REPUBLIKA.CO.ID, Puasa sedianya bisa membangun kepekaan setiap hamba terhadap penderitaan orang lain. Salah satu hikmah terpenting dari ibadah ini adalah mengingatkan bagaimana rasanya lapar, dan hidup kekurangan, sehingga tumbuh rasa empati.
Lapar dan dahaga dalam puasa juga sedikit mewakili penderitaan pengungsi Suriah, para pencari suaka yang terombang-ambing di lautan tanpa bekal cukup, korban pendudukan di Palestina yang menunggu pasokan pangan, orang-orang kelaparan di daerah yang dilanda kekeringan berkepanjangan, atau mereka yang hidupnya penuh kesulitan.
Adakah ini yang terjadi?
Seandainya benar, semestinya biaya konsumsi di bulan Ramadhan turun, karena jika pada hari biasa ada makan siang, di bulan puasa tidak ada.
Bagaimana kenyataannya?
"Memang sih, makan cuma dua kali, tapi selama puasa menu sahur dan buka, kan harus spesial. Lauknya lebih dari yang biasa kami santap sehari-hari."
"Selama puasa, malah lebih sering ke restoran. Banyak bukber. Jadi boros!"
"Harga-harga naik, pengeluaran tambah besar."
Ternyata, bagi sebagian keluarga justru membutuhkan lebih banyak uang ketika bulan puasa. Banyak yang lebih konsumtif di saat Ramadhan. Hal ini diperburuk dengan naiknya harga-harga bahan pokok. Belum lagi ditambah paket diskon gila-gilaan untuk pakaian dan barang-barang konsumtif. Ramadhan menjadi bulan yang mahal. Sesuatu yang jelas sehatusnya tidak demikian dan patut menjadi bahan renungan dan dikoreksi.
Puasa sedianya adalah bulan latihan.
Kita bersyukur, banyak yang berhasil melewati masa-masa latihan dengan gemilang. Nyaris semua perokok yang berpuasa, berhasil menghentikan kebiasaan rokoknya selama dua belas jam. Pribadi yang sering marah bisa menahan amarah karena merasa kurang tepat melampiaskan emosi saat sedang menjalankan ibadah di bulan suci. Pelajar yang suka menyontek, akan malu-malu melakukannya ketika ujian di bulan Ramadhan. Dan bagi koruptor, semoga saja menghentikan korupsinya sepanjang bulan ujian--hingga seterusnya, di bulan lain sepanjang tahun.
Sebuah latihan tentu saja akan terlihat hasilnya ketika masa latihan berakhir. Semoga saja mereka yang bisa menahan diri selama Ramadhan tetap mampu mempertahankannya setelah bulan suci ini berakhir.
Bulan Ramadhan sedianya adalah bulan ibadah. Pahala dilipatgandakan sepanjang bulan. Rahmat, ampunan dan kemenangan dilimpahkan.
Alhamdulillah, selama bulan mulia, masyarakat berbondong-bondong meramaikan masjid-masjid. Al-Qur'an yang di sebagian rumah jarang disentuh kini halaman demi halamannya mulai terjamah. Sholat sunah yang jarang dilakukan kembali ditegakkan.
Sholat Subuh ramai bagaikan sholat Jum'at, Isya dan Tarawih dipenuhi jama'ah, termasuk anak-anak.
Tantangan terberat setiap tahun adalah memastikan semua fenomena baik ini terlestarikan. Kenyataannya, dari tahun ke tahun, biasanya keramaian di masjid terjadi di awal bulan, yang kemudian justru mengalami penurunan di pertengahan dan makin menyusut menjelang lebaran.
Semoga saja semangat menyambut Ramadhan kali ini terjaga, di awal, di pertengahan, dan terjaga terus sampai lebaran berlalu hingga bulan-bulan berikut.
Ramadhan sedianya memberikan banyak makna.
Akan tetapi hanya kita yang bisa memaknai seberapa berharganya bulan Ramadhan.
Mereka yang membuka diri dan menyambut bulan suci, akan mendapatkan lebih banyak berkah dan manfaat.
Mereka yang sekadar menjalankan kewajiban selama Ramadhan juga akan mendapat sekadar apa yang dilakukan.
Mereka yang mengabaikan Ramadhan, akan terabaikan dari rahmat dan berkahnya Ramadhan.
Tapi satu pertanyaan terpenting adalah, bagaimana puasa kita?
Bagaimana Ramadhan kita?
Apakah ini hanya menjadi sebuah latihan yang tidak dipraktikkan dalam keseharian setelah bulan training selesai?