REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan kali ini bersamaan dengan penyelenggaraan Piala Eropa dan Copa America 2016. Dalam sehari semalam bisa ada lima pertandingan yang disiarkan televisi nonstop. Di sela aktivitas Ramadhan, sebagai penggemar sepak bola, saya tentu menyempatkan menonton beberapa pertandingan pilihan.
Ya, sudah lama saya memang penggemar sepak bola. Sebatas sebagai penonton di layar televisi. Bukan pemain di lapangan. Sedangkan olahraga yang saya mainkan adalah tenis meja dan badminton. Itu pun sekadar cari keringat.
Mengapa sepak bola? Ya, inilah permainan kolektif yang jelas semua aturannya. Para politisi mestinya belajar dari sepak bola. Ada pemain, manajer, tim medis, wasit, penonton, organisasi/asosiasi, sponsor, dan bahkan ada pula pengamat. Masing-masing mempunyai tugas dan tunduk pada regulasi yang jelas. Bila ada satu pihak yang melanggar akan disemprit. Bahkan diberi sanksi.
Sementara itu di lapangan, sebelas pemain mempunyai peran masing-masing. Ada penjaga gawang, back, gelandang bertahan, gelandang menyerang, sayap kiri-sayap kanan, penyerang, play maker, dan seterusnya. Semuanya memainkan strategi yang dibuat sang manajer. Semuanya bertujuan memenangkan pertandingan.
Ada kesebelasan yang memenangkan pertandingan dengan elegan nan berseni. Ada yang memenangkan permainan dengan segala cara. Termasuk dengan cara curang sekalipun. Namun, akan selalu ada wasit yang mengawasi. Setiap kecurangan akan disanksi. Dari yang ringan hingga yang berat.
Meskipun sudah dibantu hakim garis, tetap saja ada wasit yang kecolongan. Alias tidak melihat pelanggaran yang dibuat seorang pemain. Di sinilah kemudian muncul istilah ‘tangan Tuhan‘, seperti dilakukan Diego Maradona saat Argentina melawan Inggris pada Piala Dunia 1986. Meskipun pelanggaran itu tidak dilihat wasit, namun kecurangan itu akan terus diingat selama tahun tahun setelahnya. Dan itu, menurut saya, juga termasuk sanksi berat dari masyarakat dunia.
Intinya, sepak bola mengajarkan kepada kita tentang sebuah permainan yang menjunjung tinggi sportivitas dan fair play. Sebuah tim harus menghargai tim lain. Para pemain harus respek pada pemain lawan. Sepak bola juga mengajarkan tentang hakikat hidup. Bahwa untuk menang, sebuah tim harus melalui perjuangan berat, persaingan yang keras, serta seleksi yang ketat.
Namun, sepak bola juga mengajarkan kepada kita tentang adanya ‘dewi fortuna’ alias ‘keberuntungan’ alias ‘nasib baik’. Lihatlah kegagalan tendangan penalti pemain sekelas Sergio Ramos dan Cristiano Ronaldo beberapa hari lalu. Bisa jadi mereka berpikir nasib baik sedang tidak memihak.
Karena itu bisa dimaklumi kalau para pemain sepak bola dikenal sangat dekat dengan Tuhan ketika sedang berada di lapangan hijau. Bahkan termasuk mereka yang ateis sekali pun. Ketika memasuki lapangan terlihat banyak pemain yang berdoa dengan khusuk menurut keyakinan dan agama masing-masing.
Sedangkan para pemain Muslim -- yang terus bertambah jumlahnya --, bisa Anda saksikan bagaimana mereka berdoa. Ketika turun ke lapangan, mereka hadapkan muka ke langit, kedua tangan mereka angkat, dan mulut mereka komat kamit. Bisa jadi mereka sedang melafalkan Al Fatihah atau ayat Kursi atau doa-doa lain. Intinya, agar mereka dapat keberkahan. Hal yang sama ketika mereka akan melakukan tendangan bebas atau penalti. Ketika berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, mereka terlihat melakukan gerakan-gerakan sebagai tanda syukur. Bahkan ada yang langsung bersujud di lapangan.
Sebagai penonton, fanatisme saya terhadap sebuah kesebelasan tentu saja didasarkan pada kemampuan olah bola para pemainnya. Juga siapa para pemain bintangnya. Hanya untuk hal-hal tertentu saya mendukung tim yang ada nama-nama seperti Muhammad, Ibrahim, Umar dan seterusnya.
Untuk Piala Eropa kali ini saya mendukung Tim Jerman. Selain para pemainnnya mempunyai skill tinggi, ada dua nama yang membuat saya jatuh hati: Sami Khadira dan Mesut Ozil. Bukan apa-apa. Kedua orang itu, terutama Ozil, dikabarkan sebagai Muslim yang baik. Bahkan saya pernah melihat di media online foto Ozil ketika melaksanakan ibadah umrah.
Sebelum tersingkir dari 16 besar, saya sebenarnya juga mendukung Tim Turki -- meskipun saya hanya mengenal dua nama: Arda Turan dan Fatih Terim. Turan adalah sang kapten tim dan sekarang main di Klub Barcelona. Sedangkan Terim adalah sang manajer tim dan pernah melatih klub AC Milan. Dukungan saya ke Turki karena saya sudah lama fanatik kepada Presiden Turki Recep Tayib Erdogan. Yang terakhir ini merupakan seorang Muslim moderat yang telah berhasil membawa Turki dari ‘orang sakit di Eropa’ menjadi negara Turki yang modern, maju ekonominya, dan disegani oleh lawan maupun kawan.
Ketika sedang menikmati pertandingan Piala Eropa sekarang ini tiba-tiba muncul di benak saya bagaimana para pesepak bola Muslim itu menjalankan ibadah puasa Ramadhan? Pertandingan ini atas nama negara dan membutuhkan tenaga besar. Namun, apakah semua itu cukup menjadi alasan untuk tidak berpuasa? Jauh hari Ozil menyatakan tidak puasa Ramadhan karena pertandingan ini memerlukan fisik yang bugar. Ia berjanji akan menggantikannya di luar Ramadhan.
Saya tidak tahu apa hubungannya sepak bola dengan agama. Namun, seorang teman saya, beberapa tahun lalu ketika Kesebelasan Arab Saudi lolos ke Piala Dunia, ia langsung mendukungnya. Sebagai bentuk dukungan, ia mengundang teman-teman dan tetangganya untuk membaca surat Yasin di rumahnya agar Tim Saudi ini diberkahi dengan kemenangan. Tentu lengkap dengan makan-makan besar. Ia juga mengirim SMS ke teman-temannya untuk membaca Al Fatihah menjelang Tim Saudi bertanding.
Seorang teman lain yang apatis terhadap dunia persepakbolaan di tanah air tiba-tiba heboh mendukung Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-19. Saat itu, tiga tahun lalu, Timnas ini dilatih Indra Sjafri dan berhasil menjuarai Piala AFF 2013. Mereka pun berhak mengikuti putaran final Piala Asia 2014 U-19 di Myanmar.
Usut punya usut, ternyata si teman ini sangat kagum pada perilaku dan kepribadian anak-anak muda yang tergabung dalam Timnas U-19 itu. Sebelum bertanding mereka ramai-ramai berdoa. Saat berhasil membuat gol di gawang lawan mereka merayakannya dengan sujud syukur di tengah lapangan. Apalagi tim ini juga pernah melaksanakan umrah ramai-ramai.
Lalu, sekali lagi, apa hubungan agama dengan sepak bola? Dalam diskusi kecil-kecilan antarteman pernah muncul pertanyaan, mengapa negara berpenduduk mayoritas Muslim tim bolanya tidak pernah menjuara Piala Dunia? Mengapa mereka selalu kalah dengan tim-tim sepak bola dari Benua Eropa dan Amerika?
Di sini tampaknya berlaku hukum alam. Dalam bahasa agama, rahman atau kasih Allah itu diberikan kepada siapa saja makhluk Allah SWT di muka bumi ini. Yakni, siapa yang bekerja keras dan memakai strategi jitu, maka merekalah yang unggul. Dalam bahasa sepak bola, siapa yang mempunyai skill tinggi, latihan keras, banyak bertanding alias liganya bergulir rutin, dan ditambah bakat alam, pelatih top dan asosiasi atau organisasi bolanya sehat, maka merekalah yang akan merajai persepakbolaan dunia. Sebut saja tim-tim dari Jerman, Spanyol, Prancis, Italia, Argentina, dan Bazil yang bergantian menjuarai Piala Dunia.
Sedangkan doa tentu saja tetap penting bagi para pemain sepak bola. Karena, bagaimana pun persiapannya, permainan sepak bola membutuhkan faktor luck. Faktor keberuntunguan. Agar dewi fortuna memihak kepada mereka diperlukan doa. Dan, bagi para pemain Muslim, saya yakin doa mereka akan mendapatkan sayang (rahim) Allah SWT.