REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Beberapa hari lalu ada tulisan menarik di media al Sharq al Awsat. Media internasional berbahasa Arab ini bermarkas di London dan merupakan media setengah resmi Pemerintah Saudi -- pemiliknya adalah keluarga Kerajaan Arab Saudi. Judulnya ‘al Maghamsi Dzohirah Sa’udiyah!’ atau ‘al Maghamsi Fenomena Saudi!’.
Al Maghamsi yang dimaksud adalah seorang sheikh, dai, khatib, dan sekaligus imam Masjid Quba, Madinah, Arab Saudi. Nama lengkapnya ‘Abu Hasyim’ Saleh bin ‘Awad al Maghamsi. Namanya mulai ngetop sejak ia mengeluarkan fatwa kontroversial: menghalalkan bermusik dan bernyanyi. Di negara lain seperti Indonesia, fatwa semacam itu tentu biasa saja. Tapi, ini Saudi, Bung! Sebuah negara di mana fatwa dan pandangan keagamaan para ulamanya sangat strict alias kaku khas Wahabi. Jangankan bermusik dan bernyanyi, perempuan membaca Alquran di depan umum saja tidak boleh.
Media al Sharq al Awsat menyebut Sheikh al Maghamsi telah memberi kejutan kelas berat (al mufaja’ah min at turats al tsaqil) pada masyarakat Saudi. Kejutan itu bukan hanya lantaran ia telah melakukan ijtihad yang kekinian alias sesuai semangat zaman seperti disampaikan para pengagumnya. Namun, karena ia telah berani bersikap berbeda dengan pandangan yang telah mapan. Sebuah keberanian yang bisa membuat marah para ulama dan fuqaha (para ahli fikih) yang lebih senior.
Tentu bukan hanya karena keberanian al Maghamsi yang membuat banyak warga Saudi menyukainya. Yang justru membuat kagum banyak orang lantaran keperibadian, isi dan cara menyampaikan ceramah-ceramah agamanya.
Seperti yang terlihat di berbagai video di Youtube, al Maghamsi menyampaikan ceramah tanpa teks. Gayanya tenang. Suaranya lembut. Tidak meledak-ledak. Ini tentu berbeda dengan kebanyakan khatib di Saudi yang bersuara lantang laiknya orang marah.
Isi ceramahnya memberi ketenangan. Ia selalu meminta kepada masyarakat untuk berperilaku terpuji, saling menghormati, saling toleransi, dan saling mencintai. Ia mengecam mereka yang suka menyebarkan kebencian dan permusuhan.
Ia selalu ingin menyebarkan sikap optimisme kepada masyarakat. Baginya, hidup harus bermakna. Hidup yang memberi. Bukan meminta-minta. Hidup harus mengasihani. Bukan minta dikasihani. Hidup yang tanpa kebencian dan permusuhan. Hidup yang penuh dengan kedamaian jiwa. Yang menghargai kemanusiaan. Penuh kasih sayang, cinta, kejujuran, dan selalu bersyukur.
Ya, al Maghamsi bisa jadi mewakili suara mayoritas diam (silent majority). Namun, di era kemajuan IT ini suara diam justeru bisa menjadi nyaring. Bahkan bisa menjadi suara penekan. Terutama lewat media sosial. Dan, suara mayoritas penekan itu adalah bahwa sebagian besar masyarakat sudah bosan dengan suara-suara keras. Suara yang cenderung mengobarkan kebencian dan permusuhan.
Mereka mengagumi al Maghamsi karena dia menyuarakan sesuatu berbeda. Sesuatu yang lebih dekat dengan hati nurani mereka. Hal berbeda itu termasuk fatwanya yang memperbolehkan non-Muslim memasuki Kota Madinah, memperbolehkan masyarakat bermusik dan bernyanyi. Ia juga tidak mewajibkan perempuan memakai niqab (penutup wajah) di depan umum. Baginya, jangan mengada-ada sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam agama.
Sikap dan pandangan keagamaan al Maghamsi yang dianggap lebih moderat dan toleran ini tampaknya juga didukung Pemerintah Saudi. Coba simak pandangan wakil putra mahkota, Pangeran Muhammad bin Salman, tentang perempuan menyetir mobil. Yang terakhir ini hingga sekarang masih ditentang keras para ulama setempat.
Bagi Pangeran Muhammad, perempuan menyetir mobil tidak ada hubungannya dengan agama. Tidak ada hubungannya dengan halal dan haram. Ia hanya terkait dengan budaya masyarakat setempat. Yakni apakah masyarakat menerima atau tidak. Dan, hingga sekarang budaya masyarakat Saudi -- yang didominasi laki-laki -- belum bisa menerima perempuan menyetir. Mereka beranggapan akan ada dampak buruk bila perempuan boleh menyetir.
‘‘Saya yakin masalah ini hanya terkait dengan budaya masyarakat Saudi. Dan, kita tidak bisa memaksa sesuatu yang mereka tidak menyukainya. Namun, pada masa mendatang akan banyak perubahan. Saya berharap perubahan itu ke arah yang positif,’’ ujar sang pangeran seperti dikutip al Sharq al Awsat.
Pemerintah Arab Saudi sendiri pernah direpotkan oleh para ulama berhaluan keras. Yaitu ketika mimbar masjid dan forum-forum agama dijadikan sebagai ajang agitasi dan provokasi. Ini terjadi sebelum tahun 2000-an, ketika Alqaida dan Pemerintahan Taliban bahu membahu untuk mengusir penjajah Uni Sovyet dari Afghanistan. Juga tatkala Alqaida-Taliban kemudian berbalik menyerang berbagai kepentingan Barat, utamanya Amerika Serikat (AS), setelah mereka berhasil mengusir pasukan Uni Sovyet.
Pada waktu itu para ulama Saudi di berbagai forum dan kesempatan menyerukan kepada masyarakat untuk mendukung dan bahkan bergabung dengan Alqaida. Apalagi Usamah bin Ladin yang merupakan pemimpin dan pendiri Alqaida adalah warga negara Saudi.
Bukan hanya menyerang Barat, para ulama juga mengecam keras hal-hal yang dikatakannya sebagai budaya Barat. Misalnya bernyanyi, bermusik, tuntutan perempuan menyetir mobil, perempuan membuka wajahnya di depan umum, dan seterusnya.
Akibat dari provokasi para ulama itu, ribuan warga Saudi pun bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras seperti Alqaida di Afghanistan. Bahkan para pelaku pemboman Word Trade Center di New York pada 11 September 2001 sebagian besar adalah warga Saudi. Peristiwa yang menewaskan lebih dari 3 ribu orang itu kemudian dikenal sebagai tragedi 9/11.
Kecaman dan kebencian terhadap Barat itu ternyata tidak berhenti meskipun basis-basis Alqaida di Afghanistan sudah dihancurkan habis oleh AS dan sekutunya. Banyak warga Saudi yang terus bergabung dengan kelompok-kelompok radikal di berbagai negara. Kini tercatat tidak kurang dari seribu warga Saudi berbagabung dengan kelompok radikal di Irak dan Suriah.
Para warga yang berideologi aliran keras itu bukan hanya melawan kepentingan Barat, namun juga melabrak pemerintahan Saudi sendiri, yang mereka anggap pro-Barat. Sasaran mereka bukan hanya di luar negeri, tapi juga di dalam negeri Saudi. Serentetan serangan bom ke sejumlah kantor pemerintah dan kantor negara-negara Barat telah mereka lakukan sejak peristiwa 9/11.
Sejak itu Pemerintah Saudi pun mengambil tindakan tegas dan keras terhadap warganya yang terlibat dengan radikalisme dan terorisme, baik langsung maupun tidak langsung. Sejumlah ulama berhaluan keras di-persona-non-grata-kan atau dikucilkan. Mereka tidak lagi diberi panggung. Seluruh imam dan khatib masjid di seluruh negeri harus seirama mendukung program-program pemerintah. Ribuan warga yang dianggap terlibat terorisme ditangkap. Beberapa sudah ada yang dieksekusi.
Di sisi lain, Pemerintah Saudi lebih memberi panggung kepada para ulama berhaluan moderat, seperti imam dan khatib Masjid Quba, Sheikh al Maghamsi. Ini sesuai dengan perubahan kebijakan pemerintah Saudi yang lebih moderat dan toleran sebagai respons terhadap ulama berhaluan keras.
Sebagai terjemahan dari kebijakan itu, mereka antara lain juga membentuk lembaga Dewan Syuro yang sebagian anggotanya adalah perempuan. Berikutnya Saudi juga membentuk Pusat Dialog Antaragama dan budaya di Wina. Lembaga ini didanai oleh Saudi dan bertugas untuk mempromosikan kerukunan, kedamaian, dan saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda. Juga untuk menghalau ideologi radikal.