REPUBLIKA.CO.ID, GNPF sudah mengumumkan, mereka akan tetap melakukan aksi lanjutan. Status tersangka yang sudah diterakan ke Ahok tak membuat mereka berhenti. Ada nada ketidakpercayaan pada kesungguhan aparat dalam menegakkan keadilan.
Pada sisi lain, Ahok tak berhenti menghamburkan pernyataannya yang agresif. Kali ini ia menuduh peserta aksi 411 dibayar Rp 500 ribu per orang. Ia juga mengecilkan aksi kemarin hanya diikuti 100 ribu orang saja.
Mereka sudah mencanangkan bahwa aksi berikutnya akan dilakukan pada 2 Desember alias 212. Apakah aksi nanti akan sebesar atau lebih besar daripada aksi 411? Atau aksi nanti justru lebih kecil daripada aksi sebelumnya? Atau bahkan aksi nanti tak terjadi sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak penting benar. Yang lebih penting memaknai aksi-aksi tersebut agar kita sebagai bangsa tak terantuk karena salah diagnosa.
Hadirnya aksi-aksi lain dengan propaganda aksi 411 sebagai anti- Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti -NKRI menunjukkan miskinnya penghayatan politik kenegaraan dan kenegarawanan.
Pada 1 Juni 1945, Sukarno menyampaikan Pancasila sebagai philosofische grondslag, dasar falsafah negara. Salah satu silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. "Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!" katanya.
"Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."
Saat memberikan kursus tentang Pancasila, 16 Juni 1958, Sukarno bertanya mengapa jumlahnya lima dan bukan dasasila, bukan catursila, bukan trisila, atau bukan saptasila.
Sukarno menjawab, untuk mencari dasar statis (dasar pijakan) dan leitstar dinamis (petunjuk arah) maka harus menggali sedalam-dalamnya dari jiwa masyarakat Indonesia itu sendiri, bukan yang tak ada dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Dengan demikian dasar-dasar itu bisa menimbulkan panggilan (appeal) kepada jiwa bangsa Indonesia, yang bisa menggerakkan, yang memompakan kemauan berkorban, yang menggelembungkan tekad, dan yang mendorong kemauan untuk berjuang.
Berdasarkan penggaliannya itu ia menemukan lima sila, salah satunya sila Ketuhanan. Sehingga wajar saja jika kini ada sentilan terhadap aspek Ketuhanan menimbulkan reaksi yang hebat.Harus diakui orde reformasi adalah orde tanpa gagasan yang solid.
Setiap orang bergerak menurut pikirannya sendiri. Dimulai dengan mendekonstruksi UUD 1945. Setelah itu Pancasila dikembalikan di rak. Mirip ketika setelah proklamasi orang tak pernah membicarakan lagi tentang Pancasila.
Harus diakui Pancasila baru sebatas doktrin dan gagasan sehingga belum menjadi ajaran praksis. Karena itu kemudian Sukarno mengadakan kursus Pancasila dan kemudian mewujudkannya dalam Demokrasi Terpimpin, struktur lembaga negara yang baru, tujuh bahan pokok indoktrinasi, dan konsep Pembangunan Semesta Berencana.
Sukarno sedang menerjemahkan Pancasila sebagai ideologi praksis. Menurut Sukarno ideologi itu harus memiliki tiga unsur: gambaran cita-cita ke depan, kemauan untuk mencapainya, dan kemampuan untuk melaksanakannya.Namun negara Nasakom itu runtuh.
Soeharto kemudian membuat rumusan baru tentang praksis Pancasila. Ia melahirkan Eka Prasetya Panca Karsa atau P4, GBHN, dan kelembagaan negara yang merupakan pembaruan dari masa Sukarno.
Kini, di era reformasi, Pancasila hanya menjadi jargon dan ideologi pemersatu, bahkan diselewengkan sebagai alat pemukul lawan. Tak ada upaya menjadikan Pancasila sebagai ajaran praksis.
Karena itu arah pembangunan dilakukan sesuai selera penguasa, dan dalam praktiknya dikendalikan segelintir atau puluhan saja pemilik uang. Kita telah melalui fase oligarkis selama 10 tahun dan kini masuk fase plutokratis, keduanya jelas tak sesuai ajaran Pancasila.
Kini reformasi telah berjalan 18 tahun. Indonesia belum beranjak ke mana-mana. Kita masih tetap sebagai negara penjual sumber daya alam, menjadi negara pedagang. Kita hanya dininabobokan besaran GDP, nilai APBN, dan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Semua itu semu. Kelembagaan kita lemah, industri kita tidak ada, kualitas sumber daya manusia belum kompetitif. Jika rezim sebelumnya sibuk dagang tambang mineral, maka rezim saat ini sibuk membangun infrastruktur.
Dan sekarang politik menjadi panas hanya karena megaproyek reklamasi, yang sama sekali tak terkait dengan aspek penguatan kelembagaan, industri, sumber daya manusia, apalagi pemerataan ekonomi.
Selebihnya kita tetap menjadi pasar, buruh murah, dan eksploitasi sumberdaya alam.Sistem reformasi sedang menuju ke titik gagal. Generasi baru yang datang menyembul mulai gelisah tentang ruang partisipasi di segala hal dan jurang kaya-miskin yang makin lebar.
Generasi datang dan pergi adalah siklus normal. Sistem yang baik akan mampu mengikuti ritme itu. Yang menjadi masalah adalah manakala perubahan demografi tidak bisa diserap oleh sistem. Pada titik inilah kita harus memaknai aksi 411.
Mari kita lihat pembabakan sejarah kita. Belanda memulai politik etis pada 1901, pribumi mulai lebih leluasa sekolah walau hanya untuk anak bangsawan dan pegawai pemerintah kolonial serta untuk orang Timur Asing dan yang beragama Kristen.
Itupun langsung menghasilkan lahirnya organisasi-organisasi kebangsaan. Pada 1920-an pergerakan kebangsaan memasuki musim semi dengan puncaknya adalah Sumpah Pemuda. M Yamin dan Soegondo yang menjadi tokoh sentral adalah kelahiran 1902 dan 1905.
Mereka benar-benar buah Politik Etis. Generasi inilah yang menjadi pemetik buah kemerdekaan. Sukarno lahir 1901 dan M Hatta lahir 1902. Pada 1966 lahir Orde Baru. Tokoh utamanya adalah Soeharto, kelahiran 1921.
Ada dua tokoh lain yang menjadi mitra triumvirate-nya dan satu pemimpin teknokrat, yaitu Adam Malik (1917) dan Widjojo Nitisastro (1927). Mereka adalah generasi yang lahir di musim semi pergerakan nasional. Hanya Sultan HB IX yang paling tua, lahir tahun 1912.
Di masa akhir Orba ada tiga peristiwa penting, yaitu pada 1990 lahir ICMI dan Fordem serta pada 1993 Megawati menjadi ketua umum PDI. Tokoh-tokoh ICMI adalah Amien Rais (lahir 1947), Dawam Raharjo (1942), Nurcholish Madjid (1939), Adi Sasono (1949), BJ Habibie (1936).
Sedangkan tokoh Fordem adalah Abdurrahman Wahid (1940), Marsillam Simanjuntak (1943), Bondan Gunawan (1948). Megawati sendiri kelahiran 1947. Mereka adalah generasi yang dibesarkan setelah kemerdekaan.
Tiga peristiwa itu merupakan musim semi bagi berbuahnya reformasi. Mereka inilah yang berada di puncak era reformasi.Kini, tokoh-tokoh GNPF kelahiran tahun 1960-an. Bachtiar Nasir kelahiran 1967, M Zaitun Rasmin (1966), Habib Rizieq Syihab (1965), Munarman (1968).
Penyebutan empat orang ini bukan hendak mengagulkan mereka atau berlebihan menilai GNPF, tapi sedang memperlihatkan munculnya generasi 1960-an yang bersekolah di masa Orde Baru. Jika sistem yang ada saat ini tak mampu menampung perubahan demografi maka generasi 1960-an ini akan datang mendesak.
Generasi Sukarno kelahiran 1900-an, generasi Soeharto kelahiran 1920-an, generasi Amien Rais kelahiran 1940-an, dan kini generasi 1960-an. Ada rentang 20-an tahun. Generasi 1960an kemudian menjadi aktivis mahasiswa 1980-an, yang kini limbung tergulung aktivis 1990-an.
Apakah aktivis 1980-an ini akan bangkit atau justru tenggelam bersama sejarah. Orang-orang yang gelisah dengan kesenjangan, kedaulatan, ketahanan nasional, pemerataan ekonomi, dan keadilan hanya masalah waktu saja untuk semburat.
Mereka akan menafsir kembali Pancasila dan UUD 1945 agar relevan dengan tuntutan kebangsan terkini. Jika GNPF datang dengan corak agama sebagaimana ICMI, maka berikutnya bisa muncul gerakan dengan corak seperti Fordem terutama dari sayap progresif.
Atau justru generasi santri akan mampu mentransformasikan diri dalam merumuskan gagasan dengan tema yang melampaui ide-ide tradisionalnya walau tak meninggalkan basis sosial dan kulturalnya. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai tampak.
Arus sejarah ini tak bisa ditakut-takuti oleh 'tim hore' atau alat-alat negara. Pimpinan TNI terlihat memahami situasi ini, sedangkan Polri tampak bingung.