REPUBLIKA.CO.ID, Wajahnya familiar, saya yakin tak hanya bagi saya, juga masyarakat Indonesia. Di usia yang separo abad, Dewi Yull seolah tak berubah. Rautnya masih ayu seperti dulu. Senyum dan keramahan tak pergi dari dirinya.
Walau namanya tak asing, tapi kami belum lama akrab sebenarnya. Saya masih gadis kecil berusia enam tahun saat menikmati perannya di film Gadis, dan jatuh cinta pada kemampuan aktingnya. Puluhan tahun kemudian baru Allah pertemukan dalam film Jilbab Traveler, Love Sparks in Korea yang insya Allah tayang Lebaran mulai 5 Juli ini, ia berperan sebagai ibunda dari tokoh utama, Rania, yang dimainkan dengan sangat luar biasa oleh Bunga Citra Lestari.
Tapi bukan di hari-hari syuting, yang tentu hiruk piku, kami mengobrol dari hati ke hati. Melainkan melalui sebuah acara talkshow salah satu televisi tanah air. Baik saya maupun Bunda Dewi Yull diminta memaknai syukur.
Selama talkshow yang berlangsung lebih dari satu jam, saya terperangah dengan kisahnya. Takjub dengan kesabarannya. Juga kalimat yang menjadi judul tulisan ini.
Tak ada yang menduga bahwa di tengah dunia artis yang glamor dan dituntut serba sempurna, Allah memberikan karunia istimewa untuk Dewi Yull. Dua ananda yang tuli.
“Anak saya memang minta disebut kaum tuli, dan bukan tuna rungu,” tuturnya dengan senyum merekah. Alasannya karena kata tuna mengacu pada ketidakberdayaan. Sementara dua dari empat anaknya yang tuli, dididik sedemikian hingga tumbuh dan memiliki percaya diri yang besar. Merasa sama dan bisa membanggakan sebagaimana anak-anak lain.
“Benar saya sempat terpukul di awal,” jelasnya lagi.
Betapa tidak, Dewi Yull yang hingga sekarang suaranya memesona banyak orang, kehilangan kesempatan memperdengarkan suaranya pada anak-anaknya sendiri yang tuli.
Tapi sebagai ibu, kemudian ia mengubah kesedihannya menjadi kebanggaan.
“Saya ingin percaya, kan Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Jadi saya ingin percaya bahwa anak-anak ini diberikan Allah karena saya yang terpilih, karena saya kuat.”
Alih-alih menyembunyikan ananda di rumah, Ia memutuskan membawa mereka ke mana pun pergi. Meski tak jarang membuat keriuhan lain, ketika sang bunda bernyanyi, dan anak pertamanya (almarhumah Gizca) yang waktu itu masih kecil justru naik ke atas meja di stasiun televisi dan bernyanyi keras-keras.
Tidak hanya itu, penyanyi bernama asli Raden Ayu Dewi Pujiati ini juga bertekad membuat ikatan hati yang kuat di antara anak-anaknya. Menurutnya, kedua anaknya yang lain pun bisa beroleh sesuatu dari saudara mereka yang tuli.
“Mereka mengajarkan ke saudara-saudaranya yang tidak tuli bahasa isyarat, jadi kami semua bisa berkomunikasi. Dan ada kebanggaan dari yang tuli sebab bisa mengetahui sesuatu yang saudaranya yang normal tidak tahu.”
“Saya juga datang ke sekolah, belajar bahasa isyarat, dan saya harus selangkah lebih maju dari Gizca ketika itu, supaya saya bisa mengajarkan dia.”
Dengan kesabaran dan cinta luar biasa, Dewi mengajarkan anandanya berbicara sebaik mungkin. Perjuangan berat, bahkan hingga berdarah-darah, karena ketika kecil dan kesal sebab tidak mendapatkan yang dijanjikan, sebelum bisa mengulang dengan baik kata yang diminta ibunya, tak jarang mereka melemparka apa saja. “Kadang mereka nimpuk saya, nggak apa, terus saya ajarkan.”
Dari perjuangan seorang ibu, dan kerja sama dengan ayah anak-anak, alhamdulillah, walau tuli mereka bisa berprestasi. Putra ketiga, Surya saat ini sedang di Amerika disponsori pemerintah di sana karena fasih bahasa isyarat dalam ; isyarat Bisindo ( Indonesia); International Sign (Isyarat Internasional ); British Sign (Isyarat Inggris) ; American Sign ( Isyarat Amerika).
“Padahal dulu sempat menangis semalaman, setelah tahu bahwa ternyata putra ketiga itu, juga tuli seperti kakaknya yang pertama.”
Tapi keterpurukan tidak berlangsung lama. Mendadak perempuan ayu ini melihat cahaya. Tersadar bahwa Allah telah memberinya tongkat sebelum dia terjatuh.
“Bukankah saya sekarang lebih siap? Dan ananda yang pertama bisa mengajarkan, sudah ada auto pilot-nya, alhamdulillah.”
Melihatnya berbicara panjang lebar, dengan kebanggaan dan cinta luar biasa, saya disergap haru. Luar biasa perbedaan yang Allah tunjukkan antara hamba-hamba-Nya yang mampu bersyukur, dan yang tidak. Semua peristiwa dan bagaimana pun takdir-Nya, terasa cukup bila diterima dengan rasa syukur. Sementara di luar sana terkadang masih banyak orang tua yang berjuang dengan rasa cukup. Melihat anak-anak mereka yang sempurna, namun mudah mengeluh ketika mereka bandel dan menguji kesabaran, atau tidak berprestasi di sekolah. Padahal kekurangan anak-anak kita bukan apa-apa dibanding amanah yang Allah berikan pada sebagian keluarga yang dikaruniai ananda berkebutuhan khusus.
Bersyukur, agar Allah tambahkan nikmat. Dengan syukur yang lahir dari prasangka baik, seseorang terus meyakini bahwa Allah pasti punya rencana besar di balik semua yang Dia berikan, anugerah yang kadang terlihat belakangan setelah ujian demi ujian dilalui.
Lebih dari setengah Ramadhan telah berlalu, masih ada waktu memperbarui rasa syukur di hati, meski hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Di sisi lain, bagi yang selama ini Allah lenakan dengan begitu banyak nikmat, semoga rasa syukur, percaya bahwa semua milik Allah, pun segenap kebaikan yang dititipkan pada kita: harta, keluarga, popularitas, juga mampu menjadi penjaga agar hati tak mudah disisipi riya dan ujub.