REPUBLIKA.CO.ID, Sekiranya diizinkan mengerang, saya akan lakukan siang dan malam, tetapi agama melarangnya. Tidak ada manfaatnya mengerang dan meratap panjang, tanpa berbuat sesuatu kebajikan untuk semua, betapa pun kecil nilainya. Umat Islam yang bertebaran di muka bumi dalam jumlah sekitar 1,6 miliar dan akan terus membengkak dari waktu ke waktu nyaris lumpuh dalam perlombaan peradaban.
Tetapi, apakah dunia memperhitungkan jumlah besar ini, kecuali untuk diperas dan dipermainkan, sementara yang menjadi sasaran permainan masih saja merasa sebagai umat yang terbaik yang dikhutbahkan dari mimbar ke mimbar? Perasaan palsu semacam ini belum beranjak jauh dari dari hampir seluruh komunitas Muslim dari timur sampai ke barat, dari utara sampai ke selatan. Muslim Indonesia adalah bagian yang disorot dalam tulisan ini, dan saya yang lemah ini hanyalah sebuah skrup alit (kecil) yang berada di tengah sorotan itu.
Siapakah yang bisa menghilangkan beban kehinaan sejarah ini? Tidak seorang pun, kecuali mereka sendiri yang mau sadar dan jujur dalam membaca diri mereka dalam kaitannya dengan perjalanan peradaban global, yang baik ataupun yang nista. Tuhan sendiri, tanpa inisiatif kolektif umat Islam, berdasarkan logika Alquran (surah al-Ra’d:11 dan surah al-Anfâl: 53) terkesan akan berdiam diri, membiarkan umat ini tenggelam dan tersungkur hingga ke kerak bumi yang terdalam, jika kelakuan bahlul mereka, termasuk saya sendiri, tidak berubah secara radikal dan berani untuk keluar dari kotak kelam dan pengap kesadaran sejarah yang sudah berjalan dalam lapisan abad yang panjang.
Dunia Arab Muslim jangan ditanya lagi, semuanya tiarap dalam keputusasaan dan penderitaan. Negara-negara besar sedang berpesta menghancurkan mereka. Mereka yang waras sudah tidak betah dan tidak nyaman lagi hidup di kampung halamannya. Mereka hijrah dan berkarya di belahan dunia lain. Prof Komaruddin Hidayat dalam artikelnya baru-baru ini di bawah judul: “Mengapa Denmark Menjadi Salah Satu Negara Termakmur Dunia?" sungguh sangat menyengat dan menyayat. Bukan saja termakmur, selain Selandia Baru, tetapi juga aman dan nyaman untuk tempat tinggal bagi siapa saja, padahal mereka tidak pernah mengaku sebagai umat yang terbaik.
Dalam artikel itu dikatakan bahwa hanya ada satu kata kunci filosofi yang menyatu dengan kehidupan rakyat mereka: kejujuran, sesuatu yang nyaris sirna dalam komunitas Muslim yang tidak jarang senang hidup dalam serbatopeng kepalsuan dan suka menfitnah, tanpa rasa dosa dan dusta. Tentu pasti ada pengecualian yang masih menjaga nilai-nilai luhur agamanya, tetapi sering hidup dalam kesunyian di tengah kebisingan ketidakjujuran.
Sebuah umat yang hidup dalam kenistaan sejarah akan sangat sulit mengembangkan nalar jernih, cerdas, dan tulus, sekalipun mereka berpendidikan tinggi dengan gelar profesor, tetapi terkepung dalam himpitan kehinaan di titik nadir. Kesulitannya, tak mau mengakui secara jujur dengan jalan bersedia menengok borok kebanggaan palsu yang telah diidap terlalu lama. Jeritan Iqbal kepada Rumi abad yang lalu terasa masih segar untuk dibaca:
Pikiranku tinggi menyentuh langit;
Tapi di bumi aku terhina, kecewa, dan sengsara.
Urusan dunia tak mampu kutangani;
Dan aku tetap saja menghadapi rintangan di jalan ini.
Mengapa urusan dunia terlepas dari penguasaanku?
Jawaban telak Rumi di bawah ini membuka lorong buntu itu:
Siapa pun yang [mengaku dapat] berjalan di langit;
Mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi?
(Dikutip dari Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago-London: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 58).
Inti pesannya sangat terang benderang: lepaskan diri dari pengakuan palsu dan hadapi kenyataan dengan penuh kejujuran, keberanian, sekalipun harus melukai diri sendiri. Tanpa sikap ini, Tuhan sendiri jangan diharap akan membela nasib manusia tertindas, tetapi pongah dan culas, dan bahkan sering berteriak atas nama Tuhan. Ini adalah sebuah krisis mental yang perlu segera dicarikan obatnya dengan jalan beragama secara tulus dan jujur. Jalan lain pasti akan berujung dengan kebuntuan. Beban sejarah yang sangat berat hanya dapat dilepaskan dengan membiarkan nurani berbicara sebening dan sebersih mungkin. Saya sendiri belum tentu mampu melakukannya. Siapa tahu tuan dan puan lebih punya kemampuan untuk keluar dari krisis lingkaran setan ini.