REPUBLIKA.CO.ID, Sudah beberapa kali saya menulis tentang Turki. Sebagian besar mengenai keberhasilan negeri di Asia dan Eropa itu. Atau tepatnya semasa Turki Erdogani. Yang terakhir ini merupakan istilah yang merujuk kepada keberhasilan Turki sejak diperintah Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP) pada 2002, dengan perdana menterinya Recep Tayyib Erdogan.
Menyebut AKP tentu tidak bisa dilepaskan dari Erdogan. Sosok kharismatis ini merupakan pendiri dan sekaligus ketua AKP. Hanya karena peraturan membatasai jabatan ketua partai, Erdogan pun harus rela menyerahkan posisi sang ketua kepada tokoh lain. Namun, sejatinya dialah yang mengendalikan AKP.
Hal yang sama juga terjadi pada jabatan perdana menteri (PM). Di Turki kekuasaan eksekutif dijalankan oleh sang PM. Sedangkan presiden yang merupakan kepala negara hanya memiliki peran seremonial. Tapi, ketika Erdogan tidak bisa lagi menjabat sebagai PM karena peraturan, ia pun mengubah —dengan persetujuan parlemen— jabatan presiden lebih prestisius. Presiden kini dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu untuk masa jabatan lima tahun. Dan, dalam pemilu langsung untuk pertama kali pada 2014 ini yang terpilih adalah Erdogan.
Keberhasilan AKP berkuasa sejak 2002 hingga kini harus diakui adalah berkat peran besar Erdogan yang menjadi PM dan kemudian presiden. Di tangan Erdogan yang berhaluan Islam moderat, Turki pun mengalami kemajuan pesat. Hanya dalam tempo 10 tahun, Turki yang disebut sebagai negara sakit telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi ke-10 di Eropa. Di sektor pariwisata, jumlah turis asing yang sebelumnya hanya 4 juta orang melonjak jadi lebih dari 40 juta turis per tahun. Penghasilan per kapita yang tadinya di bawah 4 ribu dolar naik menjadi di atas 12 ribu dolar per tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat itu tentu tak terlepas dari kepiawaian Erdogan menjaga stabilitas politik dan keamanan di tengah kawasan Timur Tengah yang bergejolak itu. Salah satunya adalah kebijakan ‘membangun komunikasi dengan semua pihak dan menjauhkan diri dari konfrontasi langsung’. Ini terutama dilakukan dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah. Ahmat Davutoglu, mantan Menlu dan PM Turki, menyebutnya sebagai ‘nol persolan dengan negara-negara tetangga’.
Kibijakan ‘nol persoalan’ ini, menurut Davutoglu, perlu diambil lantaran posisi dan geografis Turki yang berada di Eropa, Asia, Balkan, Kaukasia, Timur Tengah, dan juga kawasan negara-negara Mediterania. Posisi yang menjadikan Turki sebagai zona transit antarkawasan. Banyak pihak yang kemudian menyebut Erdogan telah mengembalikan Turki pada kejayaan Daulah Usmaniyah.
Namun, rentetan peristiwa di Timur Tengah, terutama konflik berkepanjangan di Suriah, ternyata telah menyeret Turki ke dalam berbagai persoalan pelik. Lihatlah, hanya dalam 12 hari telah terjadi dua peristiwa yang menggoncang Turki. Pertama, penembakan Duta Besar Rusia oleh aparat keamanan yang menjadi kaki tangan ISIS. Kedua, pada malam pergantian tahun ketika seseorang dengan berpakaian sinterklas (santra klaus) menembaki puluhan pengunjung klub malam di Istanbul.
Ini belum termasuk sejumlah serangan bom yang terjadi tahun lalu. Dari mulai Ankara, Istanbul, Diyarbakir, dan kota-kota lainnya di Turki. Ankara merupakan ibukota negara dan sekaligus simbol politik. Istanbul adalah ibu kota pariwisata dan juga kota bisnis. Sedangkan Diyarbakir adalah provinsi yang didiami oleh mayoritas etnis Kurdi.
Berbagai peristiwa teror yang menewaskan ratusan warga dan melukai ribuan lainnya ini jelas telah membawa pesan tegas kepada para penguasa Turki. Baik politik, keamanan maupun ekonomi. Tujuannya adalah untuk mengganggu kestabilan Turki dan menjadikannya sebagai negara gagal, seperti banyak negara lain di kawasan Timur Tengah.
Hingga sekarang secara politik di dalam negeri Erdogan dan AKP memang masih kuat. Hampir semua partai politik oposisi mendukung kebijakan mereka. Namun, berbagai peristiwa teror jelas menguji ketangguhan Turki Erdogani. Yakni, apakah mereka masih piawai menangani persoalan-persoalan pelik seperti pada waktu lalu.
Berbagai pertanyaan pun muncul terkait sejumlah kebijakan Turki Erdogani. Misalnya, mengapa mereka baru intervensi dalam konflik di Suriah akhir-akhir ini? Atau minimal mengapa mereka tidak menutup perbatasannya dari gelombang pengungsi Suriah dan etnis Kurdi yang kini berada di perbatasan Turki-Suriah? Juga mengapa Turki menolak bergabung dengan koalisi yang dipimpin AS untuk memerangi ISIS? Lalu apakah pembersihan yang dilakukan terhadap para pengikut Fathullah Gulen memang diperlukan? Apakah tidak cukup dengan membersihkan militer dan aparat keamanan dari mereka yang terlibat kudeta? Terakhir, mengapa hubungan Turki Erdogani dengan AS, Uni Eropa, dan Iran justru renggang pada dua tahun terakhir ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya ada para Erdogan dan pemerintahannya. Namun, yang jelas Turki Erdogani kini harus menghadapi berbagai pihak. Pertama, ISIS yang kini sudah merasuk ke dalam negeri Turki. Pada awalnya, Turki menolak bergabung dengan koalisi untuk melawan ISIS. Tujuannya, memanfaatkan kelompok teroris itu untuk melawan etnis Kurdi. Juga untuk melawan rezim Presiden Bashar Assad yang dianggap telah menyengsarakan rakyat Suriah dan menyebabkan gelombang pengungsi ke Turki. Namun, ketika ISIS juga menyerang Turki, Erdogan pun berbalik arah. Apalagi ISIS telah berani melakukan berbagai serangan bom di dalam negeri Turki.
Kedua, etnis Kurdi yang telah lama menuntut kemerdekaan dari Turki. Bahkan telah berani mengangkat senjata dan melalakuan serangan bom. Keberadaan etnis Kurdi Suriah di perbatasan dengan Turki tentu dianggap membahayakan bagi keamanan negara Erdogan.
Ketiga, rezim Presiden Bashar Assad. Dalam konflik Suriah, Turki sejak awal mendukung kelompok-kelompok oposisi, terutama yang berhaluan moderat. Keempat, para pengikut Fathullah Gulen. Sejak kudeta gagal, aparat keamanan dan hukum Turki Erdogani terus membersihkan dan mengejar para pengikut Gulen yag kini bermukim di AS. Gulen dituduh ingin membentuk ‘negara di dalam negara’ yang dianggap bisa menggoyahkan kekuasaan Erdogan dan AKP.
Kelima, Turki Erdogani kini juga harus menghadapi hubungan yang mulai renggang dengan AS dan Uni Eropa. Kerenggangan hubungan ini dipicu, antara lain, oleh sikap AS yang terkesan melindungi Gulen. Juga kebijakan AS dan Uni Eropa yang membantu etnis Kurdi. Sebaliknya, AS dan Uni Eropa juga kecewa kepada Turki yang pada awalnya menolak berkoalisi untuk melawan ISIS dan membiarkan perbatasannya terbuka untuk para warga asing, termasuk warga Eropa dan Amerika, bergabung dengan kelompok teroris tersebut.
Berbagai persoalan yang sedang mendera Turki itu tampaknya telah menggoyahkan kepiawaian Erdogan dan AKP. Yaitu: menciptakan kestabilan politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, persatuan nasional, dan hubungan baik dengan Barat maupun Timur. Atau dengan kata lain, kedigdayaan Turki Erdogani kini sedang diuji oleh berbagai masalah pelik. Utamanya serangan para teroris.
Serangan teroris yang sering diklaim oleh ISIS dan sayap militer Partai Pekerja Kurdi sebagai pelakunya. Juga kerap dituduhkan pada para pengikut Gulen yang sakit hati. Bahkan serangan teror acap kali dialamatkan pada pihak lain yang menginginkan Turki Erdogani sebagai negara gagal.