Kamis 09 Feb 2017 06:00 WIB

Standardisasi Khatib (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Gagasan tentang perlunya standardisasi khatib (agaknya termasuk juga ustaz, mubaligh, dai, dan penceramah Islam lain) marak dalam pekan terakhir. Hal ini terkait dengan pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengisyaratkan perlunya standardisasi khatib tersebut.

Menurut Menag, wacana tentang ide atau gagasan tentang standardisasi khatib bukanlah baru; sebenarnya wacana itu adalah untuk merespons aspirasi yang berkembang di kalangan organisasi masyarakat (ormas) Islam dan tokoh-tokoh umat sendiri. “Mereka ingin pemerintah juga ikut hadir dalam menjamin kualitas mutu khutbah Jumat yang menjadi bagi tak terpisahkan dari shalat Jumat,” kata Menag (Republika, 1/2/2017).

Menag Lukman Hakim Saifuddin benar. Gagasan dan wacana tentang perlunya khatib memiliki standardisasi dan kualifikasi tertentu sudah ada sedikitnya sejak zaman Orde Baru. Bahkan juga ada suara-suara yang mengusulkan tentang perlunya khatib dan juru dakwah lain memiliki semacam lisensi atau “SIM” untuk berkhutbah atau “SIK” (surat izin khutbah).

Tetapi jelas, berbagai gagasan tersebut tidak berhasil. Ormas-ormas Islam beserta lembaga dakwah dan para khatib beserta juru dakwah lain menentang gagasan tersebut. Karena itulah, sampai sekarang khatib dan juru dakwah lain bebas dan mandiri menyampaikan khutbah dan ceramah agama tanpa harus ada standardisasi atau kualifikasi tertentu apalagi SIK.

Menangggapi wacana yang kembali muncul dalam pekan terakhir ini, di dalam masyarakat khususnya pimpinan dan ormas dan juru dakwah (khususnya khatib) berkembang beragam pandangan-yang pro dan kontra. Juga ada berkembang anggapan tentang indikasi usaha pemerintah-dalam hal ini Kemenag-untuk melakukan semacam “sertifikasi” khatib.

Dalam konteks terakhir ini, sekali lagi, sertifikasi dipahami kalangan pimpinan ormas Islam sebagai “lisensi” atau semacam “SIM khatib”. Tegasnya, khatib yang ingin memberi khutbah Jumat wajib mendapatkan lisensi atau “surat izin khutbah” (SIK) dari pihak berwenang semacam Kemenag-seperti disebut di atas.

Jika sertifikasi dalam bentuk semacam itu yang bakal dilakukan, kalangan ormas, lembaga dakwah, dan khatib banyak yang keberatan. Alasannya, sertifikasi semacam itu bukan hanya membatasi para khatib (dan juga juru dakwah lain), tetapi juga dapat menghilangkan kebebasan berdakwah. Padahal, Islam mengajarkan kewajiban berdakwah bagi setiap dan seluruh penganutnya.

Wajibnya khatib dan juru dakwah lain memiliki sertifikasi, sekali lagi, sebenarnya bukan hal baru. Kecuali Indonesia, hampir di seluruh negara di dunia Muslim khatib wajib memiliki lisensi (SIK). Sebagai contoh, lisensi khatib di Mesir diterbitkan Direktorat Jenderal Dakwah al-Azhar, di Malaysia dikeluarkan Jabatan Kebajikan Islam Malaysia (Jakim) atau lembaga kemuftian kerajaan negeri.

Untuk mendapatkan sertifikasi, khatib mesti memenuhi kualifikasi tertentu. Pertama-tama, mereka harus memahami bukan hanya ajaran Islam dalam berbagai aspeknya sesuai dengan pemahaman dan keislaman yang sudah disetujui ortodoksi dan otoritas agama resmi. Kekuasaan keagamaan ini lazimnya merupakan bagian integral kekuasaan negara.

Tak kurang pentingnya, khatib mesti menguasai tata tertib khutbah, pendekatan dan cara menyampaikan khutbah, dan bahasa yang digunakan. Mereka juga harus mengikuti dan sesuai dengan kebijakan kekuasaan politik yang ada; tidak boleh ada kalimat atau pernyataan berbeda-apalagi menentang-penguasa atau kebijakannya.

Bukan sampai di situ. Di Malaysia, misalnya, khatib tidak dibenarkan menyampaikan khutbahnya sendiri. Sebaliknya, khatib harus atau tinggal membaca teks khutbah yang sudah disiapkan Jakim atau lembaga kemuftian kerajaan negeri. Karena itulah khutbah di negeri jiran ini wajib mengandung pujian dan doa bagi penguasa-terutama raja atau sultan-dan sekaligus dukungan terhadap kebijakan politiknya.

Implikasi kenyataan ini terhadap khatib dan juru dakwah jelas; dan itu sangat pahit. Di Mesir, misalnya, setelah berkuasanya kembali militer di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah el-Sisi (berkuasa sejak Juni 2014), lisensi khutbah dan memberikan ceramah bagi pimpinan, anggota, dan simpatisan al-Ikhwan al-Muslimun dibatalkan al-Azhar. Alasannya, khatib-khatib Ikhwan ini menggunakan mimbar khutbah untuk provokasi politik melawan pemerintah militer.

Indonesia tak ragu lagi adalah medan dakwah yang bebas dan luas. Kebebasan itu sudah ada sejak zaman kesultanan, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan pasca-kemerdekaan sampai sekarang. Para penguasa yang berbeda-beda sesuai masanya membiarkan khutbah dan ceramah agama tanpa banyak usaha mengendalikan dan membatasinya.

Mengapa demikian? Khususnya zaman Belanda, para khatib dan juru dakwah lain sengaja menghindari diri dari menyampaikan khutbah politik, misalnya, menyerukan dari mimbar khutbah perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda. Khutbah lebih banyak diarahkan para khatib untuk memperkuat keimanan dan keislaman dengan berbagai lembaga Islam yang ada.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement