Jumat 30 Sep 2016 06:00 WIB

Politik di Generasi Medsos

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Gedung DPRD Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dibakar. Ini bukan hal baru sejak reformasi. Namun ada yang membedakan kasus di Gowa dibandingkan dengan pembakaran gedung DPRD atau kantor bupati/walikota lainnya sebelumnya. Pada umumnya pembakaran gedung-gedung tersebut merupakan refleksi konflik antarelite politik, terutama soal pilkada. Kali ini, di Gowa, memiliki dimensi yang berbeda. Ini lebih pada konflik sosial dan budaya. Awalnya adalah lahirnya Perda Penataan Lembaga Adat dan Budaya Daerah. Dalam Perda ini bupati menjadi ketua lembaga adat dan menjalankan fungsi serta kewenangan sebagaimana raja Gowa.

Bupati Gowa adalah Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo. Ia adalah bupati yang sangat muda, kelahiran 1986, atau tepat 30 tahun pada tahun ini. Ia terpilih dalam pilkada serentak pada tahun lalu. Ia adalah putra Ichsan Yasin Limpo, bupati sebelumnya. Ini artinya ia juga keponakan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Masyarakat, terutama keluarga kerajaan Gowa, menolak perda ini. Selain dinilai bertentangan dengan UU Ormas dan Permendagri yang mengatur soal kerajaan, konflik ini memperlihatkan abainya politik dari dimensi sosial dan budaya. Fenomena politik yang makin menjauh dari dimensi sosial dan budaya sedang menjadi gejala akhir-akhir ini. Politik lebih diarahkan pada kekuasaan dan kepentingan ekonomi para shareholder-nya saja, bukan pada seluruh stakeholder. Dengan polesan pelayanan umum (bahkan sebagian besar sama sekali tak memperbaiki layanan umum), seolah politik dengan dimensi ekonomi kroniistik dan klientelistik menjadi sah. Sungguh sangat manipulatif. Ini politik oligarkis yang berjalan beriringan dengan politik plutokratis – politik persekutuan elite dan politik persekutuan saudagar.

Selama tujuh tahun, sejak 2005 hingga 2012, Gerry van Klinken memimpin sebuah riset yang diberi judul Mencari Indonesia Menengah. Riset ini melibatkan 17 peneliti. Sebuah riset yang panjang dan strategis. Yang menarik adalah fokus pada kelas menengah di kota-kota menengah. Salah satu kesimpulannya adalah kelas menengah menikmati demokrasi tapi menggunakan keterampilan politiknya untuk keuntungan dirinya saja, dengan memanfaatkan jaringan klientelistik.

Demokrasi tanpa dimensi sosial dan budaya akan selalu menyimpang dari jalan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Yang terjadi hanyalah demokrasi prosedural dan formal, tapi di dalamnya penuh kecurangan dan kejahatan. Partisipasi politik terjadi, tapi pemerataan ekonomi dan partisipasi sosial menguap. Mengapa ini bisa terjadi? Tentu banyak faktornya yang berdimensi elitis, tapi mari kita lihat dari aspek sosial.

Hasil sensus penduduk pada 2010, usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 27,5 tahun. Tentu belum banyak berubah pada 2016 ini. Struktur demografi penduduk Indonesia masuk kategori muda. Dominasi generasi muda ini membuat perilaku politik sangat ditentukan oleh pemilih muda. Jokowi memanfaatkan kondisi ini dengan baik saat pilpres lalu dengan menggunakan simbol metal untuk kampanyenya. Hal itu dimaksimalkan dengan baik melalui pemilihan Slank sebagai duta kampanye maupun pemanfaatkan media sosial.

Saat ini, penduduk Indonesia didominasi oleh pemilih Gen-X (lahir antara 1965-1981) dan Gen-Y (1982-2003). Sedangkan Generasi Baby Boomers (1944-1964) tak lagi mendominasi. Sedangkan perilaku berinternet dibedakan antara Generasi Digital Immigrant (lahir sebelum 1980) dan Generasi Digital Native (lahir sesudah 1980). Sedangkan riset lain membedakan antara generasi Digitally Born (the real digital native) dan Evolving Digizens (generasi yang tumbuh seiring pertumbuhan media digital). Generasi digital ini bercirikan fun dan free. Mereka juga sadar bahwa semua saling terhubungkan. Namun mereka umumnya lemah fondasi nilai-nilai, bahkan lemah basis intelektual. Mereka paham namun mereka easy going dan permisif. Mereka mengerti namun mereka individualis. Istilah recet dan ribet menjadi alasan yang paling sering keluar untuk menghindar dari berpikir rumit dan filosofis. Gen-Y dan Digital Native inilah yang kini banyak membanjiri media sosial. Sedangkan Gen-X dan Digital Immigrant pada umumnya menjadi mentor, namun mereka tergagap-gagap dan terpontang-panting sendiri dengan sikap fun dan free generasi baru itu sehingga akhirnya mengikuti gaya Gen-Y dan Digital Native.

Bandingkan dengan pola politik di masa sebelumnya yang cenderung dikendalikan Gen-X dan Digital Immigrant. Karena itu saat itu lebih kuat model polling dalam menentukan arah politik, kini kita akan menemukan cyber army sebagai pengendali kehidupan politik. Untuk memenangkan wacana umum dan persepsi publik tak perlu argumen berbusa-busa dengan setumpuk referensi. Tapi cukup dengan serbuan bertubi-tubi di media sosial, plus sumpah serapah dan caci maki. Cukup dengan kalimat-kalimat pendek dan meme yang sederhana namun menohok. Menjatuhkan kredibilitas adalah kata kuncinya. Benar atau tidak menjadi urusan belakang. Walau menyandang nama media, medsos tak memiliki prosedur baku, sering anonim, bahkan akun robot. Di antara para warrior pasukan medsos itu cukuplah ada beberapa figur sohor, yang menjadi tukang gong atau pelontar peluru, agar seolah-olah valid. Pada saat bersamaan, media mainstream yang berada dalam genggaman kaum oligarkis dan plutokratis kadang (atau sering?) tak bisa berbuat apa-apa. Mereka terjerat jejaring kroniisme dan klintelisme untuk berbagi jatah ekonomi.

Bagaimana kejamnya medsos bisa dilihat dari suatu percapakan sebuah cyber army. Awalnya saya tak yakin terhadap beredarnya capture percakapan di sebuah grup whatsapp. Mereka hendak mencermati Anies Baswedan yang akan maju sebagai gubernur DKI Jakarta. Mereka menuding bahwa Tempo akan mendukung Anies, sehingga kredibilitasnya harus diruntuhkan lebih dulu. Capture ini beredar di medsos. Namun kemudian Arif Zulkifli, pemred media tersebut, menanggapinya. Saya pun bertanya, “Capture itu otentik?” Ia mengiyakan. Ia sudah melakukan double checks. Beberapa hari kemudian beredar capture percapakan yang lain. Kali ini menyerang pegiat sosial. Bahkan ini lebih keji karena hendak menghajar anak dan menantunya yang menjadi artis, dengan harapan agar tak laku.

Berpolitik tanpa basis sosial dan budaya sedang menjadi tren saat ini. Apa yang terjadi di Gowa memperlihatkan betapa tak pahamnya tentang keharusan kekokohan sistem sosial dan budaya. Semua ingin direngkuh dalam satu genggaman untuk kekuasaan dan ekonomi. Penggusuran-penggusuran di Jakarta dan reklamasi teluk Jakarta juga terlepas dari akar sosial dan budaya. Yang dilakukan hanya menata kota -- mestinya membangun masyarakat kota. Politik menjadi kehilangan ruh dan dangkal. Harus ada pembalikan. Negeri ini didirikan oleh founding fathers dengan pemikiran yang kokoh dan manjulang, bukan sambil minum kopi di atas balkon.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement