REPUBLIKA.CO.ID, Tema atau isu ‘standardisasi’ belakangan ini tidak hanya menyangkut khatib dan/atau penceramah agama (lihat Resonansi 9/2/2017 dan 16/2/2017), tetapi hampir berbarengan juga mengenai pesantren. Gagasan atau wacana tentang ‘standardisasi kurikulum pesantren’ muncul dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama, Kamarudin Amin (Republika, 9/2/2017).
Kamaruddin Amin menyatakan: “Standardisasi kurikulum’ ponpes ditargetkan dapat dijalankan pada 2017. Kami akan membuat standardisasi kurikulum pesantren dengan standar minimalnya”. Dia menjelaskan, kriteria standardisasi minimal untuk buku-buku yang diajarkan di ponpes dan standar kompetensi pesantren dalam mengembangkan lembaganya.
Apa tujuan dan perlunya ‘standardisasi kurikulum’ ponpes itu? Tujuannya boleh jadi baik. Dirjen Kamaruddin Amin mengelaborasi: “Standardisasi itu akan memperkuat moderasi Islam di ponpes. Jadi, kami akan mengeluarkan buku-buku wajib standar. Ini bukan proyek deradikalisasi, karena ponpes tidak radikal, tapi memperkuat moderasi. Moderasi ini adalah moderasi pendidikan di ponpes”.
Menurut Kamaruddin Amin lebih lanjut, ponpes merupakan lembaga pendidikan [Islam] yang strategis untuk menebarkan Islam moderat yang damai. [Karena itu] kehadiran ponpes harus dapat memberi nilai tambah dengan menangkal muncul [dan berkembangnya] radikalisme dalam masyarakat.
Dalam konteks itu, pernyataan Dirjen Kamaruddin Amin beralasan dan bisa dipahami. Sejak Peristiwa 9/11 [2001], lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam seperti ponpes di Indonesia, yang di negara Muslim lain disebut madrasah seperti di Afghanistan, Pakistan, atau Yaman dipersepsikan pengamat dan media Barat sebagai ‘breeding ground of radicalism’, tempat perkecambahan radikalisme.
Dalam batas tertentu, persepsi itu benar adanya. Keadaan itu terkait kenyataan, madrasah tradisional di negara-negara itu tidak memiliki kurikulum yang jelas. Kurikulum madrasah tergantung pada keahlian, paham keagamaan, dan ideologi-politik syaikh dan gurunya. Tidak ada standar ‘kurikulum nasional’ yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah setempat gagal mencampuri kurikulum madrasah tradisional guna memajukan kualitas pendidikannya.
Di tengah berlanjutnya konflik sektarianisme di antara kelompok syaikh dan guru yang berbeda dan sikap berlainan terhadap rejim berkuasa dan juga kuasa Barat yang ingin intervensi, madrasah di negara-negara tersebut mengalami politisasi luarbiasa. Kegagalan pemerintah membawa madrasah ke arah peningkatan kualitas lewat pengembangan kurikulum lebih komprehensif untuk menyemaikan pemahaman dan praksis Islam damai—jauh dari ektremisme dan radikalisme—berujung pada peningkatan radikalisasi di lingkungan madrasah.
Lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam Indonesia, sejak dari pondok, pesantren, dayah dan surau berbeda banyak dengan madrasah Afghanistan, Pakistan, Yaman atau negara-negara Muslim lain. Dalam perjalanan dan pengalaman panjang, lembaga-lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam Indonesia justru bertumbuh menjadi pusat perkecambahan dan penguatan Islam wasathiyah yang inklusif, akomodatif dan toleran.
Perkembangan seperti itu terjadi berkat konsolidasi Islam Nusantara sejak abad 17 melalui ulama besar—untuk menyebut beberapa nama—sejak dari Abdurrauf al-Singkili, Muhammad Yusuf al-cMaqassari; kemudian abad 18, Abdul Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Khatib Sambas; dan abad 19, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Mahfuzh al-Termasi, Saleh Darat as-Samarani dan banyak lagi.
Melalui jaringan ulama Nusantara, mereka menghasilkan tiga aspek ortodoksi Islam negeri ini: Pertama, kalam Asy’ari-Jabari; kedua, fiqh asy-Syafi’i; dan ketiga, tasawuf akhlaqi al-Ghazali. Ortodoksi Islam Nusantara ini memiliki distingsinya sendiri yang kemudian berkombinasi dan beramalgamasi dengan budaya lokal berbagai suku bangsa di kawasan ini.
Ponpes menjadi pusat penanaman, pendidikan dan pembentukan tradisi ortodoksi Islam Nusantara. Dalam konteks itu, ponpes memainkan paling sedikit tiga fungsi penting. Pertama, sebagai pusat transmisi keilmuan, pemahaman dan praksis Islam; kedua, pusat pemeliharaan tradisi Islam Nusantara; dan ketiga pusat reproduksi ulama.
Lembaga-lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam Indonesia khususnya Ponpes menemukan salah satu ‘puncak’ konsolidasinya pada abad 19. Sejak dasawarsa pertama abad 19, berkat kian banyaknya murid Jawi dan jamaah haji kembali dari Tanah Suci, pesantren mengalami peningkatan dari segi jumlah dan substansi pendidikan.
Selanjutnya sejak dasawarsa ketiga abad ke-20, lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam juga mulai melakukan pembaruan dalam substansi pendidikan, metodologi pembelajaran dan manajemen. Dengan berbagai pembaruan yang dilakukan, ponpes melakukan adaptasi yang memungkinkannya untuk tidak hanya bertahan di tengah berbagai perubahan di lingkungan lebih luas, tetapi sekaligus memajukan diri untuk menjawab tantangan dan kebutuhan umat Islam Indonesia.