REPUBLIKA.CO.ID, Kaget. Itulah reaksi spontan publik terhadap gagasan Mendikbud Muhadjir Effendy tentang apa yang kemudian disebut sebagai full day school (FDS)--karena istilah ini tak muncul dari Muhadjir sendiri. Ide ini kontroversial. Suara yang menolak selalu lebih lantang, apalagi di era netizen. Ada banyak sebab mengapa kontroversi ini menjadi bercitra negatif terhadap Muhadjir.
Pertama, orang masih kaget terhadap pencopotan Anies Baswedan sebagai mendikbud. Bahkan dari sekian banyak menteri yang dicopot, maka yang menjadi trending topic adalah pencopotan Anies. Para penghuni jagat maya umumnya mempermasalahkan pencopotan Anies. Belum lepas dari kekagetan, tiba-tiba disodorkan kekagetan berikutnya.
Kedua, Muhadjir bukan figur sohor sebagaimana Anies sebelum menjadi menteri. Padahal jika kita dalami Muhadjir sudah terbukti sukses menjadi rektor Universitas Muhammadiyah Malang dan juga menjadi ketua PP Muhammadiyah yang membidangi pendidikan--Muhammadiyah adalah satu-satunya ormas paling sukses dalam mengelola lembaga pendidikan. Namun karena belum kenal maka orang pun skeptis--tak kenal maka tak sayang.
Ketiga, cara mengomunikasikan gagasan yang tak disiapkan dengan baik. Tanpa prolog dan tanpa infrastruktur serta persiapan tim komunikasi. Sehingga, diksi, frasa, dan strategi tampak tak terencana dengan baik. Para stakeholder banyak yang terenyak.
Keempat, gagasan ini memang membutuhkan kerja besar untuk bisa mewujudkannya. Kalangan pendidik dan yang mendalami kajian pendidikan umumnya berkata “Yes, but ....” “Oke, tapi butuh persyaratan.”
Tulisan ini tak hendak mengulas seluruh faktor tersebut, tapi hanya menyangkut gagasannya itu sendiri, yakni faktor keempat. Pihak-pihak yang menolak umumnya menyodorkan bahwa Finlandia dan negara-negara Skandinavia hanya memiliki jam belajar di sekolah 4-5 jam per hari atau sekitar 20 jam per pekan. Mereka tak dibebani PR dan sekolah menjadi lingkungan yang menyenangkan. Di Finlandia bahkan tak ada sekolah swasta, semua sekolah negeri.
Dengan jam belajar yang singkat seperti itu, Finlandia justru menduduki ranking nomor satu dalam hal pendidikan. Indonesia harus mencontoh mereka. Anak-anak harus lebih banyak bersama keluarga dan masyarakatnya. Anak-anak harus lebih banyak bermain dan belajar kehidupan sosial. Jika full day school maka anak-anak akan menjadi tertekan, bosan, dan lelah.
Para pengkritik gagasan Muhadjir bahkan menyitir Ki Hadjar Dewantara--peletak dasar dan saka guru pendidikan di Indonesia--bahwa model pendidikan Indonesia tak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolah tapi juga tanggung jawab orang tua, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, lagi-lagi mereka menyitir Anies Baswedan yang justru sedang mengembalikan lagi gagasan Ki Hadjar Dewantara tersebut--paling kentara dengan dibentuknya Direktorat Keayahbundaan dan anjuran orang tua untuk mengantar anaknya ke sekolah.
Lalu, apa yang melatari gagasan Muhadjir? Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa gagasan itu merupakan perwujudan dari Nawacita yang menjadi program Presiden Jokowi. Bahkan ia menyebutkan gagasan itu muncul setelah ia dipanggil Presiden. Dalam Nawacita jelas disebutkan tentang pembangunan karakter bangsa. Ini merupakan kelanjutan dari gagasan Presiden Sukarno tentang nation and character building yang oleh Jokowi disebut sebagai revolusi mental.
Ki Hadjar Dewantara, di hampir semua tulisannya, selalu menyebut pendidikan dan pengajaran budi pekerti, karakter, maupun susila. Untuk ini lihat tulisannya pada 1934 yang berjudul "Pengajaran Adab di Dalam Perguruan" dan tulisannya pada 1954 yang berjudul "Pengajaran Budi Pekerti". Ki Hadjar memang seiring dengan gagasan Bung Karno tentang hal ini. Bahkan, Ki Hadjar sudah sejak dini mengemukakannya, sejak 1922 ketika ia mendirikan Taman Siswa. Ide dasarnya selalu saja ia mengontraskan pendidikan nasional dan pendidikan Barat.
“Sistem sekolah kebaratan itu hampir semata-mata mengutamakan pendidikan intelektual, yaitu pendidikan pikiran ... yang berkuasa dalam jiwa manusia, sedangkan seutuhnya budi manusia terdesak ke belakang (diktator intelek),” tulis Ki Hadjar.
Menurut dia, diktator intelek menimbulkan dua macam tabiat manusia yang berbahaya: egoisme dan materialisme. Terjadi kemunduran hidup batin berupa kemunduran tabiat-tabiat, setia, budi-derma, berkorban, hilangnya kemanusiaan dan cinta sesama. Terjadi kemunduran budi pekerti atau karakter.
Lebih lanjut Ki Hadjar mencatat, sistem sekolah kebaratan dasar pengajarannya masih bersifat “memberi pengetahuan” dan kurang “memberi tuntunan hidup”. Sistem pengajaran barat mementingkan pemberian-pengetahuan di atas pendidikan watak. Inilah yang ia sebut “diktator schoolsystem”, tersesatnya sistem pengajaran.
Karena itu, Ki Hadjar menyatakan, perlu pendidikan karakter. “Pengajaran adab itu bermaksud memberi macam-macam pengajaran, agar seutuhnya jiwa anak terdidik.” Bahkan, ia menyatakan, pendidikan adab harus menjadi pokoknya pendidikan.
Lalu, bagaimana adab diajarkan? Ki Hadjar menolak adanya mata pelajaran adab atau dengan diceramahi karena pengajaran budi pekerti atau karakter adalah hanya menyokong perkembangan kepribadian anak melalui anjuran atau bila perlu perintah.
Untuk itu ada empat tahapan. Pertama, melakukan pembiasaan. Kedua, memberikan pengertian agar menginsyafi dan menyadari terhadap apa yang dilakukannya. Ketiga, melakukan perbuatan dengan sengaja dengan maksud melatih diri. Inilah pokok yang sebenarnya dari pendidikan karakter. Terakhir, keempat, melakukan perbuatan dengan pemahaman yang sebenar-benarnya paham. Inilah metode yang ia sebut ngreti-ngrasa-nglakoni (menyadari, menginsyafi, melakukan).
Lalu mengapa full day school? Ini yang paling banyak tak diungkap dari gagasan Ki Hadjar. Ternyata ia mengusulkan sistem asrama (schoolwoningtype) yang menjadi lawan diktator schoolsystem. Dengan berasrama, maka sistem hidup-keluarga yang tercipta dalam kehidupan asrama dapat mengubah dasar dari schoolsystem.
“Hidup keluarga itu menghadirkan rasa cinta kasih yang amat menyuburkan tumbuhnya karakter,” katanya. Bahkan, ia menyebut sistem asrama itu adalah sistem nasional yang lahir dari rahim budaya dan sejarah bangsa.
Menerapkan sistem asrama tentu tak mudah, karena itu full day school menjadi jalan tengah. Hal ini sudah banyak diterapkan di sekolah-sekolah swasta dan juga sekolah-sekolah di banyak negara maju. Artinya, orang tua rela mengeluarkan uang untuk mendapatkan full day school--yang berarti hanya bisa dinikmati kelas menengah ke atas. Kini, pemerintah yang ingin mewujudkannya.
Memang butuh banyak syarat: fasilitas sekolah, tunjangan guru, operasional sekolah. Selain itu, banyak tantangan mengingat disparitas sosial, kondisi geografis, dan juga kebiasaan masyarakat. Apakah dengan full day school membuat trisentra pendidikan--sekolah, keluarga, pergerakan pemuda--Ki Hadjar Dewantara menjadi terganggu? Sama sekali tidak karena itu dua hal yang berbeda.
Kini terserah Mendikbud, apakah akan mewujudkan gagasannya atau berhenti di tingkat wacana saja.