Senin 03 Oct 2016 06:00 WIB

Ketika Perempuan Saudi Menggugat!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Kemajuan teknologi informasi, terutama sosial media, ternyata benar-benar telah memunculkan revolusi sosial di banyak negara. Termasuk di masyarakat Arab Saudi yang selama ini didominasi kaum laki-laki. 

Dulu, sekian tahun lalu, jangan harap perempuan Saudi punya suara yang terkait dengan kebijakan publik. Kini, berkat medsos, mereka bisa menggugat sejumlah kebijakan yang dianggap merugikan atau membelenggu kebebasan mereka. Yang terbaru adalah sebuah petisi yang diluncurkan pekan lalu yang diajukan kepada sang penguasa, Raja Salman bin Abdul Aziz. 

Petisi itu ditandatangani oleh lebih dari 14.700 perempuan. Mereka menuntut untuk diakhirinya sistem perwalian oleh lelaki. Selama ini perempuan Saudi harus mendapatkan persetujuan dari wali laki-laki dalam banyak hal. Misalnya, untuk mendapatkan paspor, perjalanan ke luar negeri, bekerja, sekolah/kuliah, menyewa apartemen, menjalani perawatan di rumah sakit, dan seterusnya. 

Bahkan untuk mendaftarkan tuntutan hukum pun membutuhkan izin dari laki-laki. Dengan sistem seperti ini tak banyak yang bisa dilakukan ketika wali seorang perempuan melakukan kekerasan atau membatasi kebebasan mereka. 

Dalam sistem perwalian itu, wali bisa ayah, saudara laki-laki, atau bahkan kerabat pria mereka. Sedangkan bagi seorang janda, wali itu adalah anak laki-lakinya.  

Beberapa waktu lalu sebuah tagar berbahasa Arab di Twitter ‘Ana Waliyyatu Nafsi’ (saya wali bagi diri sendiri) langsung menjadi viral di media sosial. Aktivis perempuan Aziza al Yousuf, yang memimpin kampanye -- yang dimaksudkan untuk menghapuskan sistem perwalian – itu  mengaku bangga dan sekaligus kaget atas respon para perempuan di negaranya. Kepada BBC, ia mengatakan tidak akan menghentikan gerakan itu hingga penguasa Saudi mengabulkan tuntutan para kaum perempuan di negaranya.

Bagi pengamat sosial dari Saudi, Abdul Rahman al Rasyid, apa yang dicapai kaum perempuan Saudi sekarang ini sudah merupakan kemajuan luar biasa. Dan, lanjut mantan Pemred media al Sharq al Awsat dan Presdir Tevevisi Al ‘Arabiyah ini, kemajuan akan terus berlanjut hingga benar-benar terbentuk apa yang namanya masyarakat madani (civil society), yang ciri-cinya antara lain kesetaraan gender.

Al Rasyid mengakui masalah perempuan Saudi adalah persoalan panjang. Usianya seumur Kerajaan Arab Saudi itu sendiri. Sekitar satu abad lamanya. Setiap periode mempunyai ceritanya sendiri. Diawali dengan terbentuknya sebuah masyarakat yang terdiri dari kelompok Badui, pengangon unta dan kambing, dan para petani, menuju masyarakat madani yang modern. Dalam prosesnya seperti sekarang ini, tradisi lama masih mendominasi. Di rumah, di jalanan, di sekolah atau kampus, di tempat kerja, dan seterusnya. Tradisi lama itu — sebagaimana masyarakat Badui — adalah laki-laki merupakan segalanya. Sedangkan kaum perempuan hanya semacam pelengkap saja.

Kisah panjang perempuan Saudi itu barangkali bisa diperpendek seperti dalam contoh berikut. Perempuan Saudi berkewajiban mempunyai (kartu) identitas baru sekarang ini. Dulu identitas mereka hanya satu baris nebeng identitas sang ayah atau suami. Baru tiga tahun lalu kaum perempuan mempunyai identitas dan merupakan keharusan sejak usia 15 tahun. 

Pada waktu itu, menurut al Rasyid, banyak pihak menentangnya. Bahkan menjadi heboh. Namun, kini hal itu sudah lumrah. Bahkan sekarang ini para janda — baik karena suaminya meninggal maupun cerai — diperbolehkan membuat kartu untuk anak-anak mereka guna didaftarkan ke sekolah atau mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan institusi kesehatan yang menolak melayani para perempuan yang tidak disertai walinya pun kini akan mendapatkan sanksi. Ini tentu berbeda dengan tahun-tahun lalu. 

Dalam tiga tahun terakhir, menurut al Rasyid, telah banyak perubahan yang terkait dengan kehidupan perempuan Saudi. Mereka kini bisa bekerja di bidang-bidang yang dulu dilarang bagi perempuan. Misalnya menjadi pengacara. Di seluruh negeri kini ada sekitar 100 perempuan yang bekerja sebagai pengacara.  Sejumlah 600 lainnya sedang menjalani latihan untuk profesi yang sama.  

Di bidang politik, mereka juga telah diberi kebebasan memilih dan dipilih untuk duduk di Dewan Kota. Begitu pula sudah banyak perempuan yang terpilih menjadi anggota dan pimpinan Dewan Syuro Kerajaan. Berbagai perbaikan yang terkait dengan para perempuan Saudi itu, menurut al Rashid, akan terus berlanjut. Utamanya perjuangan untuk mengubah undang-undang dan peraturan yang memihak kepada perempuan.

Namun, lanjut al Rasyid, yang lebih rumit  justeru bagaimana mengubah sikap dan tradisi masyarakat yang seringkali malah menjadi penghalang bagi pelaksanaan undang-undang dan aturan itu sendiri. Kaum laki-laki yang selama ini dominan dalam kehidupan masyarakat tampaknya belum rela bila dominasi mereka dikurangi. Apalagi dicabut. Juga sikap kontradiksi masyarakat. Di satu sisi mereka mendorong perempuan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Di sisi lain mereka masih alergi bila anak perempuan bekerja.

Jumlah perempuan yang menempuh pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi kini lebih hanyak daripada laki-laki. Sebuah data dari lembaga internasional mengungkapkan kesempatan belajar bagi kaum perempuan di Saudi menempati urutan 82 dari 145 negara di dunia. Namun, peluang kerja mereka hanya menempati urutan 138. 

Menurut al Rasyid, sejumlah hal terkait dengan kehidupan perempuan kini masih harus terus diperjuangkan. Selain melonggarkan sistem perwalian seperti disebutkan dalam petisi di atas, juga hak untuk mewarisi dan memiliki tanah, hak untuk menetapkan usia menimum untuk menikah, hak menuntut perceraian, dan hak cuti kehamilan dan melahirkan. Juga hak untuk menempati posisi akademik dan profesi yang setara dengan laki-laki. Al Rasyid yakin, berbagai tuntutan kaum perempuan Saudi ke depan akan terpenuhi. Termasuk hak untuk menyetir mobil dan kesempatan kerja.

Semua ini perlu saya sampaikan karena apa yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya dan di Saudi secara khusus seringkali menjadi panutan bagi sejumlah kelompok di Indonesia. Dari pemakaian niqab (penutup wajah perempuan), memelihara jenggot meski hanya beberapa gelintir, hingga radikalisme/terorisme dan seterusnya. Padahal, boleh jadi, kehidupan umat Islam Indonesia masih lebih baik daripada  Timur Tengah.  

Berkat Pancasila berikut Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim bisa bersatu-padu serta hidup lebih damai dan harmonis. Umat Islam di Indonesia tampaknya lebih paham untuk menerjemahkan ‘Islam rahmatan lil’alamin’ dalam kehidupan.

Abdul Rahman al Rasyid dan Pangeran Mohammad bin Salman (wakil putra mahkota dan orang ketiga dalam hirarki kekuasaan Saudi) sendiri mengakui apa yang terjadi di negaranya tidak selamanya terkait dengan agama. Tapi, lebih pada tradisi dan budaya masyarakat Saudi yang lebih didominasi laki-laki.

Perempuan menyetir mobil misalnya. Meskipun masih ditentang keras para ulama Saudi, namun menurut Pangeran Mohammad, hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Tidak ada hubungannya dengan halal-haram. Ia hanya terkait dengan budaya masyarakat setempat. Yakni apakah masyarakat menerima atau tidak. Dan, lanjut sang pangeran, hingga sekarang budaya masyarakat Saudi belum bisa menerima perempuan menyetir. Mereka beranggapan akan ada dampak buruk bila perempuan boleh menyetir.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement