REPUBLIKA.CO.ID, Kejutan demi kejutan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Tump masih terus berlanjut. Terbaru adalah soal konflik Palestina-Israel. Menurut Gedung Putih, solusi dua negara —Palestina dan Israel— bukanlah cara satu-satunya untuk mendamaikan dua bangsa. Mereka —pemerintahan Trump— juga tidak akan memaksa Zionis Israel mengakui Negara Palestina Merdeka.
Prioritas Trump, lanjut keterangan Gedung Putih, adalah menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Trump mengatakan, dirinya punya keinginan kuat untuk menciptakan perdamaian. Karena itu, ia meminta semua pihak bekerja keras melanjutkan proses perjanjian perdamaian yang sejak beberapa waktu mengalami kebuntuan.
Kebijakan baru Trump ini dinilai banyak pihak sebagai ‘pengkhianatan’ terhadap landasan dan strategi tetap Amerika Serikat selama bertahun tahun. Terutama sejak penandatanganan Perjanjian Oslo pada 1993. Kebijakan itu juga dianggap melanggar keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang konflik Palestina-Israel yang harus diselesaikan dengan solusi dua negara.
Sikap baru Trump yang tidak lagi berkomitmen terhadap solusi dua negara telah menambah deretan kontrovesi orang nomor satu di Gedung Putih itu. Sebelumnya, terkait dengan konflik Palestina-Israel, Trump telah menyatakan akan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ia juga menegaskan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina tidak akan mengganggu proses perdamaian.
Kebijakan dan sikap baru Pemerintah Amerika itu ternyata dimanfaatkan betul oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ketika menyambangi Presiden Trump di Gedung Putih, Rabu lalu. Bukan rahasia lagi bahwa Pemerintah Israel yang kini dikuasai kelompok ekstrim kanan memandang kemunculan Trump sebagai ‘berkah’. Peluang untuk mengubur solusi dua negara. Juga kesempatan memperluas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang mereka duduki. Apalagi, kondisi buruk yang melingkupi kawasan Timur Tengah telah menjadikan masalah Palestina bukan lagi prioritas bagi para pemimpin di kawasan itu.
Lalu, apa yang akan terjadi bila skenario solusi dua negara benar-benar diabaikan?
Sejumlah pengamat tentang Timur Tengah memperkirakan perlawanan terhadap Israel akan meningkat. Israel juga akan terkucil dari pergaulan dunia, mengingat sebagian besar negara anggota PBB telah mengakui Negara Palestina. Perlawanan juga akan datang dari negara-negara Uni Eropa, yang selama ini mendukung solusi dua negara dan menentang keras perluasan pembangunan pemukiman Yahudi.
Namun, seperti biasanya, Israel akan cuek. Ndableg. Mereka sudah terbiasa melawan keputusan dunia internasional dan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Yang penting bagi mereka adalah dukungan penuh Amerika. Dan, itu sudah cukup. Respons masyarakat internasional akan seperti sikap para pemimpin Arab yang hanya NATO. No Action Talk Only.
Yang mungkin belum dipikirkan oleh Zionis Israel --bila mengabaikan solusi dua negara-- adalah bagaimana mereka hidup berbangsa dan bernegara dengan bangsa Palestina dalam satu negara. Termasuk di dalamnya apa yang disebut ‘the population bomb’ alias ledakan populasi, ketika warga Palestina menjadi mayoritas. Apakah kemudian sistem apartheid seperti di Afrika Selatan dan Zimbabwe (sebelumnya Rhodesia) akan berlaku di Israel, di mana warga Yahudi yang minoritas berkuasa atas mayoritas warga Palestina?
Bila sistem apartheid atau semacamnya yang dipilih, maka Israel akan menghadapi perlawanan hebat dari dunia internasional, termasuk dari masyarakat Amerika sendiri. Nasibnya akan seperti apartheid di Afrika Selatan yang tumbang oleh perlawanan hebat dari segala punjuru mata angin. Sistem apartheid yang tidak lain adalah penjajahan telah dialami Zionis Israel sendiri ketika menghadapi langsung perlawanan keras warga Palestina.
Sementara itu, bila mereka memilih sistem demokrasi, maka mereka harus bisa menerima persamaan hak dan kewajiban dengan warga Palestina dalam satu negara. Dalam kondisi ini mereka, bangsa Yahudi, harus bisa menerima fakta bahwa jumlah warga palestina bisa lebih banyak. Bangsa Palestina akan menjadi mayoritas. Dalam sistem demokrasi, mayoritas akan memerintah atau berkuasa. Lalu apakah bangsa Yahudi bisa menerima kenyataan ini?
Dengan kata lain, sistem apa pun yang akan diterapkan bila Israel memilih solusi satu negara, maka mereka sebenarnya akan menghadapi kesulitan yang sama. Baik sistem apartheid (baca: kolonialisme) ataupun demokrasi.
Di pihak Palestina sendiri, tampaknya semua pilihan akan sulit dan sangat pahit. Pemukiman Yahudi yang terus dibangun oleh Zionis Israel sekarang ini tidak ada makna lain kecuali melenyapkan semua identitas bangsa Palestina. Termasuk wilayah, sejarah, kepemilikan, dan bahkan penghidupan mereka.
Sedangkan bila mereka harus menerima pembatalan solusi dua negara, itu berarti mereka kembali ke kolonialisme, dengan sebutan yang bisa saja berbeda. Itu artinya, setelah 23 tahun Perjanjian Oslo, bangsa Palestina kembali dihadapkan dengan perjuangan bersenjata melawan penjajahan Zionis Israel.
Perjanjian Oslo pada 1993 ditandatangani pemimpin Palestina Yasir Arafat dan PM Israel Yitzhak Rabin di Washington DC, dengan disaksikan Presiden AS Bill Clinton. Salah satu bagian penting dari pernjanjian itu adalah terbentuknya Pemerintahan Otorita Palestina yang mendapat wewenang memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Palestina juga bisa membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi pemerintahan lain.
Sebagai imbalannya, Otorita Palestina harus mempromosikan toleransi terhadap Israel dan mengakui hak Israel untuk tetap eksis. Sejak itu, perjuangan bangsa Palestina pun berubah dari mengangkat senjata ke perjuangan lewat jalur diplomasi.
Namun, bila kini setelah 23 tahun mereka harus kembali menghadapi pejuangan bersenjata —lantaran solusi satu negara—, maka benarlah apa yang dikatakan para pengritik Perjanjian Oslo saat itu. "Perjanjian (Oslo) itu hanya topeng bagi Israel untuk terus melakukan kebijakannya (menjajah). (Perjanjian) itu tidak memberikan kepada bangsa Palestina kecuali kekuasaan formalitas," kata mendiang Edward Said, intelektual Palestina yang bermukim di AS, saat itu.
Kini, setelah 23 tahun Perjanjian Oslo, kondisi Palestina sebetulnya tidak berubah, kalau tidak bisa dikatakan lebih buruk. Otorita Palestina tidak memiliki kekuasaan penuh. Perpecahan dengan Hamas yang berkuasa di Gaza masih terus berlangsung. Mereka juga tetap tak bisa mengendalikan kesewenang-wenangan Israel. Termasuk melawan perluasan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina.
Kini, dalam kondisi sekarang ini, bangsa Palestina juga tidak banyak pilihan. Apakah solusi dua negara atau satu negara. Fakta ini menegaskan bangsa Palestina masih terus dijajah Zionis Israel, yang entah sampai kapan. Karena itu, masyarakat internasional anti-penjajahan harus membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan. Solusi Dua Negara masih pilihan terbaik. Ini sebagaimana juga dikatakan Sekjen PBB Antonio Guterres.
Yaitu dua negara merdeka —Palestina dan Israel— yang hidup berdampingan secara damai. Negara Palestina merdeka berada pada batas-batas sebelum Perang 1967, yakni Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.