Selasa 28 Jun 2016 06:00 WIB

Jaga Wibawa Presiden

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden suatu negara adalah warga negara nomor satu di negara itu. Mobil resmi yang dipakainya juga dengan plat nomor satu. Apalagi jika dipilih secara langsung dalam sebuah pemilu, perhatian publik terhadap seorang presiden akan menjadi sangat besar. Ucapan, tindakan, dan seluruh kebijakannya pasti akan mendapat perhatian  secara luas. 

Semua jenis media akan mengutip apa pun bunyi pernyataan seorang presiden karena memang hal itu harus diketahui oleh seluruh rakyat. Di sinilah kehati-hatian dan kecermatan ucapan pejabat puncak sangat diperlukan. Oleh sebab itu para pembantu dan stafnya tidak boleh salah memberikan masukan kepadanya, termasuk dalam bentuk angka-angka statistik yang harus akurat.

Presiden Joko Widodo pada minggu-minggu terakhir banyak mendapat sorotan atas pernyataannya, setidaknya dalam dua kasus: perda (peraturan daerah) dan harga daging.  Dikatakan misalnya ada sejumlah 3.143 perda yang harus dibatalkan kementerian dalam negeri karena menghambat investasi untuk kepentingan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan. Jika angka ini akurat, pernyataan itu harus didukung agar daerah-daerah itu tidak mempersulit dirinya untuk maju dan berkembang. Tetapi apakah angka yang masuk kepada presiden memang sejumlah itu, kita belum tahu betul. Ini tentu meresahkan daerah-daerah yang merasa bahwa perdanya tidak dalam kategori itu.

Kita tidak keberatan pembatalan beberapa perda yang jelas-jelas mengganggu pembangunan, karena sejak digulirkannya otonomi daerah secara besar-besaran sebagai buah dari gerakan reformasi telah memunculkan raja-raja lokal sebagai bupati, wali kota, atau pun gubernur. Tetapi hanya segelintir di antara mereka yang punya kemauan dan komptensi untuk membangun daerahnya dengan perencanaan yang matang dan terarah. 

Selebihnya hanya berfikir untuk kepentingan dirinya, bukan untuk rakyatnya, apalagi jika mereka telah banyak berutang kepada penyandang dana ketika pilkada. Akibatnya, berlakulah di sini permainan kongkalingkong yang biadab antara penguasa/calon penguasa dan pengusaha.Laporan tentang kongkalingkong ini sudah umum diketahui karena sudah bersifat masif. Tadi Zuhur (22 Juni 2016) mantan Kajati di suatu provinsi bercerita begini: “Sekitar lima tahun yang lalu saya ditemui seorang calon bupati yang dengan bangga mengenalkan cukongnya yang akan mendanainya sampai Rp 5 miliar  dalam pilkada.

Kajati lalu bertanya, apakah dalam usia calon yang sudah agak tua ini masih berani bertaruh semacam itu? Muka sang cukong jadi merah-padam. Akhirnya calon bupati itu membatalkan niatnya yang penuh risiko itu.” Ini contoh kecil, angka yang mencapai puluhan miliar terjadi di berbagai daerah.

Coba tuan dan puan bayangkan, dari 514 kabupaten/kota, hanya amat sedikit yang sudah melaksanakan prinsip-prinsip apa yang sering disebut good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Di antara prinsip itu adalah: keterbukaan, pertanggungjawaban, pengawasan, profesionalisme, wawasan ke depan, partisipasi masyarakat secara luas dalam kiprah pembangunan, dll.  Butir-butir ini sungguh bagus, tetapi alangkah sulitnya dilaksanakan, kecuali oleh pemangku kepentingan yang punya wawasan ke depan dan punya niat baik untuk membela rakyat. 

Perda-perda yang tidak layak memang harus dibatalkan, tetapi tidak boleh dengan cara sembrono, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak tercedera. Di sinilah fungsi M.A. (Mahkamah Agung) dan M.K. (Mahkamah Konstitusi) mesti terlibat, sesuai dengan wilayah wewenangnya masing-masing.

Isu lain yang juga tidak kurang menggegerkan adalah pernyataan presiden agar harga daging sebelum bulan Ramadhan diturunkan menjadi Rp 80 ribu per kg karena memang harganya sudah sangat meroket pada tingkat sekitar Rp 120 ribu-Rp 130 ribu per kg. Tetapi pernyataan ini mendapat protes luas dari para peternak, juragan sapi, kambing, atau kerbau, karena di pasar harga semurah itu tidak mungkin dilakukan, kecuali mereka mau bangkrut.

Modal dasar mereka mungkin sudah di atas Rp 100 ribu per kg. Jadi, jika mereka dipaksa untuk menjual dagingnya Rp 80 ribu per kg sama saja dengan menggorok leher mereka.

Fakta semacam inilah yang harus dipertimbangkan oleh presiden sebelum membuat pernyataan yang memang menyenangkan para konsumen, tetapi tidak realistik. Ke depan memang harga daging itu tidak boleh dibiarkan menggila seperti sekarang, tetapi buatlah kebijakan harga yang masuk akal sebelum disampaikan kepada publik. Sebab, manakala pernyataan seorang presiden dilecehkan oleh kenyataan di lapangan bisa wibawanya akan tergerus. Karenanya, kehati-hatian dan kecermatan amat diperlukan. 

Para pembantu presiden tidak boleh menyodorkan angka-angka yang tidak masuk akal kepada kepala negara, sekali lagi wibawanya wajib dijaga.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement