Sabtu 15 Oct 2016 06:00 WIB

Pungli, Dulu dan Sekarang

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Papa, itu apa, sih, yang dilempar sopir truk?

Usia saya baru tujuh tahun saat bersama keluarga melakukan perjalanan ke puncak. Tepat di depan  kendaraan kami terdapat beberapa truk angkutan, yang ketika melalui sebuah tikungan sopir-sopirnya tampak  melempar sesuatu ke arah aparat.

Keheranan saya tidak mendapatkan jawaban dari Papa yang tetap tenang menyetir Fiat tuanya. Dari balik jendela, saya terus mengamati. Ternyata yang dilempar para sopir truk tadi adalah uang seribuan yang sudah diremas. Dengan mata kepala sendiri saya melihat sang aparat merapikan uang tersebut dan menyelipkannya ke sepatu. Beberapa melempar uang dalam kotak korek api, atau menyelipkannya dalam bungkus rokok.

Meski kendaraan kami sudah berlalu. Saya yang masih penasaran tetap melihat ke belakang dan menyaksikan kendaraan-kendaraan berat lain melakukan hal serupa, dan sang aparat seperti sebelumnya mengulang seperti sebuah rutinitas, dia merapihkan uang lalu menyelipkannya ke sepatu.

Beberapa tahun kemudian, saat membaca koran, saya menemukan kata baru yang belum pernah saya dengar. Pungli.

Apa itu pungli, Om? tanya saya pada paman yang duduk  berdekatan.

Pungutan Liar katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Menjelang SMP, saya sudah memahami arti pungli.

Ketika SMA dan mulai mengurus dokumen sana sini, termasuk saat menerima bea siswa dari satu institusi, saya bahkan sudah menjadi korban pungli atau donatur pungli.

Sampai hari ini, lebih dari tiga puluh tahun waktu berjalan sejak pertama saya mengenal pungli, sedihnya belum  ada kemajuan berarti.

Aparat yang menerima uang dari pengemudi masih bertebaran.

Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, ada empat praktik pungutan liar (pungli) yang harus segera diatasi. Empat pungli tersebut terjadi pada pelayanan di lembaga pemasyarakatan (lapas), imigrasi, peradilan tilang, dan jasa pembuatan surat izin mengemudi (SIM) di kepolisian.

Bahkan pungli sudah masuk dalam kamus bahasa Indonesia, bukti tambahan betapa 'tradisi' ini lestari dan mengakar dalam budaya masyarakat. Secara iseng, dalam satu workshop penulisan kreatif saya melemparkan pertanyaan kepada peserta, apa singkatan pungli.

Pungli itu pungutan lihai, yang mengambil tidak pernah tertangkap hukum, jawab satu peserta.

Pungli itu pungutan lihat, artinya biar semua orang lihat nggak usah peduli, toh, tidak ada tindakan, komentar yang lain.

Pungli itu, pungutan bully, yang diambil harus ikut tak boleh menolak.

Pungli itu, pungutan lintah karena yang mengambil menghisap uang orang lain.

Pungli itu pungutan limit, karena yang diambil terbatas.

Pungutan liliput, karena yang diambil sedikit

Ungkapan terakhir cukup mengusik. Ya, uang pungli memang kecil. Tapi hasil riset yang dilakukan UGM bekerja sama dengan USAID sungguh mengagetkan. Angka pungli di Indonesia setiap tahun mencapai 3 triliun rupiah.

Uang ribuan yang dilempar, uang puluhan ribu yang diselipkan di bawah koran, uang ratusan ribu yang taruh di bawah meja, setelah ditotal jumlahnya membengkak hingga 3 triliun rupiah.

Angka yang luar bisa.

Jika rumah murah yang dicanangkan pemerintah nilainya Rp 80 juta rupiah, maka Rp 3 triliun cukup untuk membangun 375 ribu rumah. Jika  yang dibangun rumah instan yang harganya sekitar 50 jutaan, maka dana tersebut cukup untuk mengadakan 60 ribu rumah.

Jika saat ini banyak anak sekolah yang terpaksa berjalan di atas seutas tali karena tidak ada jembatan atau terpaksa menjinjing sepatu melewati sungai, maka uang Rp 3 triliun itu cukup untuk membangun puluhan ribu jembatan di daerah tertinggal.

Saat ini, Inggris mempunyai rencana membangun jembatan pejalan kaki termahal di dunia. Jembatan bernama Green Bridge akan membentang menyeberangi sungai Thames dan berfungsi sebagai taman kota. Akan ada pepohonan dan taman di atas jembatan tersebut. Rencana pembuatan jembatan ini sempat menuai kontroversi karena terlalu mahal, diperlukan waktu tahunan hingga akhirnya jembatan yang akan menjadi ikon baru ini disetujui pembangunannya. Butuh 4 tahun ke depan untuk melihat jembatan ini jadi. Berapa biaya pembuatannya? Seratus tujuh puluh lima juta poundsterling atau tiga triliun rupiah.

Betapa banyak jembatan yang bisa dibangun dengan uang pungli di tanah air setiap tahunnya.

Syukurlah, setelah puluhan tahun pungli mengakar, akhirnya ada harapan. Pemerintah memutuskan bertindak. Tim Operasi Pemberantasan Pungutan Liar (OPP) atau "Saber Pungli" atau "Sapu Bersih Pungutan Liar" akan melakukan tindakan tegas untuk menghapuskan pungli. Kebijakan yang saya kira dinanti tak hanya saya juga rakyat Indonesia. Semoga terkawal dan terwujud, hingga kata pungli bisa dibuang dari kamus tradisi masyarakat Indonesia.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement