Senin 23 May 2016 06:00 WIB

Albania ‘Menggugat’ Indonesia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Beberapa hari lalu kami -- saya dan Pemimpin Redaksi Republika Sdr Irfan Junaidi -- makan malam bersama Skender Brucaj di sebuah restoran di Jakarta. Brucaj adalah ketua umum Majelis ulama Albania -- di sana namanya Komunitas Muslim (Muslim Community of Albania). Pengundangnyateman kami wartawan Turki yang ngepos di Jakarta, Sdr Selim Caglayan.

Sambil makan kami ngobrol macam-macam. Dari soal pemilihan wali kota London yang untuk pertama kali dimenangkan oleh tokoh Muslim Sadiq Khan hingga merebaknya Islamofobia di daratan Eropa. Dari kekacauan di kawasan Timur Tengah dan munculnya kelompok-kelompok teroris sampai masalah pengungsi Suriah. Dari kondisi umat Islam di Albania dan negara-negara bekas Blok Timur (Uni Soviet) sampai kerukunan beragama di Indonesia.

Tentang umat Islam Indonesia, tentu kami yang bercerita. Dan, dengan bangga kami katakan Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia merupakan negara demokratis ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Umat Islam Indonesia sangat toleran, moderat, dan selalu ingin menebarkan kasih sayang di muka bumi. Penduduknya beraneka suku dan agama. Namun, bersatu dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila.

Di tengah obrolan itu, Brucaj tiba-tiba nyeletuk. ‘‘Sedikit banyak mengenai Indonesia saya sudah tahu. Termasuk dari para pembicara Indonesia dalam seminar hari ini dan kemarin. Pertanyaan saya, apa yang bisa diberikan Indonesia kepada masyarakat Islam dunia, terutama kepada negara-negara seperti Albania ini?’’ cetus laki-laki 40 tahun yang sejak 2014 menjabat Grand Mufti di negaranya itu.

Kehadiran Brucaj di Jakarta untuk menjadi peserta International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL). Seminar yang bertema "Islam Nusantara: Inspirasi Peradaban Dunia" itu  diselenggarakan PBNU (NU) pada 9-11 Mei lalu. Pesertanya 400 orang, dari Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia, Asia, dan para kiai Indonesia.

Dalam obrolan itu, tampak ada yang mengganjal pada diri Brucaj yang baru pertama kali berkunjung ke Indonesia. Sepertinya ia ingin ‘menggugat’ peran Indonesia yang belum maksimal terhadap saudara-saudaranya di negara-negara bekas komunis seperti Albania. Ia tampak belum puas. Termasuk ketika kami menjelaskan peran serta aktif Indonesia di kancah dunia: PBB, Non-Blok, OKI, serta lembaga-lembaga internasional lainnya.

Bahkan sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia juga sering menjadi narasumber di seminar-seminar internasional di berbagai negara. Kementerian Luar Negeri Indonesia -- lewat direktorat diplomasi publik -- juga aktif menyelenggarakan interfaith dialogue di berbagai negara -- baik bilateral, regional maupun multilateral.

‘‘Lalu apa peran Indonesia terhadap saudara-saudaranya di Albania?’’ Kembali Brucaj bersoal. Albania merupakan satu-satunya negara berwarga mayoritas Muslim di Eropa.  Penduduknya sekitar 3.5 juta jiwa. Sekitar 60 persen beragama Islam, 17 persen Kristen, sisanya memeluk agama lain atau ateis.

Namun, yang menyedihkan, berdasarkan penelitian sebuah lembaga internasional pada 2010, Albania merupakan salah satu negara yang paling tidak beriman di dunia. Hanya 39 persen dari jumlah populasi yang menganggap agama memainkan peran penting dalam kehidupan mereka.

Penyebabnya, selama hampir 47 tahun (1944-1991) Albania di bawah pengaruh komunis. Selama itu pula, pengamalan agama dilarang dengan ancaman hukuman penjara. Tempat-tempat ibadah dihancurkan. Bahkan Pemerintah Komunis juga menyatakan Albania sebagai negara ateis. Akibatnya, setelah komunis jatuh pada 1991, sebagian besar penduduk Albania menganggap agama hanya sebagai identitas. Namun, dalam kehidupan sehari-hari mayoritas mereka ateis.

Hingga Perang Dunia II (PD II), 70 persen penduduk Albania adalah Muslim, 20 persen Kristen Ortodoks, dan 10 persen Kristen Katolik. Mereka memeluk Islam lantaran pengaruh Kekhalifahan Usmaniyah yang berkuasa di Albania selama sekitar lima abad (abad ke-15 hingga ke-20).

Ketika PD II meletus, awalnya Albania dicaplok oleh Italia (1939-43), sebelum kemudian dijajah oleh Jerman (1943-1944). Setelah Jerman kalah perang oleh Sekutu, Albania -- seperti halnya negara-negara Balkan dan Eropa Timur -- pun jatuh ke pemerintahan komunis. Mereka kemudian membentuk aliansi dengan sesama negara komunis yang kemudian disebut sebagai Blok Timur. Aliansi ini dipimpin Uni Soviet. Lawannya, Blok Barat pimpinan Amerika Serikat.

Persaingan dan perebutan pengaruh antara dua blok kekuatan dunia inilah yang kemudian disebut Perang Dingin. Dan, selama Perang Dingin inilah umat Islam di negara-negara komunis diberangus. Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun hingga Uni Soviet runtuh dan negara-negara komunis bubar. Negara-negara bekas komunis seperti Albania pun menerapkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan beragama kepada masyarakat.

Namun, perkembangan ini juga memunculkan persoalan lain bagi Albania -- dan negara-negara lain bekas komunis. Persoalan itu, terutama bagi umat Islam, menyangkut minimnya imam, khatib, dai, dan guru-guru Islam. Kondisi ini bisa dipahami karena selama puluhan tahun di bawah komunis, kegiatan keagamaan diberangus. Karena itu, mereka, terutama anak-anak muda Islam, membutuhkan lembaga pendidikan Islam yang cocok.

Terkait dengan persoalan umat Islam Albania ini, saya pun teringat keluhan Grand Mufti Rusia Ravil Gainutdin kepada KH Hasyim Muzadi, kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden, saat berkunjung ke Rusia enam tahun lalu. Menurut Gainutdin, anak-anak muda Islam Rusia yang dikirim belajar ke negara-negara di Timur Tengah, ketika lulus dan pulang ke negaranya pada umumnya sangat eksklusif. Tertutup. Mereka sepertinya ingin ‘memindahkan’ kehidupan masyarakat Timur Tengah yang keras ke masyarakat Rusia.

Kiai Hasyim menyampaikan, untuk masyarakat pluralis seperti Rusia, belajar Islam yang paling baik adalah ke Indonesia. Alasan, Rusia adalah negara plural seperti Indonesia. Bedanya, mayoritas penduduk Indonesia Muslim, sedangkan mayoritas warga Rusia Kristen Ortodoks. Dengan begitu, katanya, para mahasiswa Rusia yang belajar Islam di Indonesia tidak akan canggung lagi ketika pulang ke negaranya.

Bila mahasiswa Rusia belajar Islam ke Timur Tengah, terutama yang monoagama, Kiai Hasyim khawatir setelah belajar sekian tahun dan kemudian pulang ke negaranya mereka akan melihat permasalahan di masyarakat hanya dengan hitam-putih, halal-haram, boleh-tidak, dan seterusnya. Padahal, menurutnya, dalam berdakwah seseorang harus lebih bijaksana. Tidak bisa melihat segalanya dengan serba hitam-putih.

Apa yang terjadi dengan umat Islam Rusia tentu berlaku juga bagi Albania dan negara-negara lain bekas komunis di kawasan Balkan, Eropa Timur, dan eks pecahan Uni Soviet. Sudah saatnya bagi Indonesia menjadi pusat pembelajaran Islam dari berbagai negara. Jangan sampai kiblat pembelajaran Islam dimonopoli Malaysia, Pakistan, dan negara-negara di Timur Tengah lainnya. Sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia membuka program internasional untuk studi Islam.

Masyarakat Islam yang modern, moderat, toleran, dan rahmatan lil alamin seperti di Indonesia tidak cukup hanya dipromosikan dengan seminar-seminar, diskusi, maupun melalui forum-forum internasional. Ia juga harus ditularkan dengan menjadikan Indonesia sebagai kiblat ilmu ke-Islaman bagi anak-anak muda dari berbagai negara.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement