Senin 01 Aug 2016 06:00 WIB

KTT Harapan (Liga Arab) Sepi Harapan

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Inilah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para pemimpin negara-negara Arab yang paling sepi. Sepi pesertanya. Sepi negara tuan rumahnya. Sepi pemberitaannya. Dan, tentu saja, sepi pula pengaruh atau efektivitasnya. KTT -- yang dalam bahasa Arab disebut al Qimmah al ‘Arabiyah -- ini baru saja diselenggarakan di Nouakchott, ibukota Mauritania, pekan lalu (25-26 Juli 2016).

Saking sepinya, media-media utama di Timur Tengah hampir-hampir tidak menyebut daftar kepala negara -- presiden dan raja -- yang menghadiri KTT itu. Dan, memang dari 22 negara anggota Liga Arab hanya empat kepala negara yang hadir. Mereka adalah Amir Kuwait Syekh Shabah al Ahmad al Jaber al Sabah, Amir Qatar Syekh Tamim bin Hamad al Tsani, Presiden Sudah Omar al Basher, dan tentu saja tuan rumah Presiden Mauritania Mohammad Ould Abdul Aziz.

Selebihnya hanya diwakili oleh perdana menteri atau setingkat menteri. Dari empat kepala negara tadi pun hanya satu tokoh yang mempunyai peran menonjol dalam percaturan politik di Timur Tengah. Dia adalah Amir Tamim bin Hamad al Tsani.

Amir Tamim dari segi usia memang masih muda, baru 36 tahun. Namun, perannya sangat menonjol di Timur Tengah dan juga tentu saja di kalangan negara-negara Arab. Maklumlah, ia adalah Amir Qatar, sebuah negara kaya raya di kawasan Teluk dan, karena itu, sering menjadi donatur. Keluarganya pemilik Grup Media Aljazirah, yang pengaruhnya mendunia. Dan, jangan lupa, atas pengaruh amir muda itu pula, Qatar telah ditunjuk menjadi tuan rumah perhelatan akbar sepak bola Piala Dunia 2022.

Selain Amir Qatar, tokoh lain yang selama ini punya peran penting di Liga Arab adalah Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz, Raja Yordania Abdullah II bin al Husein, Raja Maroko Mohammad VI, dan Presiden Mesir Abdul Fattah al Sisi. Selebihnya bisa dikata hanyalah ‘pelengkap penderita’.

Tidak disebutkan alasan mengapa sejumlah pemimpin berpengaruh Arab mbolos di KTT tersebut. Aljazirah memperkirakan ketidakhadiran mereka karena alasan keamanan. Ancaman serangan terorisme kini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Baik oleh kelompok-kelompok oposisi di dalam negeri maupun luar negeri.

Apalagi Mauritania, sebagai tuan rumah, berada di kawasan yang pantai dan gurunnya sangat terbuka. Persisnya berada di bagian barat laut Afrika. Posisinya menghadap ke Samudera Atlantik, diapit oleh Sahara Barat di sebelah utara dan Sinegal di selatan. Di pantai dan gurun pasir yang terbuka itulah sering beroperasi kelompok-kelompok teroris, seperti Boko Haram, Tandzim al Daulah al Islamiyah (ISIS), Alqaidah, dan Jamaah al Murabithun.

Mauritania ditunjuk menjadi tuan rumah KTT Arab setelah Maroko menyatakan ketidaksediaannya. Penunjukan ini tentu saja dibarengi dengan janji bantuan dana dari negara-negara kaya Teluk. Maklumlah, Mauritania termasuk salah satu negara paling miskin di lingkungan Liga Arab. Penghasilan per kapita dari penduduk yang berjumlah sekitar 3.5 juta jiwa ini hanya sekitar 1.500 dolar AS. Bandingkan dengan Qatar yang pendapatan per kapitanya mencapai 144 ribu dolar AS per tahun (sekitar Rp 1,5 miliar).

Nama resminya Republik Islam Mauritania. Ia bergabung dengan Liga Arab sejak 1973. Mayoritas penduduknya Muslim Suni. Sejak ditunjuk sebagai tuan rumah KTT ke-27 Liga Arab beberapa bulan lalu, negara ini pun segera berbenah. Persoalannya, di seluruh negeri belum ada hotel atau gedung pertemuan yang memadai untuk menyelenggarakanevent sebesar KTT Arab. KTT setingkat ini pun baru pertama digelar di Mauritania.

Maka, pilihannya adalah membangun tenda-tenda besar di Ibukota Nouakchott. Lengkap dengan penginapan para tamu. Lengkap dengan taman-taman yang dibuat secana instan. Lengkap dengan ribuan pasukan keamanan yang tidak boleh meleng sedikit pun. Pendek kata, perkemahan besar itu disulap jadi tempat pertemuan dan penginapan yang aman dan nyaman. Berikut penyejuk udaranya di tengah panas gurun Afrika.

Hebatnya lagi, tenda-tenda besar itu pun kemudian dijadikan sebagai bagian tak perpisahkan dari KTT. Pertama, untuk mengingatkan kepada para delegasi bahwa kini banyak warga Arab yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Jumlahnya jutaan. Mereka korban koflik di Suriah, Irak, Yaman, Libia, Palestina, dan lainnya. Nasib mereka harus menjadi fokus para delegasi KTT. Kedua, tenda merupakan simbol tradisi kehidupan bangsa Arab.

Dan, untuk menambah kekentalan tradisi Arab ini, ‘diparkirlah’ ratusan unta di samping tenda-tenda megah para delegasi. Bagi orang Arab, unta adalah simbol kekayaan dan kekuasaan. Hampir semua amir di Teluk memiliki //ranch// unta. Setiap tahun unta-unta itu diperlombakan. Unta-unta yang telah memenangkan sejumlah kejuaraan harganya bisa lebih mahal dari mobil Lamborghini atau apartemen mewah.

Presiden Mauritania dikabarkan juga mempunyai puluhan unta di peternakannya di luar Nouakchott. Di negeri ini, orang belum dikatakan kaya bila tidak memelihara unta. Unta-unta Mauritania masih asli keturunan Arab. Keunggulannya, mereka lebih kuat dari unta biasa. Mereka bisa bertahan di panasnya gurun yang tandus selama berbulan-bulan.

Dalam suasana tradisi Arab yang kental seperti itulah ‘Ijtima’ Majlis Jaami’ah al Dual al ‘Arabiyah ‘ala Mustawa al Qimmah fi Dauratihi al ‘Adiyah as Sabi’ah wa al ‘Isyrin’ digelar. Temanya ‘Qimmatu al Amal’ alias pertemuan puncak yang penuh harapan. Maksudnya tentu saja dari KTT ini diharapkan bisa menghasilkan keputusan-keputusan konkret untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mendera bangsa-bangsa Arab.

Namun, banyak pihak yang skeptis terhadap hasil dari KTT ini. Termasuk para aktivis media sosial di berbagai negara Arab yang jumlahnya puluhan ribu. Mereka, seperti dikutip //Aljazeera.net//, justru melihat tidak ada yang bisa diharapkan dari KTT ini.

Dalam pandangan mereka, KTT ini hanyalah pertemuan rutin para pemimpin Arab. Mereka bahkan menilai pidato para pimpinan delegasi bagaikan ‘tong kosong nyaring bunyinya’. ‘‘Tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar,’’ tulis seorang aktivis media sosial mengutip surah al Ghasyiyah ayat 88.

Menurut Yasir Zaatreh (YZaatreh@), KTT kali ini diselenggarakan di tengah kesengsaraan dan keputusasaan bangsa Arab yang tiada taranya. Bila ada keberhasilan dari KTT sekarang ini adalah penyelenggaraan KTT itu sendiri. Selebihnya adalah perpecahan bangsa-bangsa Arab.

Sedangkan Dr Osaman al Asqar (Osama_alashqar@) mengatakan, KTT Arab ditutup seperti biasanya dengan mengeluarkan pernyataan politik yang tidak berubah sejak 50 tahun lalu. Yang berubah hanya tanggal, orang, dan tempat. Atau dengan kata lain, keputusan KTT hanyalah copy paste dari keputusan-keputusan sebelumnya. Hanya ada penambahan, pengurangan, dan sedikit perubahan di sana sini.

Zaatreh dan al Asqar, mengutip Aljazeera.net, hanyalah dua contoh dari puluhan ribuan aktivis media sosial yang skeptis terhadap hasil-hasil KTT Arab kali ini. Nasib bangsa Palestina dan Masjidil Aqsa, misalnya, yang setiap KTT menjadi bahasan utama, termasuk KTT kali ini, hingga sekarang pun tidak berubah. Bahkan kondisinya semakin buruk. Zionis Israel justru makin semena-mena.

Kini, dari KTT ke KTT, persoalan bangsa-bangsa Arab bukannya semakin berkurang, tapi bertambah pelik. Bukan hanya masalah Palestina, tapi juga munculnya kelompok-kelompok teroris seperti ISIS dan Alqaida, konflik di Suriah, Yaman, Libia, dan seterusnya.

Jadi? Saya pun ikut skeptis bin pesimistis. Yaitu keputusan-keputusan ‘KTT Harapan (Qimmah al Amal)’ kali ini benar-benar sepi harapan. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement