kecelakaan Crane di Mekah, tragedi Mina, eksekusi mati ulama Syiah warga Saudi, serangan perwakilan diplomatik Saudi di Iran, pemutusan hubungan diplomatik Iran-Saudi, hingga tuduhan bahwa Iran ingin menebarkan pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah.

Dengan rentetan peristiwa yang dianggap bisa membahayakan keamanan negara-negara Teluk ini, Gedung Putih, atau tepatnya Presiden Obama, dinilai tidak berbuat apa-apa. Bukan hanya yang terkait dengan sepak terjang Iran, namun juga terhadap penjajahan Zionis Israel atas wilayah Palestina. Selama dua periode pemerintahan Obama, Israel semakin merajalela berbuat apa saja atas wilayah yang didudukinya. Dari pembunuhan warga, pembangunan pemukiman di wilayah Palestina, hingga yahudisasi al Quds (Yerusalem), utamanya komplek Masjid al Aqsa.

Berikutnya, Obama juga dinilai tidak berbuat apa-apa terhadap kelompok-kelompok radikal dan teroris yang kini telah menebarkan teror di mana-mana. Utamanya kelompok yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS. Kelompok teroris ini kini bahkan telah menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah. Mereka sekarang juga sedang membangun kekuatan di Libia dan wilayah-wilayah konflik lain di Timur Tengah.

Alih-alih mendukung sikap dan kepentingan negara-negara Teluk, Presiden Obama dalam wawancara dengan majalah The Atlantic edisi awal April lalu justru mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Hal ini dianggap sebagai hal yang mengejutkan dan sekaligus menyedihkan lantaran AS selama lebih dari delapan dasawarsa merupakan sahabat tradisional Teluk, utamanya Arab Saudi.

Dalam wawancara dengan The Atlantic, Obama mengritik Saudi dan negara-negara Teluk lainnya yang telah menyebarkan Islam versi fundamentalis ke negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Antara lain dengan menyalurkan dana, mengirimkan guru-guru, dan mendanai madrasah-madrasah yang beraliran Wahabi di negara-negara Muslim itu. Tentang pengaruh Iran yang semakin meluas, Obama juga meminta Saudi agar berbagi peran dengan negara Imam Khamenei itu di kawasan Timur Tengah.

Tuduhan dan pernyataan Obama tadi jelas ditolak oleh Saudi dan juga negara-negara Teluk lainnya. Karena, menurut mereka, secara faktual negara-negara di kawasan Teluk justru mengalami ancaman kelompok-kelompok garis keras tersebut. Beberapa kali mereka mengalami serangan bom oleh kelompok teroris ISIS. Selain itu, pengaruh Syiah Iran juga mereka nilai telah membahayakan keamanan kawasan Teluk.

Pernyataan Obama yang kontroversial itu juga telah melukai para pemimpin Teluk. Dalam catatan media al Sharq al Awsat, kali ini merupakan kemarahan besar kedua para pemimpin Teluk terhadap Obama sepanjang dua periode ia bersinggasana di Gedung Putih.

Untuk meredam kemarahan para pemimpin Teluk, Obama -- seperti halnya tahun lalu di Camp David -- pun berkunjung ke Teluk. Kunjungan yang dikemas sebagai KTT AS-Teluk itu berlangsung Kamis lalu di Riyadh. Sayangnya, nasi tampaknya telah menjadi bubur. Kunjungan Obama pun diterima dengan dingin saja.

Di bandara, ia hanya disambut Gubernur Riyadh Pangeran Faisal bin Bandar al Saud. Padahal, beberapa jam sebelumnya, Raja Salman bin Abdul Aziz sendiri -- bersama sejumlah pejabat senior Saudi lainnya --  telah menyambut para pemimpin negara-negara Teluk yang akan menghadiri KTT AS-Teluk itu.

Bagi para pemimpin Teluk, Obama tampaknya sudah dianggap masa lalu. Apalagi hari-hari Obama di Gedung Putih tinggal menghitung hari. Pernyataan Obama dalam KTT itu juga hanya dianggap basa-basi yang kurang bermakna. Di mata para pemimpin negara-negara Teluk, Obama sepertinya mereka anggap sebagai Presiden AS terlemah sepanjang sejarah.

Raja Salman, sambil menunggu Presiden AS terpilih, lebih memilih menggalang kekuatan dengan negara-negara besar Suni lainnya. Mesir dan Turki pun ia kunjungi sebelum kedatangan Obama. Ia juga telah mengadakan pertemuan dengan Raja Maroko.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement