Selasa 06 Dec 2016 06:00 WIB

DIM, Apa Kabar?

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam rangka seminar “Perkembangan Novel Indonesia Mutakhir Era Reformasi,” diselenggarakan oleh AJ ( Akademi Jakarta) pada 24 Nop. 2016, sambil lalu saya sempat menyinggung gagasan DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) kepada Prof DR Taufik Abdullah, sejarawan kenamaan asal Ranah Minang. Agak sedikit geli Bung Taufik memberikan tanggapan yang negatif, untuk apa itu? Tetapi karena salah seorang penggagas utamanya adalah sosiolog Prof. DR. Mochtar Naim,  Bung Taufik tampaknya lebih menahan diri untuk tidak berkomentar lebih jauh, demi menjaga persahabatan. Saya sendiri juga banyak menyimpan pertanyaan tentang gagasan primordial itu, sebagaimana halnya Azmi Dt. Bagindo, sekretaris umum LAKM (Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau) dalam suratnya tertanggal 22 Jan. 2016 yang ditujukan kepada Mochtar Naim dan lain-lain.

Dalam bahasa Minang yang santun Bung Azmi menulis: “Selanjuiknyo ambo menyarankan, sebaiknyo janganlah kito terlalu capek maambiak keputusan.” (Selanjutnya saya sarankan, sebaiknya janganlah kita terlalu cepat mengambil keputusan). Azmi meneruskan suratnya: “Mungkin kito semua menyadari bahwa di ranah Minang atau di Sumbar pada saat ini, sagalo kabeklah lungga, sagalo pasaklah guyah, kok pamatanglah mulai abih, kok garihlah mulai kabua, malah pak Mochtar Naim sendiri pernah mangatokan semuanya sudah berada pada ‘Titik Nadir.’”(Mungkin kita semua menyadari bahwa di ranah Minang atau di Sumbar pada saat ini, segala ikatan telah longgar, segala pasak sudah goyah, jika pematang mulai habis, kalau garis sudah mulai kabur, malah pak Mochtar Naim sendiri pernah mengatakan semuanya sudah berada pada “Titik Nadir”).

Dalam bacaan saya, baik warga Minang yang ada di Ranah Minang, mau pun yang tinggal di rantau, tentu sepakat bahwa Minangkabau sekarang dari sisi mana pun diteropong sudah menjadi bagian dari kultur Indonesia yang kumuh dan suka menerabas. Menurut pengamatan alm. A.A. Navis, sastrawan Indonesia yang setia menetap di Ranah, orang Minang dulu tidak begitu hirau dengan kekuasaan dan kedudukan formal. Sangat kontras dengan mentalitas si Minang sekarang, jika perlu kekuasaan itu diburu sampai ke ujung dunia dan dengan segala cara. Maka slogan ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah) yang serba idealis itu kini sedang mengapung di awan tinggi, dalam realitas kultur Minang kontemporer sudah goyah dan longgar. Semua penyakit sosial yang merebak di Indonesia, tidak sukar mencari padanannya di Ranah.

Kita sepakat dengan meluasnya fenomena yang mencemaskan dan merisaukan ini di Ranah, tidak saja di kawasan perkotaan, tetapi sudah jauh menyusup ke pedesaan. Baru-baru tersiar berita secara luas bahwa telah ditangkap ketua DPRD karena selingkuh, ketua pengadilan agama (perempuan) yang juga melakukan perbuatan serupa. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah dengan mengganti nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi DIM, keadaan Minang akan menjadi lebih baik sebagaimana dibayangkan oleh para penggagasnya? Saya sangat meragukan. Karena masalah utamanya bukan terletak pada nama, tetapi sepenuhnya berkaitan dengan kualitas manusia Minang sekarang, terutama pejabat formalnya yang sudah kehilangan cita-cita mulia, sirnanya perasaan malu, dan tipisnya rasa tanggung jawab untuk membangun Sumatera Barat secara benar, cerdas, dan tulus. Nilai-nilai inilah yang sudah semakin merapuh dari hari ke hari.

Orang Minang mesti merasa “iri” dengan para idealis pendahulunya. Sebutlah misalnya H.A. Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Hamka, dan sederetan nama besar lainnya. Idealisme mereka ini bertahan sampai ke ujung kariernya selama hidup di dunia.  Kekuasaan bagi kaum idealis ini adalah  sepenuhnya berupa pengabdian untuk pembelaan terhadap rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan. Yang banyak muncul sekarang adalah idealis musiman, tergantung kepentingan dan suasana sesaat. Semuanya dapat ditransaksikan tanpa rasa dosa. Maka sekali lagi slogan ABS-SBK sudah lama tidak berfungsi dalam kehidupan kolektif orang Minang. Semuanya telah berubah ke arah kutup yang menyesakkan napas.

Untuk ke depan, mungkin akan lebih bijak dan realistik kita menyiapkan kepemimpinan Minang (tingkat I dan Tingkat II dan tingkat di bawahnya) dengan kualitas tinggi, berwawasaan kebangsaan yang tajam, dan siap membawa slogan ABS-SBK turun ke bumi kenyataan. Kultur Ranah dan kultur rantau perlu disinergikan.  Sekadar mengubah nama, rasanya bukanlah penyelesaian, bahkan bisa mempertinggi tempat jatuh. Potensi bagi tampilnya pemimpin idealis pasti masih tersedia, di Ranah mau pun di rantau.

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement