REPUBLIKA.CO.ID, Nama KH Hasyim Muzadi mulai menanjak di blantika nasional ketika menjadi ketua PWNU Jawa Timur pada 1992. Dari sana beliau langsung melejit menjadi ketua umum PBNU pada 1999, menggantikan Gus Dur. Kiai kelahiran 8 Agustus 1944 ini asli Tuban dan lulusan Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo. Di masa Orde Baru pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur dari PPP.
Kamis (16/3) kemarin, kiai langka ini wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga husnul khotimah. Sebagai warga nahdliyin ia justru mesantren di Gontor, seperti halnya Lukman Hakim Saefudin, kini menteri agama. Dari sana ia mesantren di Senori dan Lasem, setelah itu kuliah di IAIN Malang. Ia termasuk nahdliyin yang lincah bergaul dengan muslim dari beragam paham keagamaan. Ia tak mau terjebak dalam sekat-sekat firqoh. Namun jangan coba-coba bersuara sumbang soal NU, beliau akan segera memberikan pemahaman yang gamblang. Kiprahnya yang demikian bisa dilacak dari aktivitas organisasinya. Kiai Hasyim organisatoris dan aktivis yang kental. Ia tercatat aktif di PII, organisasi pelajar yang dulu juga ikut didirikan oleh generasi awal NU.
Saat kuliah di Malang, Kiai Hasyim benar-benar total terlibat dalam pergulatan politik saat itu. Karena itu ia sangat aktif di KAMI. Ia juga aktif di PMII dan GP Ansor – hingga menjadi ketua di tingkat pusat. Periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru mewarnai aktivitas kemahasiswaannya. Ia ikut menumbangkan Orde Lama dan juga merasakan penindasan oleh PKI. Suatu kali ia bercerita bagaimana ia diburu oleh kader-kader PKI. Nasibnya terselamatkan berkat pertolongan Jenderal Soewandi – ayah Didik Soewandi, mantan suami Rini M Soemarno. Soewandi adalah anggota pasukan Belanda yang ikut melakukan agresi. Seperti halnya HJC Princen, ia merasa ditipu oleh pemerintah Belanda. Sehingga ia membelot ke pasukan Indonesia. Namun berbeda dengan Princen yang kemudian menjadi aktivis LSM, Soewandi tetap melanjutkan kariernya di TNI hingga menjadi pangdam dan kemudian menjadi gubernur di Kalimantan.
Hubungan dengan Soewandi ini berlanjut hingga ke anaknya, Didik. Rini dan Didik – saat itu belum berpisah – adalah promotor sangat penting yang mendorong Kiai Hasyim untuk maju menjadi calon wakil presiden, mendampingi Megawati Soekarnoputri, pada pilpres 2004. Namun pasangan ini gagal dan dikalahkan SBY-JK.
Sebagai nahdliyin yang bukan darah biru (bukan Gus), perjalanan kariernya di NU benar-benar dititi dari bawah. Ia menjadi ketua ranting di Bululawang (Malang), wakil ketua PCNU Malang, ketua PCNU Malang, sekretaris PWNU Jatim, wakil ketua PWNU Jatim, ketua PWNU Jatim, hingga ketua umum PBNU dua periode dan akhirnya wakil rois aam PBNU. Namanya sempat disebut dalam pertarungan memperebutkan posisi rois aam namun gagal. Ada banyak faktor penyebabnya, misalnya ia dinilai kurang faqih. Selain itu juga karena ia dinilai lebih dekat ke PPP daripada ke PKB. Bagi orang awam semua penilaian itu hanya bayang-bayang yang buram, perlu pembuktikan yang tak gampang.
Hasyim Muzadi orang yang terbuka dan bisa diterima kalangan muslim dari kelompok yang berbeda. Pemahamannya tentang politik Indonesia dan keumatan sangat fasih dan mendalam. Ia tak ragu untuk membagi pemikirannya dan perasaannya kepada siapapun. Bicaranya runtut, tulisannya enak dibaca. Orangnya tertib dan tertata. Karena itu saya mengusulkan kepada jajaran pimpinan Republika agar beliau menjadi penulis tetap di Republika sejak 2002. Kolomnya yang terbit sebulan sekali ia asuh selama bertahun-tahun hingga akhir hayatnya. Tulisan terakhirnya terbit 5 Maret 2017 berkisah tentang waktu yang diinspirasi dari kitab Al-Hikam, yang menjadi nama pesantrennya. Tulisan itu seolah menjadi penanda akhir perjalanan hidupnya. Sebetulnya ada tiga penulis NU lainnya yang diminta untuk menjadi kolomnis tetap, namun tak bisa bertahan terus. Kita akan kehilangan tulisan Kiai Hasyim yang penuh penghayatan, kedalaman, dan runtut.
Kegundahan Kiai Hasyim terhadap problem keumatan ia wujudkan dengan membentuk International Conference of Islamic Scholars (ICIS), setelah ia tak lagi menjadi ketua umum PBNU. Melalui pertemuan tahunan, ia mengumpulkan para ulama dari seluruh dunia dan dari berbagai mazhab untuk bertukar pikiran, termasuk dari Syiah. Ia juga aktif dalam forum interfaith dialogue internasional bersama kementerian luar negeri dan menjadi presiden World Conference on Religion for Peace. Ia telah lama mendirikan pesantren mahasiswa Al-Hikam di Malang. Setelah tak menjadi ketua umum PBNU ia juga membuka pesantren tahfidz Alquran di Depok, di belakang Universitas Indonesia, yang juga diberi nama Al-Hikam. Rupanya ia memilih dikubur di Depok daripada di Malang atau Tuban.
Keluasan pergaulan Kiai Hasyim juga ditunjukkan dengan berbagai komponen lain bangsa Indonesia. Pesantren Al-Hikam di Depok, Jawa Barat, merupakan salah satu buktinya. Tanah itu dibeli dari seorang Katolik yang taat. Begitu mengetahui bahwa itu untuk pesantren, tanah itu hanya dijual sebagian. Sebagiannya lagi ia hibahkan begitu saja. Saat pilpres 2014, saat pimpinan NU yang lain mendukung pasangan Prabowo-Hatta, Kiai Hasyim memilih mendukung Jokowi-Kalla. Ia pula yang mendampingi Jokowi pergi umroh di saat minggu tenang menjelang pencoblosan. Hingga akhir hayatnya, Kiai Hasyim masih menjabat sebagai anggota Wantimpres.
Politik dan agama serta keumatan dan keindonesiaan bagi Kiai Hasyim bukan menjadi sesuatu yang harus didikhotomikan. Melalui tagline Islam rahmatan lil ‘alamin – yang menjadi ciri kepemimpinannya di NU – ia membuktikan universalitas Islam, yang merengkuh dan merangkul. Namun naluri politiknya yang kuat sering menimbulkan mispersepsi. Inilah salah satu hambatannya dalam berkiprah. Namun pemahamannya yang baik terhadap realitas politik itulah yang bisa menyelamatkan NU saat turbulensi politik kejatuhan Gus Dur dari kursi presiden. Sebagai ketua umum PBNU, tentu bukan sesuatu yang mudah bagi dirinya untuk mengambil posisi yang pas.
Kini, Kiai Hasyim telah tiada. Banyak yang telah ditorehkan, banyak yang bisa kita ambil sebagai teladan.