REPUBLIKA.CO.ID, Ustadz Ali Fauzi yang menyebut dirinya sebagai mantan teroris, pada 6 Nop. 2016 menulis SMS kepada saya: “Salam ayahanda…mohon ijin jika ada peluang mantan-mantan teroris bisa dapat beasiswa mohon mereka diberi kesempatan biar program deradikalisasi bisa tepat sesuai harapan. Suwun.” Ali Fauzi adalah adik kandung alm. Amrozi dan alm Ali Gufron yang dulu terlibat dalam bom Bali pada 12 Oktober 2002. Ali Fauzi pernah mengatakan kepada saya bahwa dialah yang mengajar DR Azahari Husin (tertembak di Batu, Malang, pada 9 Nop. 2005) tentang agama, saat masih bersama-sama dengan kelompok ini. Dengan demikian Ustadz Ali Fauzi ini bukan orang sembarangan di dunia terorisme sebelum sadar akan kekeliruannya.
Dalam SMS berikutnya, Ali Fauzi menyebut ada sekitar 1.090 mantan teroris itu, dan baru dia yang sudah beroleh beasiswa. Sisanya sungguh berharap akan mendapatkan biaya untuk bisa belajar lanjut. Menurut hemat saya, permohonan semacam ini patut dicarikan jalan ke luar oleh negara dan masyarakat umumnya. Beberapa tahun yang lalu, saya dan teman-teman sudah berupaya agar mantan teroris dan keluarganya disantuni, tetapi belum menampakkan hasil yang berarti, karena tipisnya perhatian negara terhadap warganya dalam kategori ini.
Sekarang suasananya lebih baik dan cair saat BNPT dipimpin oleh Komjen Suhardi Alius. SMS Ali Fauzi saya langsungkan kepada jenderal ini. Jawaban via SMS tertanggal 6 Nop. dalam format bahasa Indonesia yang telah diedit adalah: “Itu yang akan kami kerjakan buya…bisa disampaikan ke Ali Fauzi buya…bahwa awak sedang jalin kerjasama dengan Mensos, Mendikbud, Menristek Dikti, dan lain-lain. Antara lain untuk beasiswa dan anak asuh untuk keluarga mantan teroris…do’akan berhasil ya buya…” Ini namanya gayung sudah bersambut dari tokoh yang dipercaya negara untuk menangani masalah terorisme yang skalanya sudah mendunia.
Jawaban Kepala BNPT yang memberi harapan ini sudah saya sampaikan kepada Ali Fauzi, dan tentu telah pula disebarkan kepada para mantan teroris yang jumlahnya tidak kecil itu. Jumlah kelompok garis keras akan terus bertambah dengan kepulangan mereka yang pernah bertempur di Irak dan Suria. Kita tidak tahu bagaimana pula suasana mental mereka, apakah masih tetap sebagai perpanjangan tangan ISIS atau sudah mulai sadar.
Sungguh berat memberi kesadaran kepada kelompok garis keras ini, karena di otak mereka terhunjam sebuah keyakinan: iman yang benar hanyalah milik mereka saja. Selain mereka adalah Muslim-Muslim palsu yang halal darahnya. Perang saudara di Iraq dan Suria diperparah oleh anutan teologi maut dan sesat ini. Ternyata menurut penelitian DR. Usamah Sayyid al-Azhary, dosen Universitas Al Azhar, Kairo, dalam bukunya Islam Radikal, terjemahan. M. Hidayatulloh (2015), sumber teologis ISIS banyak diambil dari Fî Dhilâl al-Qur’ân, tafsir karya Sayyid Qutb, tokoh Ikhwan yang digantung Gamal Abd. Nasser tahun 1954.
Tafsir ini banyak juga pembacanya di Indonesia, tetapi jarang di antara kita yang pernah sempat menelusuri pandangan Qutb dalam menafsirkan ayat yang artinya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir” (al-Mâidah: 44). Bagi Qutb, dari ayat inilah muncul konsep hâkimiyah (kewenangan). Kita kutip: “Sesungguhnya manusia itu hanya dianggap muslim ketika mereka menyempurnakan mata rantai keislaman. Yaitu, menggabungkan keimanan dengan tauhid hâkimiyah. Dan menolak untuk mengakui hukum, undang-undang, peraturan, norma, atau tradisi yang tidak bersumber dari Allah. Nah, hanya yang demikian ini sajalah yang disebut Islam itu.” (Hlm. 56).
Komentar Usamah adalah sebagai berikut: “…Sayyid Qutb menjadikan hâkimiyah tidak terpisah dari akidah. Dan menjadi keluar darinya sama halnya dengan keluar dari agama. Hal ini menyebabkannya menghukumi mayoritas umat Islam telah kafir, bahkan menyamakan mereka dengan para penyembah berhala…” (Hlm. 59). Dari sinilah kemudian muncul konsep takfîrî (pengafiran) yang menjamur di kalangan kelompok garis keras. Maka tidak heran jika ISIS biasa membunuh siapa saja yang tidak mengikuti faham teologisnya yang sesat dan ganjil itu.
Ungkapan lain yang sangat dominan dalam benak Qutb adalah kata ‘jahiliah’ yang menurut hitungan Usamah terdapat sebanyak 1740 dalam Fî Dzilâl (hlm. 52). Bagi Qutb, semua masyarakat adalah jahiliah dan kafir (ibid.). Pendek kata, buku Usamah yang membedah pemikiran Qutb perlu dibaca oleh publik secara luas, sehingga tafsir Fî Dzilâl harus disikapi dengan ekstra hati-hati, karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan, sebagaimana tercermin dalam tindakan ISIS yang serba brutal dan biadab. Maka untuk menyadarkan para teroris, kita perlu mengetahui sumber teologinya.
Akhirnya, para mantan teroris Indonesia memang sangat perlu diperhatikan, khususnya di bidang pendidikan dan ekonomi.