Selasa 04 Oct 2016 06:00 WIB

G-30-S PKI 1965

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang patut diingat pada bulan September-Oktober, 51 tahun yang lalu: sebuah tragedi nasional berupa pemberontakan G-30-S PKI 1965. Bahwa bangsa ini harus secara berangsur menghilangkan beban sejarah masa lampau, saya setuju. Sebab, jika tidak demikian, akan sulit bagi kita untuk membangun masa depan dengan mantap dan percaya diri jika kedua kaki kita masih tetap saja terseret oleh kelampauan yang sarat dengan berbagai masalah konflik politik yang berdarah yang nyaris saja memorak-porandakan bangsa dan negara muda ini.

Konflik ini telah terjadi berkali-kali, baik yang berkala nasional maupun lokal, dengan ongkos sosial yang tinggi. G-30-S PKI 1965 termasuk yang mengguncang bangsa dan negara ini secara nasional. Gerakan lain yang memakai Islam, seperti DI/TII juga telah melukai bangsa ini yang pada akhirnya harus ditumpas habis pada 1962 oleh Pemerintah Sukarno dengan dihukum matinya pemimpin puncaknya Sukarmadji Maridjan Kartosuwirjo, teman lamanya saat nyantri di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya tahun 1920-an.

Mengapa Resonansi ini masih mencantumkan PKI, sementara ada pihak yang sudah berupaya keras untuk menghapus nama partai itu? Bagi saya yang mengalami sendiri era yang penuh konflik itu akan menjadi sebuah rekayasa sesat untuk memisahkan PKI dengan Gerakan 30 September 1965 itu. Tidak mungkin seorang DN Aidit sebagai ketua CC PKI bergerak sendirian tanpa sepengetahuan anggota CC yang lain. Anwar Sanusi, anggota CC yang lain, misalnya, pernah mengatakan beberapa bulan sebelum peristiwa itu bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. Tinggal menanti sang bidan untuk menyambut kelahiran bayi yang bakal lahir.

Tafsiran saya bahwa bayi itu tidak lain dari sistem kekuasaan di Indonesia akan sepenuhnya dikendalikan oleh PKI, sebagaimana Muso telah melakukannya di Madiun pada 18 September 1948 dengan mendirikan Republik Soviet di kota itu. Gerakan Muso ini dihadapi dengan tegas oleh Pemerintah Sukarno-Hatta. Dalam tempo kurang dari tiga bulan, Gerakan Muso ini telah berhasil dilumpuhkan, khususnya oleh pasukan Siliwangi yang sengaja didatangkan. Divisi ini memang dikenal sebagai kekuatan yang sangat antikomunis dibandingkan dengan divisi yang lain.

Berbeda dengan G-30-S PKI, Gerakan Muso tidak menyebabkan PKI dibubarkan pemerintah karena memang tidak seluruh aparat partai terlibat. Situasi sejarah pada akhir 1965 dan awal 1966 sungguh berbeda dengan tahun 1948. Jika tahun 1948 Bung Karno mengambil sikap tegas untuk melumpuhkan Gerakan Muso dengan ungkapan: pilih Muso atau pilih Sukarno-Hatta. Pada 1965, Bung Karno dinilai tidak tegas memenuhi tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan. Sikap inilah yang menjadi sebab utama mengapa kemudian kekuasaan Bung Karno diambil alih oleh MPRS untuk selanjutnya diberikan kepada Jenderal Soeharto. Dengan senjata Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan yang kemudian dikukuhkan oleh TAP MPRS.

Orang boleh berdebat panjang tentang G-30-S PKI ini. Tetapi, satu yang sudah pasti: sengaja menghapus jejak PKI dalam tragedi ini sama dengan menipu bangsa ini dengan tujuan politik yang minus kearifan. Adapun tindakan keras aparat kemudian terhadap mereka yang dituduh sebagai pengikut PKI adalah masalah lain yang harus diselesaikan secara adil dan beradab. Masalah ini jangan dibiarkan menggantung terlalu lama. Korbannya cukup banyak. Mereka meminta keadilan.

Untuk sebuah masa depan yang lebih adil, tidak ada jalan lain kecuali perdamaian nasional wajib diwujudkan dalam tempo dekat. Oleh sebab itu, kultur saling memaafkan di antara sesama anak bangsa adalah cara terbaik untuk menjamin keutuhan Indonesia bagi kepentingan generasi yang akan datang. Generasi ini harus terbebas dari beban sejarah akibat kesalahan dan kelalaian nenek moyangnya, kita semua, generasi yang pasti berlalu.

Dengan jalan ini, siapa tahu bangsa dan negara ini akan bertahan lama dengan syarat: konkretisasi sila keadilan sosial harus dirasakan oleh semua warga, tanpa kecuali, tanpa melihat latar belakang agama dan afiliasi politiknya!

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement