REPUBLIKA.CO.ID, Suatu ketika pada Jumat pagi. “Tukang sayur tidak ada yang jualan!” Begitu informasi yang saya dengar dari mbak di rumah.
“Sudah nyari sampai ke ujung jalan, tidak ada yang jualan,” katanya lagi.
Setelah dicari tahu, konon kabarnya mereka ikut Aksi Damai 212.
Semalam sebelumnya sepanjang Jalan Raya Bogor juga macet.
Banyak warga berhamburan di tepi jalan. Tidak ada kecelakaan yang menjadi bahan tontonan, tidak ada penertiban PKL atau peristiwa yang luar biasa.
Lalu apa?
Mereka menunggu rombongan pejalan kaki peserta aksi yang berasal dari Bogor atau Depok.
Aksi berjalan para mujahid dari Ciamis yang sebelumnya ditolak ketika menyewa bus ke Jakarta menginspirasi pejuang lain dari Bogor, Bandung, Depok, dan lain-lain.
Ternyata ratusan orang, mungkin ribuan orang, berkumpul bukan untuk menonton. Masing-masing membawa bekal makanan yang ingin diberikan kepada para pejalan kaki peserta Aksi 212.
Mereka membawa air mineral gelas dalam satu kardus. Ada yang membawa nasi bungkus, juga minuman kemasan lainnya. Di antara mereka tampak anak-anak yang terlihat tak sabar untuk menyerahkan gelas air mineral di tangan mereka kepada musafir pejuang keadilan.
Sebagian besar wanita yang menunggu di pinggir jalan bahkan tidak berjilbab, hanya mengenakan daster sederhana dengan sabar menunggu rombongan melewati mereka.
Dari pakaian yang dikenakan, dari gang-gang sempit tempat mereka keluar, dari sandal jepit lusuh yang mereka pakai, dari rumah reyot yang ditinggali, terlihat jelas mereka dari kelas ekonomi bawah, yang ingin memberi andil walau hanya sekadar memberi air.
Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.
Ini jelas bukan pemandangan orang-orang yang dibayar untuk melakukan demonstrasi. Ini jelas perjuangan dari hati. Menyentuh mereka yang hidup amat sederhana, bahkan terbilang kekurangan, turut tergerak mengambil peran, menyisihkan sedikit yang mereka punya untuk perjuangan ini.
Menyaksikan pemandangan malam itu, saya terbayang film //Janur Kuning//. Ketika barisan pejuang berjalan lalu di kanan dan kiri penduduk berhamburan memberi apa saja yang mereka miliki untuk menunjukkan dukungan pada perjuangan. Saya sudah melihatnya di media sosial, tapi menemukannya langsung di depan mata sungguh peristiwa luar biasa.
Atmosfer yang membuat kita bangga sebagai umat Islam.
Saya juga teringat peristiwa Hijrah atau Long March 4 Februari 1949. Saat itu Perjanjian Renville yang disepakati RI mewajibkan tentara dan laskar harus keluar dari Jawa Barat yang disepakati sebagai wilayah Belanda. Divisi Siliwangi dan laskar-laskar harus pindah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogya dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, rakyat memberi makanan, menyambut, dan memenuhi segala kebutuhan mereka.
Entah mengapa dalam imajinasi saya juga terlintas salah satu peristiwa dalam Perang Yarmuk. Saat seorang mujahid sekarat yang kehausan dan minta air, tapi kemudian menolak minum ketika ditawarkan pejuang lain yang masih bugar karena mendengar di sebelahnya ada mujahid yang lebih kehausan. Pejuang kedua juga menolak karena mengetahui di sampingnya ada mujahid lain yang menurutnya lebih kehausan. Ketika akhirnya air sampai ke orang ketiga, ia sudah syahid. Kembali ke orang kedua juga syahid, kembali ke orang pertama juga syahid. Ketiganya syahid.
Mungkin nuansa kepedulian sesama Muslim mendukung Aksi 212 ini mengingatkan saya akan peristiwa di Perang Yarmuk. Betapa sesama Muslim saling mengutamakan saudaranya.
Rasanya tidak berlebihan juga jika akhirnya saya teringat peristiwa hijrah Rasulullah. Betapa masyarakat Madinah menyambut kedatangan Rasulullah yang menempuh perjalanan jauh demi menjaga keimanan, demi menegakkan keadilan.
Jumat pagi hari. Melihat begitu besarnya massa di sekeliling Monas, saya teringat pelajaran sejarah.
Peristiwa rapat raksasa IKADA 19 September 1945. Pertemuan terbesar pertama setelah Indonesia merdeka. Pertemuan yang mengabarkan Indonesia sudah merdeka secara langsung ke masyarakat. Saat itu tentara Jepang yang sebenarnya sudah menyerah kepada sekutu masih menjaga kerumunan massa.
Dan lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) sekarang dikenal sebagai Monas yang menjadi pusat acara.
Aksi Damai 212 mengingatkan pada banyak peristiwa. Rangkaian momentum yang mencetak sejarah dan memberi kontribusi besar pada keadilan dan kebenaran
Kini aksi ini sendiri menjadi sebuah peristiwa sejarah.
Dan semoga saja aksi ini juga tercatat dalam sejarah sebagai tonggak baru dalam penegakan keadilan dan kebenaran. Semoga Allah senantiasa menjaga, ukhuwah semakin erat menunjukkan kita bisa bicara, membela Islam, dengan semangat perdamaian yang menebar kesejukan, tanpa kekerasan perlu menjadi warna.