Oleh: Asma Nadia
Berapa harga sebuah nyawa?
Seorang teman dengan lugas menjawab.
"Di sini harga nyawa murah. Kamu ‘colek’ sedikit saja aparat, semua beres. Jadi jangan heran jika ada kapal tidak laik berlayar bisa melaut, ada pesawat tidak laik terbang bisa mengangkasa, atau orang yang belum piawai mengemudi bisa mendapatkan SIM."
Terbayang kasus kapal motor Zahro Express yang terbakar meski baru beberapa meter berlayar dari dermaga. Dua puluh tiga nyawa anak bangsa yang ingin bertamasya hilang sia-sia. Bahkan nakhoda dan awak kapal menyelamatkan diri terlebih dahulu. Pelampung yang tersedia ternyata tidak cukup.
Bayangkan, ini terjadi di kapal wisata yang seharusnya identik dengan kenyamanan dan kesenangan. Jika untuk wisata saja seperti ini, bagaimana dengan kapal lain?
Saksi selamat di Zahro Ekspress menyatakan mereka mencium aroma bahan bakar jauh sebelum kapal berangkat. Lalu, kenapa tidak ada yang menegur?
Kadang kita menyepelekan masalah. Mengabaikan insting. Berpikir: Ah, biasanya tidak apa apa. Nakhoda tidak mungkin ingin nyawanya terbang. Jadi berhentilah khawatir. Benarkah?
Ini soal nyawa, Bung!
Sikap santai, sembarangan, rasa sungkan dan meremehkan seharusnya dibuang jauh-jauh.
Di video yang tersebar di sosial media terlihat jelas seorang lelaki dengan seragam pilot—ingat dengan seragam resmi—masuk dalam keadaan terhuyung-huyung melewati security check.
Barang-barang berjatuhan, tas berantakan. Sang petugas keamanan yang mengawasi, bukan hanya satu, melainkan dua atau tiga orang, membantu sang pilot yang terlihat mabuk membereskan tasnya.
Saat menyaksikan video tersebut saya menduga, pasti pilot ini digiring ke ruang keamanan, ruang khusus atau apalah untuk dipastikan kondisinya.
Ternyata tidak.
Sang pilot dengan seragamnya dibiarkan berlalu. Artinya petugas keamanan bandara lapis pertama, baru saja membiarkan pilot yang kemungkinan mabuk menerbangkan pesawat.
Petugas keamanan macam apa? Kenapa tidak memeriksa, melakukan interogasi? Standar keamanan seperti apa yang diterapkan?
Sekali lagi, ini nyawa, Bung!
Di sosial media terpisah, tersebar announcement sang pilot yang kacau seperti menceracau.
Syukurlah penumpang menangkap ada yang tidak beres hingga ramai-ramai mendesak agar pilot diganti, meski sang pilot merespons marah-marah. Bagaimana dengan co pilot dan crew pesawat, apakah tidak menangkap keganjilan ini? Atau tidak enak menegur?
Jadi berapa harga sebuah nyawa? Semurah itu kah hingga membuka mulut pun enggan atau tidak berani bahkan meski beresiko keselamatan jiwa?
Atas insiden memalukan ini Dirut Citilink mengundurkan diri. Sang pilot dipecat dan lisensinya dicabut. Jika nyawa manusia di Indonesia berharga, seharusnya petugas keamanan bandara yang ‘terkesan’ lalai, karena membiarkan pilot mabuk melewati security check juga diperiksa.
Hingga beberapa waktu saya masih tercenung. Tak habis pikir dengan cara kita menghargai nyawa di negeri tercinta.
Kecelakaan bisa diminimalisir sampai titik terendah bahkan diantisipasi dengan menindak tegas mereka yang abai terhadap pencegahan insiden yang berpotensi menimbulkan kerugian atau kerusakan fatal. Tak perlu menunggu ada nyawa melayang akibat sebuah insiden, aksi keteledoran HARUS tetap dimintai pertanggungan jawab.
Benar kecelakaan bisa murni merupakan musibah jika terjadi akibat sesuatu di luar batas kemampuan manusia. Namun kecelakaan yang terjadi karena berakar pada kesalahan prosedur, proses, dan pengawasan, maka ini adalah kelalaian. Harus ditelusuri secara tuntas dan dicari siapa yang bertanggung jawab.
Saya ingat ketika ke Raja Ampat, kami menyewa boat untuk satu rombongan. Saat kapal kecil itu bergoncang di tengah lautan, aroma bahan bakar tercium kuat. Cadangan bahan bakar tumpah. Di waktu yang sama bapak pengemudi dengan santai terus merokok. Saya pun menegur, memintanya mematikan rokok dan berhenti merokok di kapal. Selain berbahaya, suasana menjadi pengap.
Sang pengemudi sempat berkeras, "Biasanya juga begini nggak apa. Sudah biasa bahan bakar tumpah."
Saya tetap berkeras, sebab ini bukan soal adu pendapat, ada nyawa yang tak seharusnya dipertaruhkan.
Akhirnya si bapak mengalah dan mematikan rokok. Beberapa waktu suasana menjadi tidak enak, tapi saya tidak peduli sebab nyawa lebih penting.
Prinsip dan sikap serupa harus ditumbuhkan, ketika sistem tidak berjalan dengan semestinya. Sebagaimana sikap berani yang dilakukan penumpang Citilink.
Ketika sistem tidak bekerja, ketika pungli berkuasa, ketika nyawa manusia ada di dalamnya, maka tugas kita untuk menjadi kekuatan kontrol terakhir.
Abaikan rasa tidak enak.
Abaikan formalitas.
Karena nyawa manusia mahal, dan juga cuma satu satunya.
Berapa harga sebuah nyawa?
Jawabannya tak ternilai.
Jika aparat tidak menyadari, jika pemegang kebijakan abai dan lalai maka setiap rakyat harus berani bersuara, harus membuang rasa sungkan, dan berani bertindak, demi menjaganya.