Jumat 23 Dec 2016 06:00 WIB

Keharusan Persistensi Ideologis (‘Revolusi’ Putih 6)

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Perjuangan bukanlah soal kalah atau menang. Tapi konsistensi pada nilai-nilai yang diperjuangkan. Nanti zaman yang akan menghampiri mengantarkan kemenangan.

Salah satu kritik terhadap partai-partai atau ormas-ormas Islam dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah kegagalan melahirkan kader-kader yang berkualitas. Kritik itu layak dikemukakan. Bukan hanya ditujukan kepada politisi dan aktivis, tapi kepada semua stakeholder umat, terutama tokoh dan intelektual muslim. Karena ini sebetulnya bukan soal ketiadaan, tapi karena kandidatnya tidak terwadahi. Dengan demikian mereka menjadi penumpang di wadah milik pihak lain. Atau bahkan tak bisa mencuat. Jadi ini lebih pada kegagalan kelembagaan. Bahkan orang yang pas-pasan bisa menghasilkan kinerja optimal jika didukung lembaga yang tangguh.

Saat ini banyak sekali kader umat yang berkualitas. Mereka tak bisa muncul karena salurannya mampet. Atau memilih mencari saluran yang bukan milik umat sehingga kemandiriannya terhambat. Namun demikian, orang-orang yang mencari jalan sendiri ini tetap mampu berkiprah optimal kendati harus berkompromi. Tentu yang ideal adalah mememilih saluran yang sesuai.

Ada satu musuh utama dari kegagalan ini: pragmatisme. Awalnya adalah dibubarkannya Masyumi di masa Orde Lama. Lalu tidak bisa dipulihkan di masa Orde Baru. Bahkan tokoh-tokoh utama Masyumi tak bisa pula berkiprah di wadah baru. Selalu dijegal oleh Orde Baru. Bukan hanya M Roem, bahkan Djarnawi Hadikusumo pun tak bisa. Setelah itu mereka menyebar di mana-mana, termasuk mendirikan organisasi dakwah – salah satunya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Parmusi atau Muslimin Indonesia berisi figur-figur yang relatif direstui Orde Baru belaka. NU yang berkoalisi dengan Orde Lama masih bisa mengkonsolidasikan diri. Karena itu di masa Orde Baru tetap solid. Soliditas itu sangat kentara dalam kiprahnya di parlemen lewat PPP maupun saat kampanye pemilu. Namun perlahan tapi pasti, NU dipreteli. Orde Baru giliran menghadang tokoh-tokoh NU. Akhirnya, dua sayap politik umat tak bisa bergerak leluasa. Sejak itu pragmatisme menjadi ciri utama gerakan politik Islam Indonesia. PPP bukan pilihan utama, tapi sudah menyebar ke Golkar. Dampak dari pragmatisme adalah ketidakmampuan mengkonsolidasi diri.

Hal itu paling tampak di masa reformasi. Saat pemilu 1955, pemilih santri hanya memiliki dua saluran utama, yaitu Masyumi dan NU. Bahkan dari empat partai teratas, Masyumi menjadi satu-satunya partai yang tingkat keterwakilan Nusantara-nya terbaik. Partai besar lain seperti PKI dan PNI lebih terpusat di Jawa. Namun pada pemilu masa reformasi, semua partai santri masuk papan tengah. Partai papan atas dikuasai PDIP, Golkar, bahkan kemudian oleh partai baru, yaitu Demokrat dan Gerindra. Pemilih santri tetap mengikuti alur di masa Orba, yaitu ke Golkar dan rumpunnya – Demokrat dan Gerindra. Di sini menunjukkan bahwa partai-partai santri gagal mengkonsolidasi pemilihnya.

Situasi ini koheren dengan perilaku partai-partai tersebut. Mereka selalu menjadi pelengkap partai-partai berkuasa untuk duduk di pemerintahan. Siapapun presidennya, mereka selalu duduk di pemerintahan. Apapun ideologi atau sekadar warna sekalipun dari pemerintah, partai-partai santri selalu menjadi pengikutnya. Pragmatisme politik partai-partai santri ini makin memperpuruk keadaan. Apalagi kemudian ikut-ikutan korupsi maka mereka sebagai pihak yang lemah akan menjadi sasaran yang empuk untuk dikorbankan. Padahal korupsi terbesar sudah pasti dilakukan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang lebih besar – era reformasi adalah era korupsi gigantis, lupakan KPK.

Partai-partai santri harus belajar dari partai-partai di negara-negara lain yang konsisten di jalur ideologisnya. Yang paling fenomenal saat ini adalah Baratiya Janata Dal, partainya Narendra Modi di India. Partai ini relatif tak pernah menang, namun pada pemilu terakhir bisa menang mutlak. Mereka mengalahkan Partai Kongres yang hampir selalu memerintah negeri ini. Baratiya adalah partainya orang miskin dan didukung kaum agama Hindu. Modi yang dari keluarga miskin memilih hidup selibat atau tidak menikah, sesuai dengan tradisi Hindu. Globalisasi yang sedang memasuki puncak anomali memaksa negara-negara dan bangsa-bangsa beradaptasi. Zaman berpihak pada Baratiya yang nasionalistik.

Di Amerika Serikat selalu memperhadapkan dua partai yang berbeda warna. Republik adalah partai konservatif dalam moral berlandaskan nilai-nilai Kristen, liberal dalam bisnis, dan nasionalistik dalam hubungan internasional. Sedangkan Demokrat adalah partai yang liberal dalam moral, lebih pro kesejahteraan sosial, dan berwawasan mondial dalam hubungan internasional. Di masa anomali ini, wajah Republik sangat terwakili pada figur Trump. Kendati memalukan bagi negara adidaya namun Trump benar-benar mewakili garis ideologis bangsa Amerika Serikat. Situasi itu juga bisa dilihat pada persaingan Partai Buruh dan Partai Konservatif di Inggris atau Partai Buruh dan Partai Liberal di Australia. Partai selalu persisten dalam garis ideologisnya. Hal ini membuat mereka mudah mengkonsolidasi pemilih karena ada proses identifikasi dan membuat mereka juga mudah melakukan rekrutmen dan seleksi kader.

Watak politik dan pemilih santri di Indonesia akan selalu memiliki sejumlah ciri mencolok: proteksionistik dalam isu ekonomi, mengejar pemerataan dan keadilan sosial, konservatif dalam moral, nasionalistik dalam hubungan internasional, dan konsisten dengan nilai-nilai demokrasi dan kemodernan. Hal itu bisa dilihat pada wajah pemerintahan Natsir, Habibie, bahkan Gus Dur – walau semuanya berlangsung singkat dan selalu dijatuhkan.

Aksi Bela Islam yang diinisiasi GNPF bisa menjadi titik picu bagi hadirnya musim semi kebangkitan politik santri. Hal ini harus menjadi kesadaran para pimpinan GNPF dan partai-partai santri. Jika gagal mengkapitalisasi dan menjaga ruh 411 dan 212 maka semua itu bagai semburat pelangi di sore hari. Indah dikenang, enak dilihat, namun segera lenyap seiring surutnya matahari, lalu gelap lagi. Fenomena 411 dan 212 merupakan perpaduan berbagai hal. Intinya ketidakpuasan terhadap keadaan. Tidak puas pada situasi sosial-ekonomi, terbatasnya ruang artikulasi politik, dan hadirnya generasi baru santri.

Ada sejumlah saran agar ada kanalisasi. Pertama, GNPF untuk terus mengkonsolidasi simpul-simpul massa, tanpa harus menjadi ormas. Tetap fokus pada kekuatan jalinan ketokohan habib, kiai, ulama, dan ustad. Kedua, komunikasi dan salurkan aspirasi pada partai-partai santri. Ketiga, merumuskan agenda aksi yang lebih luas dalam isu-isu kebangsaan, termasuk memantapkan Indonesia sebagai negara Pancasila. Keempat, GNPF agar fokus sebagai gerakan moral dan spiritual dan tidak bercita-cita menjadi partai politik. Hal ini bisa belajar dari pendeta Hindu yang konsisten di belakang Baratiya. Kelima, komunikasi intensif dengan semua ormas Islam dan tokoh umat. Keenam, tetap membina massa inti yang disiplin, rapi, dan saleh. Ketujuh, tetap di jalan dakwah dan jalan damai, serta tak terjebak radikalisme

Pasti akan banyak godaan dan upaya pecah belah, bahkan provokasi dan stigmatisasi. Sudah saatnya bersikap lebih baik menjadi kepala kucing daripada menjadi ekor macan. Jika arus sejarah ini bisa dilakukan maka masa kemajuan dan kejayaan Indonesia akan berada di rel yang sejati.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement