Selasa 04 Apr 2017 06:00 WIB

Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (IV)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Masih terkait dengan pidato Malala di Oslo, dilanjutkan pada bagian akhir tentang fenomena terbelahnya komunitas Muslim Pakistan dalam menyikapi pandangan-pandangan radikal bocah ini. Demikian mutlaknya pendidikan bagi anak usia sekolah, Malala bahkan menghadirkan di Ibu Kota Norwegia mitranya itu dari Pakistan yang pernah jadi korban teror, dari Nigeria yang diancam Boko Haram, dari Suriah sebagai korban perang saudara. Semuanya ini dalam rangka kampanye untuk menghimpunan Dana Malala bagi kepentingan pendidikan anak usia sekolah. Dia ingin anak-anak perempuan mengikuti jejaknya untuk terbang tinggi dengan modal pendidikan yang berkualitas.

Pada kesempatan lain Malala bertutur: “Saya tidak ingin masa depan saya terkurung, dibatasi empat dinding, semata-mata memasak dan melahirkan.” Feminisme bocah ini terasa sangat kental, sebuah reaksi keras terhadap tebalnya konservatisme Muslim Pakistan. Suaranya tentang mutlaknya pendidikan bagi anak usia sekolah telah menjadi isu panas global.

Tidak tanggung-tanggung. Dalam pidatonya, Malala menyebut satu persatu nama mitranya di atas. Ada bocah bernama Mezon dari Suriah yang kini mengungsi di Lebanon yang bergerak dari tenda ke tenda dalam kerja membantu anak-anak, perempuan dan laki-laki, untuk belajar. Ada Amina dari Nigeria utara, di mana Boko Haram mengancam dan menculik anak-anak, ada Shazia dan Kainat Riaz dari Swat yang kena peluru Taliban bersama Malala. Ada lagi Kainat Somro juga dari Pakistan yang jadi korban kekerasan dan kekejaman, bahkan saudara laki-lakinya terbunuh, tetapi pantang baginya menyerah. Tatkala nama-nama mereka disebut satu persatu dari mimbar Nobel, mereka saling berbisik karena merasa tersanjung.

Lalu dengan nada tinggi Malala bertutur:

Saya adalah Shazia.

Saya adalah Kainat Riaz.

Saya adalah Kainat Somro.

Saya adalah Mezon.

Saya adalah Amina. Saya adalah bagian dari 66 juta anak-anak perempuan yang tidak bersekolah!

Disinggungnya pula dunia yang sudah berubah dengan cepat dengan segala kemajuannya, tetapi di sisi lain orang tidak juga mau belajar dari pengalaman perang dan konflik sejak PD (Perang Dunia) I 1914, seabad yang silam dengan korban jutaan. Sekarang banyak keluarga yang telah jadi pengungsi di Suriah, Gaza, dan Irak. Tidak sedikit pula anak perempuan yang dipaksa kawin usia bocah. Kemudian dikritiknya negara-negara yang dianggap “kuat,” demikian hebatnya mereka menciptakan perang tetapi begitu lemah membangun perdamaian. Begitu mudahnya memberikan senjata,

tetapi alangkah sukarnya memberikan buku. Begitu gampangnya membuat tank, tetapi demikian sulitnya mendirikan sekolah.

Ungkapan-ungkapan kritikal ini telah memukau para undangan yang terdiri dari berbagai bagai bangsa itu. Di bagian akhir pidatonya, Malala berkata: “And let us build a better future right here, right now” (Dan mari kita bangun masa depan yang lebih baik di sini, sekarang juga).

Bilamana Malala disanjung di seluruh dunia, ironisnya masyarakat Muslim Pakistan justru terbelah. Ada yang melemparkan tuduhan bahwa Malala adalah agen CIA, agen Inggris, agen Amerika, sebuah tuduhan keji yang marak terdengar dalam masyarakat yang dipengaruhi Taliban. Tetapi di atas itu semua, inilah tabiat komunitas Muslim yang tidak mau berfikir jauh dan luas. Bahkan seorang komandan Taliban, Adnan Rasheed, mantan anggota angkatan uadara Pakistan, selang sehari setelah pidato di PBB, pada 13 Juli 2013 menulis surat dan peringatan keras kepada Malala agar tidak lagi mengeritik Taliban.

Di ujung surat berbahasa Inggris yang terdapat beberapa kesalahan itu kita terjemahkan berikut ini:

…saya nasihati anda agar kembali pulang, menyesuaikan diri dengan budaya Islam dan Pashtun, menggabungkan diri dengan madrasah perempuan mana pun dekat kota anda, kaji dan pelajari Kitab Allah, gunakan pena anda untuk Islam dan bagi kepentingan umat Muslim, dan bongkar persekongkolan segelintir elit yang ingin memperbudak seluruh kemanusiaan bagi agenda jahat mereka atas nama tatanan dunia baru.

Baik saja nasehat itu. Tetapi siapa yang bisa menjamin keamanan Malala jika kembali ke Pakistan? Bukankah dendam Taliban terhadapnya belum lagi pupus? Sekalipun Lembah Swat sejak Juli 2009 secara resmi tidak lagi dikuasai Taliban, situasi belum lagi aman sepenuhnya. Artinya tentara Pakistan sering tidak berdaya berhadapan dengan pasukan berjenggot ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement